Perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak, yang juga berarti pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, perkawinan harus dicegah dan dihentikan, demi menyelamatkan anak-anak, generasi penerus bangsa,
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Anak-anak merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Indonesia akan menjadi negara yang maju apabila anak-anak tumbuh dengan kondisi sehat lahir batin, cerdas, berakhlak, dan berkarakter. Karena itulah, cara pandang semua orang orangtua dan keluarga harus diubah, agar memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari jerat praktik perkawinan anak.
“Masalah perkawinan anak tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah daerah, tapi merupakan kekhwatiran bagi kita semua, karena dampaknya akan mengakibatkan banyaknya kegagalan-kegagalan yang dialami oleh negara, masyarakat, keluarga, bahkan oleh anak itu sendiri,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat membuka acara Unjuk Bincang Sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan tema ”Batas Usia Perkawinan dalam berbagai Perspektif”, Jumat (7/8/2020).
Pada acara unjuk bincang yang diselenggarakan KemenPPPA dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) tersebut Bintang menegaskan, dampak perkawinan anak akan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Sebab, anggaran negara yang seharusnya bisa disediakan untuk membangun infrastruktur maupun sumber daya manusia ke depan akan terserap untuk membiayai akibat dari perkawinan anak.
Selain putus sekolah, risiko bagi ibu yang mengandung dan anak yang dilahirkan, perkawinan anak juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, ketidaksehatan mental, dan pola asuh yang buruk.
Semua hal tersebut, akan menyebabkan kegagalan dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ke depan. “Untuk itulah, saatnya kita semua bertindak untuk menyelamatkan tumbuh kembang anak. Perkawinan anak harus dihentikan,” ujar Bintang.
Karena itulah, Bintang berharap Peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 menjadi momentum bagi semua pihak untuk bergerak bersama menghentikan praktik perkawinan anak, sehingga memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024. Namun, hal tersebut tidaklah mudah diwujudkan, dan membutuhkan sinergi antara pemerintah dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, bahkan media secara intensif dan masif.
Karena itulah, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur perubahan usia minimum perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun sehingga menjadi sama dengan laki-laki, harus disosialisasikan dan diimplementasikan.
“Batas usia perkawinan 19 tahun ini harus terus disosialisasikan secara intensif dan masif, mengingat masih banyak masyarakat yang belum paham dengan adanya perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tersebut. Regulasi sudah bagus tapi lemahnya pada tataran implementasikan,” tegas Bintang.
Sosialisasi masif harus dilakukan, karena meskipun data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan pada tahun 2019 terjadi penurunan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun, dari 11,21 persen (2018) menjadi 10,82 persen (2019), sebenarnya ada kenaikan angka perkawinan anak di 18 provinsi.
“Hal ini dibuktikan dari data BPS pada tahun 2020, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional. Ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah untuk lebih berkomitmen dalam menurunkan angka perkawinan anak,” papar Bintang.
Masih ada dispensasi
Seruan untuk menghentikan perkawinan anak, dengan sosialisasi masif Perubahan UU No.1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan 19 tahun juga disuarakan Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto Wiyogo. “Perubahan usia perkawinan tersebut harapannya akan mengurangi angka perkawinan anak, atau bahkan hilang. Akan tetapi faktanya tidak demikian. Karena seseorang tetap bisa menikah di bawah usia yang ditentukan jika mengantongi dispensasi yang dikeluarkan oleh pengadilan agama setempat, yang diajukan oleh orangtua,” katanya.
Giwo juga sependapat dengan Menteri Bintang bahwa pencegahan perkawinan anak merupakan tanggung jawab bersama semua pemangku kebijakan. “Ini memang berat tapi harus kita lakukan, mengingat besar taruhannya bagi generasi penerus bangsa,” katanya.
Pada unjuk bincang tersebut hadir sebagai pembicara Ade Yasin (Bupati Bogor), Ibrahim Ben Bella Bouty (Kepala Sub Direktorat Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi), dan Lenny N Rosalin (Deputi Tumbuh Kembang Anak KemenPPPA).
Ade Yasin,menyampaikan strategi pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Bogor. Meski dekat dengan Jakarta, perkawinan anak di Kabupaten Bogor tinggi. Perkawinan anak terutama di kalangan keluarga miskin di pedesaan, karena banyak anak perempuan di desa berpendidikan rendah.