Tangkal Informasi Sesat, Akademisi Perlu Lebih Banyak Isi Ruang Virtual
Di era komunikasi media sosial, lantaran lebih bebas dan bersifat global, informasi apa pun bisa beredar. Ada sisi positif dan negatif. Apabila tak dikelola dengan baik, media sosial bisa berisi kabar-kabar bohong.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kanan) dan Hakim Konstitusi Suhartoyo (kiri) memimpin sidang pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (9/9/2019). Uji materi tersebut diajukan Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Papua Bersatu. Dalam uji materi tersebut pemohon menyampaikan aspirasi terkait pembentukan partai lokal Papua.
SEMARANG, KOMPAS — Para akademisi perguruan tinggi didorong lebih banyak menyajikan informasi valid dan teruji kepada publik. Hal itu penting, antara lain, guna menangkal beredarnya informasi yang menyesatkan di ruang-ruang virtual.
Hakim Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Arief Hidayat mengatakan, awalnya negara hanya memiliki tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam perkembangannya, ada kekuatan baru, yakni media massa, yang bisa mengontrol kebijakan negara atau sering disebut pilar kekuasaan keempat. Kemudian, berkembang kekuatan lain, yakni lembaga swadaya masyarakat (LSM).
”Pada abad 21 ini, berkembang lagi kekuatan baru, media sosial, yang punya kewarganegaraan sendiri yakni netizen (warganet). Mereka memiliki ruang publik dan bisa memengaruhi kebijakan negara,” kata Arief dalam jumpa pers virtual jelang Dies Natalis Ke-38 Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (5/8/2020).
Arief mengatakan, di era media sosial, lantaran iklim berkomunikasinya lebih bebas dan bersifat global, informasi apa pun bisa beredar. Ada sisi positif dan negatif. Apabila tak dikelola dengan baik, media sosial bisa berisi kabar-kabar bohong, alih-alih informasi akurat dan teruji.
Saat ini, kata Arief, terlebih di tengah pandemi Covid-19, beberapa konten di media sosial berisi informasi yang menyesatkan dan memecah belah. Selain itu, informasi-informasi tersebut juga berpotensi membodohi masyarakat. Jika dibiarkan, di tengah longgarnya kohesi sosial, hal ini dapat meruntuhkan Pancasila.
Apabila tak dikelola dengan baik, media sosial bisa berisi kabar-kabar bohong, alih-alih informasi akurat dan teruji.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu lebih banyak mengambil peran. ”Ruang-ruang publik virtual bisa diisi hasil penelitian lewat dosen-dosen berkompetensi yang mengutamakan integritas. Ini bisa mengeliminasi kabar negatif, kabar bohong, atau yang mengandung kebencian,” ujarnya.
Sebelumnya, di Youtube beredar video wawancara yang dipandu oleh pesohor tentang klaim penemuan obat Covid-19. Video itu dinilai memuat berita bohong sehingga warganet melaporkan video itu dengan keterangan spam atau misleading. Video itu kemudian diturunkan Youtube.
Kompas/Priyombodo
Mural bertema no hoax menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). Hoaks atau informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial dan grup percakapan, kian mengkhawatirkan. Salah satu yang menjadikan maraknya penyebaran hoaks adalah jumlah pemegang telepon pintar yang terus meningkat.
Juru bicara dan Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta peneliti dan figur publik berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada publik. Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar malah makin tersesat karena mendapat informasi yang tak benar (Kompas, 5/8/2020)/
Rektor Unika Soegijapranta Ridwan Sanjaya berpendapat, dalam kehidupan di dunia virtual, masyarakat Indonesia masih dalam tahap awal. Ia mengibaratkan orang memiliki mobil baru dan masih tahap coba-coba untuk mengendarainya.
Meski demikian, selama ini ia melihat sesuatu hal yang berawal dari online atau daring sering kali masih dianggap tabu. Menurut Ridwan, bukan lagi saatnya menganggap sesuatu yang luring atau offline lebih baik ketimbang daring. Akan lebih baik jika kedua dunia komunikasi ini diberikan pemahaman dengan nilai-nilai sama dan telah diajarkan sejak dini.
Bukan lagi saatnya menganggap sesuatu yang luring lebih baik ketimbang daring. Akan lebih baik jika kedua dunia komunikasi ini diberi pemahaman dengan nilai-nilai sama dan telah diajarkan sejak dini.
”Kalau sudah pada tataran seperti itu, orang dengan sendirinya tak akan terpengaruh oleh sesuatu yang diragukan atau bersumber dari akun-akun anonim. Ibaratnya kita sudah memiliki mobil dan tahu cara menjalankannya dengan baik,” ujar Ridwan yang juga Guru Besar bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata.
Sementara itu, puncak perayaan Dies Natalis Ke-38 Unika Soegijapranata akan berlangsung pada Kamis (6/8/2020). Pada acara yang disiarkan secara langsung tersebut, Arief Hidayat akan membacakan orasi ilmiah berjudul ”Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Integritas Kemanusiaan dan Kebangsaan Indonesia”.