Kelas Tatap Muka di Zona Kuning Covid-19 Diperbolehkan Dibuka
Setelah dua pekan terakhir menjadi wacana, pemerintah akhirnya memutuskan untuk memperbolehkan kelas tatap muka di sekolah di zona kuning Covid-19. Keputusan ini tetap menuai kontra sejumlah kalangan peduli hak anak.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan untuk memperbolehkan pembelajaran tatap muka di sekolah di zona kuning Covid-19. Sebelumnya, keputusan memperbolehkan pembukaan kembali sekolah hanya berlaku di zona hijau Covid-19.
Keputusan itu ditandai dengan merevisi surat keputusan bersama (SKB) tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama (Kemenag) yang dikeluarkan 13 Juli 2020.
”Diperbolehkan ya, tidak diwajibkan. Apabila kepala daerah dan dinas pendidikan/kantor wilayah Kemenag di zona kuning Covid-19 memberikan izin, tetapi kepala/komite sekolah dan orangtua tidak siap, maka kelas tatap muka di sekolah tidak akan buka dan lanjut pembelajaran jarak jauh. Pemerintah harus mengutamakan hak prerogatif mereka,” tegas Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam taklimat media Pengumuman Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (7/8/2020) petang, di Jakarta.
Dia menjelaskan, keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan potensi efek negatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berkepanjangan. Misalnya, ancaman putus sekolah, risiko penurunan capaian belajar, peningkatan kekerasan yang tidak terdeteksi, dan efek psikologis.
Baca juga : Kasus Covid-19 pada Anak Melonjak
Nadiem juga mengatakan, pemerintah menerima berbagai keluhan selama PJJ. Dari sisi guru, mereka kesulitan mengelola PJJ, cenderung fokus kepada penuntasan kurikulum, dan waktu pembelajaran berkurang.
Sementara dari sisi orangtua, mereka umumnya kesulitan memahami pelajaran dan memotivasi anak. Adapun dari sisi anak, banyak di antara mereka susah berkonsentrasi selama belajar dari rumah, penugasan guru berat, dan stres meningkat.
Berdasarkan data per 3 Agustus 2020 dari http://covid19.go.id terdapat sekitar 57 persen peserta didik yang masih berada di zona merah dan oranye Covid-19. Sementara itu, sekitar 43 persen peserta didik berada di zona kuning dan hijau Covid-19.
Tahapan pembelajaran tatap muka satuan pendidikan di zona hijau dan zona kuning Covid-19, sesuai revisi SKB empat menteri, dilakukan secara bersamaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan pertimbangan risiko kesehatan yang tidak berbeda untuk kelompok umur pada dua jenjang tersebut. Sementara itu, jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dapat memulai pembelajaran tatap muka paling cepat dua bulan setelah jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan kuning Covid-19, pembukaan kembali sekolah dilakukan secara bertahap. Sebagai gambaran, kapasitas asrama kurang dari 100 siswa, maka masa transisi bulan pertama asrama hanya boleh diisi 50 persen siswa dan bulan kedua baru 100 persen.
Pembelajaran tatap muka di sekolah selama pandemi Covid-19 berbeda dibanding sebelumnya. Sekolah di zona kuning pun wajib melakukan pengisian daftar periksa kesiapan, mulai dari ketersediaan sarana sanitasi, kebersihan, fasilitas layanan kesehatan, area wajib masker, alat pengukur suhu tubuh tembak, pemetaan warga satuan pendidikan, sampai membuat kesepakatan dengan komite satuan pendidikan.
Selain itu, ada ketentuan pembatasan jumlah siswa masuk ke ruang kelas, jaga jarak, dan jadwal pembelajaran yang sesuai protokol kesehatan ketat. ”Bagi peserta didik di zona oranye dan merah Covid-19, mereka wajib PJJ,” tegas Nadiem.
Untuk menjawab kegelisahan guru tentang kurikulum darurat, Kemendikbud mengabulkannya. Kurikulum darurat yang dibuat Kemendikbud tetap mengacu kepada Kurikulum 2013, tetapi mengalami pengurangan kompetensi dasar di setiap mata pelajaran.
Dengan kata lain, kompetensi dasar yang diambil hanya yang esensial dan prasyarat untuk berlanjut ke pembelajaran jenjang berikutnya. Kurikulum darurat ini berlaku sepanjang tahun pelajaran 2020/2021.
Bagi jenjang PAUD dan sekolah dasar, Kemendikbud telah menyediakan modul pembelajaran bagi guru, siswa, dan orangtua. Modul bagi PAUD fokus kepada kegiatan bermain adalah belajar sehingga isinya mencakup rencana pembelajaran yang mudah dilakukan secara mandiri oleh pendamping. Adapun modul bagi jenjang sekolah dasar menitikberatkan kemampuan literasi dan numerasi.
”Kurikulum darurat bersifat opsional. Apabila sekolah sudah lebih dulu menyederhanakan kurikulum, silakan tetap dipakai. Jika sekolah tetap merasa nyaman memakai kompetensi dasar awal di Kurikulum 2013, kami juga mempersilakan,” tutur Nadiem.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, pihaknya mengimbau kerja sama orangtua agar selalu mengingatkan anak tidak mampir ketika perjalanan menuju ataupun dari sekolah ke ataupun dari rumah. Jajaran tenaga pendidik di sekolah juga harus tegas menegur siswa yang tidak lekas pulang ke rumah usai kelas.
Pihaknya mempunyai data nama beserta alamat pesantren dan madrasah. Ini dianggap memudahkan pengawasan.
Dia mengakui, sejauh ini sudah ada kluster Covid-19 di tiga pesantren. Berangkat dari kejadian itu, dia mengimbau semua santri dan pengajar yang sudah berada di dalam pesantren tidak lagi pergi ke mana-mana setelah dinyatakan sehat.
”Kami khawatir jika masih ada siswa pulang-pergi. Mereka berisiko menularkan dan tertular virus korona baru. Intinya, kami minta semua kalangan gotong royong menghadapi dan meminimalkan risiko penyebaran Covid-19,” ujar Fachrul.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Muhammad Hudori menyebutkan, kepala daerah, dinas pendidikan, sekolah, dan orangtua diberikan keleluasaan untuk menerapkan kelas tatap muka kembali di sekolah. Oleh karena itu, masing-masing harus saling bekerja sama menyiapkan keamanan dan keselamatan sesuai amanat revisi SKB empat menteri.
”Sesuai UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dilarang membuat kebijakan yang meresahkan kepentingan umum,” ucapnya saat ditanya ada tidaknya sanksi terhadap penyalahgunaan revisi SKB empat menteri kepada kepala daerah.
Membuat petisi
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asa Pena) Anastasia Rima memandang, cara terbaik pada kondisi saat ini adalah memperkuat tri-sentra pendidikan. Dengan kata lain, orangtua dan masyarakat harus turun tangan membantu pemerintah memecahkan masalah pendidikan di masa pandemik ini.
Pihaknya membuat petisi ”Lindungi Anak, Tunda Tatap Muka di Sekolah” di Change.org guna menggugah orangtua, guru, dan semua pihak terkait agar mau membuka mata bahaya pandemi Covid-19. Petisi itu baru diunggah kemarin dan memperoleh ratusan tanda tangan dukungan.
”Jangan tunggu sampai orang terdekat kita terinfeksi baru kita mau waspada dan menganggap ini serius,” lanjutnya.
Sebelumnya, penulis buku anak dan orangtua di Surabaya, Watiek Ideo, juga membuat petisi yang intinya menyuarakan hak anak dalam mendapatkan perlindungan dan keselamatan selama pandemi Covid-19. Petisinya diunggah di Change.org.
Latar belakang petisi, seperti yang dia tulis pada 5 Agustus 2020, bermula dari isu 21 sekolah akan dibuka di Surabaya. Petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 140.000 orang.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Soedjatmiko berpendapat, anak tertinggal pelajaran selama masa pandemi Covid-19 bukan masalah besar. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi usai. Sementara kasus positif dan angka kematian terus meningkat.
”Guru dan jajaran pengurus sekolah lainnya harus siap. Begitu pula dengan orangtua dan siswa juga harus siap risiko,” ujar Soedjatmiko.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyayangkan keputusan pemerintah merevisi SKB empat menteri dengan memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada zona kuning Covid-19, padahal sangat berisiko bagi anak-anak. Hak hidup dan hak sehat bagi anak-anak adalah yang lebih utama saat pandemi saat ini.
”SKB empat menteri tersebut seharusnya dievaluasi dahulu sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan pada pengalaman atau praktik di sekolah-sekolah atau daerah-daerah yang membuka sekolah di zona hijau Covid-19. Proses ini setidaknya tidak pernah disampaikan kepada publik,” kata Retno.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan Kreativitas dan Budaya pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Elvi Hendrani, saat dihubungi terpisah, mengatakan, selama wacana merevisi muncul, pihaknya kurang setuju. Hal paling penting selama masa darurat adalah kerja sama sekolah, orangtua, anak, kurikulum khusus, dan penyediaan sarana prasarana PJJ.