Tunda Buka Sekolah Tatap Muka, Utamakan Keselamatan Anak
Hak anak untuk hidup dan berkembang harus diutamakan. Pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah semestinya menghormati hak itu.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai membuat sejumlah kalangan peduli hak anak menolak pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah. Hak hidup dan berkembang anak harus menjadi fokus utama.
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), serta Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) dalam pernyataan bersama, Senin (3/8/2020), di Jakarta menyatakan, membuka kembali sekolah adalah pelanggaran keras hak anak.
Ketua LPAI Seto Mulyadi memahami, pandemi Covid-19 yang sudah berjalan sekitar lima bulan tidak mudah dihadapi. Banyak keluarga tidak siap. Banyak yang merasa tertekan dan takut.
Mohon masyarakat bersabar dan menahan diri untuk tidak menuntut pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah. Mari bersama mengubah jari yang menuding menjadi tangan terbuka bekerja sama saling menguatkan. (Seto Mulyadi)
Meski demikian, kebingungan dan kebosanan anak ataupun orangtua terhadap pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan hal yang wajar. ”Mohon masyarakat bersabar dan menahan diri untuk tidak menuntut pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah. Mari bersama mengubah jari yang menuding menjadi tangan terbuka bekerja sama saling menguatkan,” ujarnya.
Seto menyampaikan, tri-sentra pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, perlu merapatkan barisan dan berinovasi demi memberikan layanan pemenuhan hak atas pendidikan dengan tetap mengutamakan perlindungan atas hak anak.
Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020. Dalam surat edaran ini, siswa tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas ataupun kelulusan.
Belajar dari rumah lebih difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup sesuai minat dan kondisi masing-masing. Umpan balik dari guru bisa berbentuk kualitatif tanpa keharusan memberi skor kuantitatif.
Selain itu, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Pembelajaran Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. SKB ini dikeluarkan oleh Mendikbud, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Karena itu, desakan membuka kembali kelas tatap muka di sekolah secara menyeluruh berarti menentang SKB empat menteri.
Tak sebanding
”Rasa bosan di rumah ataupun capek mendampingi anak belajar di rumah tidak akan sebanding dengan perasaan melihat anak terbaring sakit di ruang gawat darurat. Ini bukan menakut-nakuti. Kami yang merawat sehingga kami tahu kondisi lapangan. Bahkan, petugas kesehatan harus rutin dites Covid-19 agar tidak tertular ataupun menularkan,” tegas Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Aman Bhakti Pulungan.
Aman menegaskan, ketika seorang anak tertular, dia harus dirawat, demikian pula orangtuanya. Sementara itu, sekolah belum tentu mau merujuk ke rumah sakit dan membiayai. Hal seperti itulah yang seharusnya dipikirkan orangtua.
Apabila ingin menilai suatu daerah masuk zona Covid-19, acuan pengukurannya adalah dinamika tingkat kasus positif. Hanya saja, dia menyayangkan banyak daerah tidak selalu melaporkan data terbaru tingkat kasus positif.
Aman berpendapat, pembuat kebijakan semestinya memosisikan dirinya sebagai orangtua sebelum memutuskan regulasi yang memperbolehkan kelas tatap muka di sekolah kembali dibuka.
Berdasarkan data IDAI, diperkirakan jumlah anak yang meninggal karena Covid-19 sudah mencapai puluhan. Adapun anak yang terpapar virus korona baru lebih banyak.
”Pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah ditunda sampai akhir 2020. Mendekati pertengahan Desember 2020, kita lihat perkembangan kasus Covid-19 seperti apa. Jika situasinya masih sama seperti sekarang, kami menyarankan PJJ terus berlanjut sampai 2021,” kata Aman.
Baca juga : Masih Zona Merah, Pembelajaran Tatap Muka di NTB Belum Diperkenankan
Ketua Perkumpulan KerLiP Yanti Sriyulianti menjelaskan, pernyataan bersama itu dipicu desakan pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah oleh sejumlah pihak, termasuk isu pembukaan di zona kuning. Dia menyayangkan desakan itu juga ada yang datang dari kalangan orangtua murid.
”Jangan sampai orangtua merasa repot dan terbebani ketika harus mendampingi anak selama PJJ. Dulu, saat anak lahir, orangtua merasa senang luar biasa dan mendapat berkah. PJJ baru berjalan lima bulan, kok, mengeluh,” ujarnya.
Yanti mengatakan, penghargaan atas hak hidup dan berkembang anak juga harus diwujudkan dengan selalu patuh protokol kesehatan. Misalnya, memakai masker dengan benar, rajin mencuci tangan, dan jaga jarak. Kemudian, orangtua dan guru harus patuh terhadap amanat Surat Edaran Mendikbud No 4/2020.
Inovatif
Dalam pernyataan bersama juga diserukan agar pemerintah melalui Kemendikbud segera menetapkan kurikulum adaptif serta memberikan jaminan kenaikan kelas bagi anak-anak didik. Sambil menunggu dikeluarkannya kurikulum adaptif, Ketua Umum FGII Tety Sulastri Lokollo mengatakan, pihaknya terus mendorong guru-guru anggota jaringan mengembangkan cara-cara inovatif untuk mengajar. Guru juga harus mampu memberikan layanan bersifat individual kepada siswa.
Sebelumnya, berdasarkan data Kemendikbud, terdapat 79 kabupaten/kota yang belum mengikuti SKB Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 yang ditandatangani Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri pada 15 Juli 2020.
Terkait isu pemerintah akan merelaksasi pembukaan kembali sekolah di zona bukan hijau, Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im mengatakan, Kemendikbud tetap konsisten dengan kesehatan dan keselamatan. Pihaknya mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran di zona bukan hijau sehingga seandainya ada relaksasi, kriteria pembukaan akan dibuat lebih ketat.
”Khususnya zona kuning Covid-19. Kriteria lebih ketat mencakup, antara lain, jumlah anak dan pertemuan semakin sedikit,” katanya dalam konferensi pers evaluasi SKB Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19, Selasa (28/7/2020), di Jakarta.
Menurut paparan Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada Panitia Kerja PJJ Komisi X DPR, Juli lalu, terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau 4G dan sekitar 9.113 desa/kelurahan di antaranya berada di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Dari seluruh wilayah Indonesia, hanya 49,33 persen yang telah mendapatkan jaringan 4G, 44,35 persen mendapat jaringan 3G, dan 68,54 persen mendapat jaringan 2G. Artinya, terdapat 31,46 persen luas wilayah Indonesia yang belum mendapatkan akses internet sama sekali.
Komisi X menyarankan TVRI terus bekerja sama dengan Kemendikbud menyediakan beberapa kanal tambahan TVRI khusus pendidikan. Misalnya, kanal tambahan TVRI Sekolah Dasar, TVRI Sekolah Menengah Pertama, dan TVRI Sekolah Menengah Atas. Dalam kanal-kanal tersebut dapat ditampilkan materi-materi pembelajaran sesuai jenjang secara bergantian.
Baca juga : Tak Perlu Buru-buru Buka Sekolah
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyampaikan, Badan Standar Nasional Pendidikan sudah menyusun materi fokus pembelajaran standar isi Kurikulum 2013. Materi itu sudah siap dan tinggal menunggu diluncurkan oleh Mendikbud.
”Cakupan materi setiap mata pelajaran dipilih yang paling esensial. Sudah siap sepertinya,” katanya.