Melodi Visual Djaduk Ferianto dari Afrika Selatan
Sebanyak 20 foto karya almarhum Djaduk Ferianto ditampilkan dalam pameran Yogya Annual Art #5. Foto-foto yang dipamerkan itu dijepret Djaduk di Afrika Selatan sekitar satu setengah bulan sebelum ia meninggal.
Musisi Djaduk Ferianto memang telah berpulang pada 13 November 2019. Namun, karya-karyanya masih terus menyapa kita hingga sekarang. Selain komposisi musiknya yang akan terus dikenang, Djaduk ternyata juga meninggalkan sejumlah karya fotografi yang belum pernah dipamerkan sebelumnya.
Foto-foto karya Djaduk yang belum pernah dilihat publik itu ditampilkan dalam pameran Yogya Annual Art #5 di Sangkring Art Space, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibuka pada Senin (3/8/2020). Yogya Annual Art sebenarnya merupakan pameran tahunan yang berfokus pada karya seni dua dimensi, khususnya seni lukis.
Pada gelaran kelima tahun ini, pameran itu menghadirkan karya sejumlah perupa kenamaan, misalnya Djoko Pekik, Nasirun, Bambang Heras, Bob Sick Yudhita Agung, Ipong Purnama Sidhi, Syahrizal Pahlevi, Yuswantoro Adi, dan sebagainya. Namun, pameran tersebut juga menghadirkan satu bagian khusus bernama ”Special Project Djaduk Ferianto” yang menampilkan foto-foto karya Djaduk.
Selama ini, Djaduk Ferianto memang lebih dikenal sebagai musisi yang mendirikan sejumlah kelompok musik, misalnya Kua Etnika dan Sinten Remen. Bersama beberapa temannya, putra seniman Bagong Kussudiardja itu juga menginisiasi festival musik tahunan Ngayogjazz di Yogyakarta. Namun, pria kelahiran 19 Juli 1964 itu juga memiliki hobi memotret dan karya-karya fotografinya pernah ditampilkan dalam beberapa pameran.
Baca juga: Selamat Jalan Mas Djaduk, Engkau Pembawa Kegembiraan
Dalam pameran Yogya Annual Art #5 yang berlangsung hingga 4 November 2020, ada 20 foto karya Djaduk yang ditampilkan. Seluruh foto itu diambil di Afrika Selatan. Menurut kakak Djaduk, Butet Kartaredjasa, foto-foto itu diambil pada akhir September 2019 atau sekitar satu setengah bulan sebelum Djaduk wafat.
Kami riset menyiapkan sebuah diplomasi budaya melalui jazz festival yang semestinya dilangsungkan Maret 2020, tetapi batal gara-gara pandemi Covid-19.
Saat itu, Butet dan Djaduk mengunjungi Afrika Selatan terkait rencana penyelenggaraan festival jazz di sana. ”Kami riset menyiapkan sebuah diplomasi budaya melalui jazz festival yang semestinya dilangsungkan Maret 2020, tetapi batal gara-gara pandemi Covid-19,” kata Butet dalam tulisan pengantar pameran.
Baca juga: Djaduk Ferianto Meretas Bunyi dengan Fotografi
Selama perjalanan ke Afrika Selatan itu, Djaduk memotret di sejumlah tempat yang dikunjunginya. Namun, setelah pulang ke Indonesia, Djaduk tak sempat mengedit foto-fotonya itu. ”Jepretannya masih ngendon di memory card (kartu memori) kameranya saat dia wafat,” tutur Butet yang juga dikenal sebagai seniman kenamaan itu.
Foto-foto yang masih tersimpan di kamera Djaduk itulah yang dipamerkan dalam Yogya Annual Art #5. Butet menyebut, proses kurasi atau pemilihan foto dalam pameran itu dilakukan oleh fotografer Darwis Triadi. Darwis pula yang membantu editing atau penyuntingan terhadap foto-foto Djaduk.
”Untung ada Darwis Triadi, fotografer profesional yang juga kawan dekat Djaduk, yang mengurasi dan membantu proses editing bahkan mencetaknya sehingga foto-foto Djaduk lebih berbunyi, lebih berbicara,” ujar Butet.
Butet juga menyebut, foto-foto Djaduk yang dipamerkan itu sengaja tidak diberi judul dan hanya diberi keterangan lokasi. Peniadaan judul itu dilakukan agar pengunjung pameran bisa berinteraksi dengan foto-foto Djaduk tanpa dibebani narasi. ”Ini sengaja supaya interpretasi, tafsir, dan pengalaman-pengalaman puitik Anda tidak terganggu oleh narasi,” ujarnya.
Gunung dan Mandela
Foto-foto Djaduk yang dipamerkan dalam Yogya Annual Art #5 menampilkan objek yang cukup beragam. Salah satu yang cukup dominan adalah lanskap perkotaan yang dipotret Djaduk dari puncak Table Mountain, sebuah gunung di Cape Town, Afrika Selatan.
Bagi Djaduk, Table Mountain tampaknya menjadi tempat yang cukup istimewa. Sebab, menurut Butet, di tempat itulah Djaduk menemukan melodi yang rencananya bakal dia mainkan saat berkolaborasi dengan musisi Afrika dalam festival jazz di Cape Town yang diagendakan pada Maret 2020. Sayangnya, Djaduk tak pernah sempat memainkan melodi itu karena dia telah berpulang.
Namun, selain menemukan melodi untuk karya musiknya, Djaduk tampaknya juga menemukan ”melodi visual” di puncak Table Mountain yang dia abadikan dengan kameranya. Dalam pameran ini, total ada delapan foto yang berkait dengan Table Mountain.
Satu di antaranya menghadirkan foto diri Djaduk dengan latar belakang lanskap perkotaan dan laut. Dalam foto itu, Djaduk berdiri menghadap ke samping sehingga wajahnya tak frontal mengarah ke kamera. Mimik mukanya tampak serius dan pandangannya menerawang jauh.
Dengan cara yang pas, foto ini seolah menggambarkan Djaduk sedang berdiri sendirian di tempat yang asing dan jauh, terpisah dari keluarga, teman, dan para penggemarnya. Ketika menatap lekat-lekat foto yang dicetak hitam putih itu, kita mungkin akan merasa sangat sedih karena foto ini seolah disiapkan sebagai kenang-kenangan setelah Djaduk berpulang.
Baca juga: Jazz Ambyar di Ngayogjazz
Sementara itu, dalam beberapa fotonya yang lain, kita melihat lanskap Gunung Chapman’s Peak di Cape Town, mobil tua di wilayah Hartbeespoort, dan seorang remaja yang tengah tersenyum di sebuah tempat di Afrika Selatan.
Kita juga menyaksikan foto-foto Djaduk yang mengabadikan patung dan bangunan di Union Building yang merupakan kantor Presiden Afrika Selatan serta pusat perbelanjaan Nelson Mandela Square di Johannesburg. Di Union Building dan Nelson Mandela Square, Djaduk antara lain memotret patung mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang ada di dua tempat tersebut.
Baca juga: Wawancara Djaduk: Gotong Royong Itu ”Jazzy”
Foto-foto patung Mandela yang dibuat Djaduk menarik untuk dicermati karena memiliki sudut pandang yang unik. Dalam beberapa foto itu, Djaduk tak mengambil sudut pemotretan yang bisa mengekspos kemegahan dan kebesaran patung Mandela.
Padahal, dua patung Mandela itu sama-sama memiliki ukuran gigantis. Patung di Nelson Mandela Square memiliki tinggi 6 meter, sementara patung di Union Building setinggi 9 meter dan konon merupakan patung Mandela terbesar di dunia.
Namun, alih-alih menggambarkan betapa tinggi, megah, dan kokohnya patung tersebut, Djaduk justru lebih memilih berfokus pada ekspresi dan gestur dari dua patung Nelson Mandela yang ditemuinya. Maka, dalam salah satu foto Djaduk di Nelson Mandela Square, kita bisa melihat secara detail wajah patung Mandela yang tersenyum itu.
Dalam bingkai foto yang sama, kita melihat poster bergambar wajah Mandela yang juga tersenyum dengan tangan yang melambai. Pada foto tersebut, Djaduk secara jitu memainkan komposisi sehingga kita melihat dua wajah pejuang anti-apartheid tersebut yang sama-sama tersenyum.
Wajah yang tersenyum itu kembali kita temui dalam foto patung Mandela di Union Building. Dalam foto itu, Djaduk memotret sepertiga bagian atas patung yang menampilkan wajah Mandela tengah tersenyum dengan kedua tangan yang merentang terbuka. Lagi-lagi, Djaduk memilih menampilkan Mandela yang ramah dan manusiawi ketimbang sebuah patung yang megah.
”Ngeng”
Berdasarkan pengakuannya sendiri, Djaduk mulai belajar fotografi sejak tahun 1988 ketika tengah berada di Jerman. Waktu itu, Djaduk mengaku membeli kamera pertamanya setelah mengumpulkan uang dengan menjadi pelayan di Wisma Indonesia di Hamburg, Jerman.
”Fotografi saya sikapi sebagai stimulus untuk mengasah sensitivitas saya,” kata Djaduk di sela-sela pameran tunggal fotografinya yang bertajuk ”Meretas Bunyi” di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (15/12/2018).
Saat itu, Djaduk juga menuturkan, dalam aktivitas keseniannya, ada sesuatu yang sering ia sebut sebagai ”ngeng”. Istilah tersebut merujuk pada sensitivitas atau kepekaan sebagai seniman. ”Ngeng itu tidak bisa diterjemahkan secara harfiah, tetapi itu adalah kumpulan dari energi yang membentuk sensitivitas,” ujarnya.
Menurut Djaduk, ia juga mengandalkan ngeng saat memotret sebuah obyek atau peristiwa. ”Ketika melihat obyek atau peristiwa-peristiwa, ngeng saya yang jalan. Kalau ngeng-nya enggak muncul, mau ada peristiwa kayak apa pun, saya diam saja,” tuturnya.
Baca juga: Gembira Melepas Djaduk
Butet mengatakan, saat memotret, Djaduk kerap mengandalkan improvisasi seperti ketika dia bermusik. Oleh karena itu, angle atau sudut pandang yang dipilih Djaduk saat memotret menjadi kerap tidak terduga.
”Dia merekam gambar digerakkan oleh ngeng yang selalu menjadi modal dasar penciptaan dan kerja kreatifnya. Keputusannya memilih angle, menyeleksi pencahayaan sebelum menjepret, memilih obyek, dan keinginan menggunakan jenis lensa yang mana, semata-mata mengandalkan improvisasi seperti kalau dia memainkan perkusi. Serba tidak terduga. Penuh spekulasi,” tutur Butet.
Sementara itu, Darwis Triadi menuturkan, saat memotret, Djaduk bisa melihat dengan pandangan yang dalam. Melalui pandangan yang dalam itu, foto-foto Djaduk menjadi unik tanpa harus direpotkan dengan tetek bengek teknis fotografi.
”Saya melihat foto-foto Djaduk bukan sekadar melihat obyek visual, melainkan bahwa Djaduk melihat dengan pandangan yang dalam tanpa bicara teknik sebab foto adalah ungkapan rasa,” ujar Darwis dalam tulisan pengantar pameran.