Bingung antara Mengajari atau Mengerjakan Tugas Anak
Beberapa orangtua bingung antara mengajari atau mengerjakan tugas yang diberikan guru kepada anak mereka saat pembelajaran jarak jauh.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Deny Setiyawati (40), warga Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, saat merekam putranya, Kahfiaris Savero Ramadhan (8), yang sedang memeragakan ragam tepuk dalam Pramuka, Rabu (5/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran jarak jauh membuat beberapa orangtua merasa rancu antara mengajari atau mengerjakan tugas yang diberikan guru kepada anak. Saat bersamaan, guru kesulitan menilai kompetensi siswa.
Sudah tiga pekan ini, setiap Senin-Jumat, Deny Setiyawati (40), warga Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, harus mendampingi putranya, Kahfiaris Savero Ramadhan (8), belajar dari rumah. Setidaknya, siswa kelas III SD Negeri Palmerah 09 Pagi Jakarta ini harus mengikuti 2-4 pelajaran setiap hari.
”Harus didampingi sampai tuntas. Ditinggal ke kamar mandi sebentar saja dia langsung berhenti,” katanya saat ditemui di rumahnya.
Seperti pada Rabu (5/8/2020) siang, Deny terlihat mengajari Savero memeragakan ragam tepuk dalam pramuka. Gerakan tersebut selanjutnya dipraktikkan oleh Savero yang telah mengenakan seragam pramuka lengkap.
Pada saat bersamaan, Deny merekam gerakan Savero menggunakan perekam video di gawainya. Rekaman tersebut menjadi laporan yang wajib dikirimkan kepada guru.
Sebelumnya, Deny telah mendampingi Savero untuk mengerjakan soal-soal dari pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan serta Seni Budaya dan Prakarya (SBDP). ”Hari ini ada dua pelajaran ditambah dan satu materi pramuka,” katanya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Guru SDIT Ibnu Sina Duren Sawit, Jakarta Timur, membuka layanan pengambilan tugas pekerjaan rumah siswa secara lantatur (drive thru) di depan sekolah, Rabu (5/8/2020).
Selama ini Deny mengaku kerap kerepotan mengajari putranya belajar. Pasalnya, ia juga bertanggung jawab mendampingi anak keduanya yang masih berusia tiga tahun sehingga konsentrasinya sering terganggu.
Bahkan, beberapa kali Deny mengaku kebablasan. Bukannya meminta Savero untuk mencari jawaban soal dari buku atau literatur yang ada, ia malah memberikan jawaban kepada sang anak.
”Saking pengin simpel, kadang begitu. Niatnya nyuruh anak nyari tahu jawabannya malah kita yang ngasih jawaban," katanya.
Mutia (35), ibu rumah tangga asal Palembang, Sumatera Selatan, juga tidak kalah repotnya. Ia kini harus mendampingi empat anak belajar di rumah. Satu anaknya duduk di TK, sedangkan tiga lainnya adalah siswa kelas I, II, dan III SD.
”Luar biasa repotnya. Kalau satu anak SD tiga pelajaran sehari, total ada sembilan pelajaran,” ujarnya saat dihubungi.
Kompas/TOTOK WIJAYANTO
Lentera, siswi kelas IV SD Karawaci 11, sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah dibantu oleh Wahyu, tetangganya, di samping warung kaki lima ibunya di Jalan Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang, Senin (3/8/2020).
Keempatnya selalu belajar di waktu yang bersamaan. Namun, Mutia cenderung mengutamakan Latu (6), anaknya yang duduk di kelas I SD. Alasannya, guru kelasnya paling disiplin dibandingkan dengan guru-guru anaknya yang lain.
”Biasanya kalau pagi saya fokus ke Latu dulu. Kalau sudah selesai, baru ke kakak-kakaknya. Kalau yang paling kecil saya ajak main-main saja,” katanya.
Jam belajar mereka biasanya dimulai pukul 07.00 dan berakhir minimal pukul 15.00. Namun, jika anak-anak Mutia bosan, biasanya mereka akan meminta waktu bermain pada siang hari. Artinya, jam selesai belajar mereka bisa lebih molor.
Tidak jarang Mutia mencarikan jawaban dari soal-soal yang diterima anaknya melalui mesin pencarian Google untuk meringkas waktu. Terlebih, jawaban dari soal-soal tersebut memang dapat dengan mudah dicari di sana.
Sejauh ini nilai yang didapatkan oleh anak-anak Mutia nyaris mendekati sempurna. ”Paling pelajaran SBDP itu yang banyak keteteran. Ada yang dapat nilai 50,” katanya.
Sulit menilai
Kepala SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta Hidayat mengakui cukup sulit menilai kompetensi siswa melalui pembelajaran jarak jauh. ”Kalau pembelajaran tatap muka murni, ya, nilai itu dari cara berpikir siswa. Tetapi kalau dari rumah sulit ditentukan,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Kepala SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta Hidayat, saat ditemui di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Jika melalui pembelajaran tatap muka, Hidayat mengamati nilai siswa-siswanya cenderung bervariatif. Ada yang di bawah, tepat, atau di atas nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Namun, saat pembelajaran jarak jauh, nilai rata-rata siswa cenderung bagus.
”Nilainya bisa seratus, seratus, seratus. Kita tidak bisa tahu apakah ini murni pekerjaan siswa atau ada yang membantu dia,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh guru kelas VI SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta, Slamet Sutanto. Ia mengakui kesulitan menilai kemampuan siswa melalui pembelajaran jarak jauh. Padahal, penting bagi guru untuk mengenali hal tersebut.
Biasanya, Sutanto selalu memberikan materi tambahan kepada siswa-siswa yang memiliki nilai di bawah KKM. Namun, hal itu kini tidak bisa dilakukan. ”Biasanya kalau jam istirahat kedua saya ngajarin siswa-siswa yang nilainya kurang. Sekarang, kan, jadi susah,” ujarnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Guru Kelas 6 SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta, Slamet Sutanto, saat sedang mengajar daring di ruang kelasnya, Rabu (5/8/2020).
Menurut Sutanto, pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran 2020/2021 berbeda dengan tahun ajaran 2019/2020. Pada tahun ajaran 2019/2020, siswa sudah memiliki bekal materi-materi dasar lewat pembelajaran tatap muka sebelum pandemi.
Sementara untuk tahun ajaran 2020/2021, materi dasar harus langsung disampaikan lewat pembelajaran jarak jauh. ”Jadi, kalau dulu mungkin saya sudah kenal kompetensi siswa sebelum pandemi, sekarang berbeda,” ujarnya.
Meski begitu, Sutanto tetap berupaya mengenali kompetensi siswanya satu per satu. Salah satunya dengan mengajak siswa-siswanya untuk mengikuti pembelajaran via panggilan video setiap Senin-Rabu.
”Untuk siswa yang keberatan mengikuti, saya minta melaporkan kendalanya agar bisa diberikan keringanan,” katanya.