Program Organisasi Penggerak Dinilai Tidak Sensitif Krisis
Polemik program Organisasi Penggerak yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih berlanjut. Sejumlah kalangan meminta pemerintah memikirkan urgensi pelaksanaan program tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak berharap pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mempertimbangkan ulang urgensi pelaksanaan Program Organisasi Penggerak yang diluncurkan sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar pada Maret 2020. Selain karena evaluasi program tersebut masih berjalan, pemerintah perlu menimbang kebutuhan belajar mengajar saat pandemi.
Dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, saat dihubungi, Kamis (6/8/2020), di Jakarta, berpendapat, konsep Program Organisasi Penggerak (POP) sejak diluncurkan Maret 2020 sudah tidak tepat karena tidak ada urgensi mendasar. Program ini tidak sensitif terhadap krisis pandemi Covid-19 yang sekarang terjadi.
Masyarakat lebih membutuhkan peningkatan akses pendidikan jarak jauh karena sejumlah keluarga terkendala keterbatasan gawai, listrik, dan internet untuk belajar dari rumah. Dana program yang mencapai ratusan miliar rupiah semestinya lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dia juga memandang tidak ada kebaruan ataupun inovasi dalam substansi program itu. POP sejatinya sudah biasa dilakukan melalui model-model hibah bantuan sosial kemasyarakatan dari pemerintah daerah kepada ormas, lembaga sosial, dan yayasan pendidikan.
Tidak ada kata terlambat untuk menghentikan program ini.
”Tidak ada kata terlambat untuk menghentikan program ini. Lebih baik dana POP untuk meningkatkan akses pendidikan masyarakat miskin, seperti di daerah tertinggal dan terluar,” ujar Rakhmat.
Praktisi pendidikan, Jimmy Paat, berpendapat, jangan sampai pemerintah meninggalkan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Permasalahan kompetensi guru mengajar semestinya diperbaiki dari hulu.
”Jadi, perbaikan guru tidak bisa hanya melalui solusi yang sepotong-sepotong. LPTK mempunyai best practices pendidikan, mulai dari sosiologi pendidikan sampai bidang-bidang ilmu yang dipilih guru untuk kompetensinya. Memang ada permasalahan juga di lembaga yang semestinya pemerintah perbaiki,” katanya, Rabu (5/8/2020).
Apabila pemerintah tetap ingin POP berjalan, Jimmy mempertanyakan sejauh mana ormas terpilih bisa mengatasi permasalahan pengajaran pada pribadi guru.
Bergabung lagi
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf bertemu dengan Mendikbud Nadiem Makarim, Kamis (6/8/2020). Selain silaturahmi, pertemuan juga untuk membahas masalah terkait pendidikan di tengah pandemi Covid-19.
”Ini silaturahmi untuk mengurai kekusutan komunikasi yang sempat terjadi. Dalam suasana prihatin akibat pandemi dan masyarakat sangat membutuhkan jalan keluar dari berbagai kesulitan, sangat tidak elok kalau kontroversi yang tidak substansial dibiarkan berlarut-larut,” katanya dalam pernyataan resmi.
Gus Yahya, begitu dia biasa disapa, menyampaikan, dia menemui Mendikbud atas persetujuan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU untuk menyampaikan keputusan NU agar tetap ikut POP. Keputusan ini diambil dalam rapat PBNU pada Selasa (4/8/2020). Sebelumnya, NU sudah memutuskan mundur dari POP. Keputusan tersebut tertuang dalam hasil rapat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Pengurus Besar NU, Rabu (22/7/2020) pukul 17.00.
”POP bukan program yang bersifat akar rumput, melainkan lebih bersifat laboratorial. Memang sudah ada klarifikasi dari Mendikbud sebelumnya bahwa dengan POP ini sebenarnya Kemendikbud hanya bermaksud membeli model inovasi dari berbagai pihak yang menawarkan gagasan,” ujar Gus Yahya.
Baca juga: Muhammadiyah dan NU Mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud
Namun, Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU KH Zainul Arifin Junaidi dalam pesan singkat, kemarin sore, mengaku, pihaknya tidak tahu-menahu tentang pernyataan Gus Yahya. Lembaga Pendidikan Ma’arif NU tetap pada tiga sikapnya.
Sikap pertama, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU meminta Kemendikbud untuk mematangkan konsep POP dan menunda pelaksanaan tahun depan. Lembaga mempertimbangkan untuk bergabung setelah mempelajari dan mencermati revisi konsep POP.
”Apabila Kemendikbud memaksakan POP dilaksanakan tahun ini, kami menyatakan tidak bergabung, tanpa menutup kemungkinan kerja sama program lain,” katanya.
Dia menambahkan, tahun ini Lembaga Pendidikan Ma’arif NU tetap melaksanakan peningkatan kapasitas kepala sekolah dan guru, serta inovasi pendidikan secara mandiri. Karena kegiatan tersebut dilaksanakan secara mandiri, pihaknya meminta kepada Kemendikbud untuk tidak mencantumkan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dalam daftar penerima POP.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyampaikan, pihaknya mengapresiasi sikap Kemendikbud yang terbuka dan mau menerima masukan masyarakat, khususnya NU, PP Muhammadiyah, dan PGRI, terkait kelangsungan POP. PGRI meminta Kemendikbud mengevaluasi secara komprehensif program mulai dari konsep, proses implementasi, sampai perekrutan agar lebih transparan dan komprehensif.
”Apabila tahun depan dilakukan kembali pembukaan seleksi peserta berdasarkan saran dan masukan, kami mempertimbangkan tahun 2021 bisa ikut kembali POP,” ujarnya.
Unifah juga menyampaikan, tahun 2020 sebaiknya dipakai Kemendikbud untuk membenahi persoalan pembelajaran jarak jauh. Anggaran yang ada disarankan dipakai untuk urusan itu.
Tidak berpartisipasi
Muhammadiyah menegaskan tetap tidak akan berpartisipasi dalam POP. Penegasan ini disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Senin (3/8/2020), di Jakarta. Dia membenarkan bahwa Mendikbud sempat datang dan menyampaikan permintaan agar Muhammadiyah bisa bergabung lagi di POP dan PP Muhammadiyah mengapresiasi silaturahmi Mendikbud itu.
Kami memutuskan untuk tetap tidak berperan serta di POP.
”Terkait dengan permintaan itu, sesuai hasil rapat bersama PP Muhammadiyah dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah dan Majelis Pendidikan Tinggi dan Litbang, kami memutuskan untuk tetap tidak berperan serta di POP,” kata Mu’ti.
Sekarang ini, menurut Mu’ti, sekolah/madrasah dan perguruan tinggi di bawah Muhammadiyah sedang fokus mempersiapkan penerimaan peserta didik baru dan menangani berbagai masalah akibat pandemi Covid-19.
Terdapat 56 daftar pertanyaan dan jawaban seputar POP di laman sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id. Ada pula Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman POP untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang memuat rinci petunjuk teknis.
Mengutip poin 45 dari 56 daftar pertanyaan jawaban yang tertera di sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id dijelaskan, pendaftaran organisasi di laman sekolah penggerak adalah upaya Kemendikbud memetakan organisasi-organisasi yang selama ini aktif dalam membangun pendidikan di wilayahnya masing-masing. Kemendikbud tidak meminta apa pun kepada organisasi yang terdaftar dan organisasi tidak memiliki kewajiban apa pun berkaitan dengan program ini.
Dalam konteks ini, pembatalan/pengunduran diri yang dimaksud dapat dilakukan dengan cara mengirimkan surel ke sekolah.penggerak@kemdikbud.go.id untuk menonaktifkan akun supaya tidak menerima notifikasi dari POP. Hanya organisasi yang proposal programnya dinyatakan layak menerima bantuan yang akan melakukan kerja sama dengan Kemendikbud. Dalam konteks ini, pembatalan kerja sama dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama.
Hingga sekarang, evaluasi yang dijanjikan Kemendikbud masih berlangsung. Dengan demikian, fase penetapan ormas peserta POP yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama belum dilakukan. Ketika sudah ada penetapan dan tanda tangan perjanjian kerja sama, maka pencairan dana bantuan kepada ormas yang memilih skema bantuan baru bisa dilaksanakan.
Baca juga: Transparansi Seleksi Program Organisasi Penggerak Masih Dipertanyakan
Sebelumnya, Mendikbud mengatakan, pihaknya berkomitmen mengevaluasi POP. Evaluasi diharapkan berlangsung tiga sampai empat minggu. Bukan hanya evaluasi internal, melainkan juga melibatkan pakar pendidikan, organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, dan juga lembaga independen lainnya.
Evaluasi ini, kata Nadiem, meliputi tiga hal. Pertama terkait integritas dan transparansi sistem perekrutan yang telah dilakukan. Kedua, memastikan semua organisasi yang telah lolos seleksi merupakan organisasi yang berintegritas. Ketiga, memastikan efektivitas pelaksanaan program selama masa pandemi Covid-19 ini.