Polemik Merdeka Belajar Berlanjut, Kemendikbud Diminta Menjelaskan
Polemik merdeka belajar berlanjut. Penggunaan merdeka belajar dalam kebijakan pendidikan, sementara istilah ini sudah dipatenkan oleh pihak swasta, dinilai bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan akademisi dan pengamat pendidikan minta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan soal penggunaan idiom merdeka belajar yang terdaftar sebagai hak paten swasta sejak 22 Mei 2020. Ada masalah hukum dan etika yang harus segera diselesaikan.
Meskipun pemilik paten tidak akan menarik royalti ketika Kemendikbud tetap menggunakan merdeka belajar dalam kebijakan pendidikan, ada kekuatiran di kalangan akademisi hal itu akan berdampak ke lembaga pendidikan. Tidak ada jaminan bahwa hal ini tidak akan memunculkan masalah terkait status hukum merek merdeka belajar.
Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek, pemegang merek diberi hak oleh negara untuk mengeksploitasi mereka tersebut. Ini merupakan hak eksklusif pemegang merek sehingga pihak lain yang menggunakan mereka tersebut harus minta izin kepada pemegang merek.
Berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM merek merdeka belajar terdaftar di kelas 16 dan kelas 41. Kelas 16 terkait penggunaan untuk alat tulis kantor, sedangkan kelas 41 terkait jasa seperti pelatihan, pengajaran, kegiatan budaya.
“Ketika kegiatan-kegiatan jasa tersebut melekatkan merdeka belajar, maka wajib minta izin kepada pemegang hak paten,” kata dosen Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Indonesia Parulian P Aritonang dalam diskusi daring bertema Merdeka Belajar sebagai Merek Swasta, Dampak dan Solusi Dunia Pendidikan, Jumat (7/8/2020).
Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan, Komisi X telah meminta Kemendikbud menjelaskan permasalahan tersebut, yang dijadwalkan setelah masa reses DPR. “Pemilik hak paten mempersilahkan Kemendikbud menggunakan merek dagang itu (Merdeka Belajar), perjanjiannya seperti apa? Kalau hanya surat pernyataan, sewaktu-waktu bisa dicabut dan berimplikasi pada Kemendikbud,” kata dia.
Merdeka belajar, kata pemerhati pendidikan yang juga pengurus Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa Ki Darmaningtyas, sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara meski tidak dinyatakan sebagai merdeka belajar. Konsep merdeka belajar kemudian menjadi acuan dalam pendidikan di Indonesia. Karena itu, kekayaan intelektual ini seharusnya tidak dipatenkan.
Hal senada dikatakan guru besar Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya Muchlas Samani. Dia mengatakan, konsep merdeka belajar dari Ki Hajar Dewantara bukan sekadar istilah, tetapi pokok pikiran Ki Hajar Dewantara yang diterapkan dalam pendidikan di Indonesia.
Karena itu, dia menilai, ada masalah etika ketika ada pihak yang mematenkan konsep merdeka belajar. “Etika itu tidak diomongkan, tetapi diteladankan. Taman Siswa ketika meluncurkan buku Ki Hajar Dewantara saja minta izin,” kata Muchlas.
Antisipasi masalah
Menurut komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, ada aspek ketidakpatutan dalam pematenan merdeka belajar. Meski saat ini tidak ada masalah, di kemudian hari bisa berimplikasi membuat pendidikan menjadi komoditas. Tidak ada yang menjamin bahwa di kemudian hari tidak akan bermasalah.
“Ketika pendidikan menjadi komoditas, maka pendidikan menjadi mahal. Implikasinya pada kelompok miskin,” kata Retno. Karena itu, kata dia, masalah ini harus diselesaikan. “Negara tidak boleh didikte oleh sebuah PT (swasta),” kata dia.
Masalah hukum dan etika tersebut, kata dosen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia Ifa H Misbach harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum kebijakan merdeka belajar diterapkan. Terkait kebijakan Kampus Merdeka, pada 27 Juli 2020 ada sosialisasi dari Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud agar jurusan memasukkan proposal untuk mendukung Kampus Merdeka.
“Jika di acc (disetujui Kemendikbud), akan mendapat bantuan (program) Kampus Merdeka, dana APBN. (Menjadi masalah) ketika problem etika dan hukum tersebut belum clear, (tapi) kampus-kampus sudah melaksanakan Kampus Merdeka,” kata dia.
Dalam diskusi tersebut mengemuka agar lembaga pendidikan tidak menggunakan istilah merdeka belajar maupun kampus merdeka hingga masalah ini jelas. Secara hukum, kata Parulian, ada tiga alternatif solusi, yaitu penghapusan, pembatalan, atau pengalihan merek tersebut ke pihak lain.