Perempuan Kepala Keluarga Kian Terpuruk
Kondisi perempuan yang jadi tulang punggung keluarga makin terpuruk di tengah pandemi Covid-19. Mereka berjuang sendiri memikul beban ekonomi keluarga.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kehidupan perempuan kepala keluarga, terutama di lapisan masyarakat bawah, kian terpuruk. Apalagi, keberadaan mereka sebagai tulang punggung keluarga kerap terabaikan. Akibatnya, mereka rentan mengalami diskriminasi dan terbelenggu kemiskinan.
Padahal, jumlah perempuan kepala keluarga/kepala rumah tangga terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama di daerah konflik dan bencana. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, ada 10,3 juta rumah tangga (15,7 persen) dengan perempuan sebagai kepala keluarga.
Sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan berpendidikan rendah (42,57 persen tidak punya ijazah). Jumlah paling besar di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
Baca juga: Kartini Masa Kini di Tengah Pandemi
Perempuan menjadi kepala keluarga karena berbagai faktor, seperti bercerai dengan suaminya, suami tak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, atau suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah, serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga. Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran, atau sakit.
Mayoritas perempuan menjadi kepala rumah tangga karena suaminya meninggal (67,17 persen).
”Perempuan kepala keluarga sering dianggap tiada dalam beberapa konteks. Pada waktu tertentu, misalnya saat pemilu atau ada bantuan, mereka dibuat ada untuk menguntungkan pihak lain. Tapi itu bukan untuk mengakui keberadaannya,” ujar Mia Siscawati, dosen Program Studi Kajian Jender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, di Jakarta, Minggu (2/8/2020).
Sejauh ini, perempuan kepala keluarga memiliki beragam latar belakang, kelas ekonomi, kelas sosial, dan status perkawinan. Perempuan yang menjadi kepala keluarga menghadapi beban berlapis dan berbagai kesulitan. Saat gugat cerai, mereka mengalami stigma negatif. Ketika jadi pencari nafkah utama meski ada suami, mereka dianggap bukan kepala keluarga.
Perempuan kepala keluarga sering dianggap tiada dalam beberapa konteks. Pada waktu tertentu, misalnya saat pemilu atau ada bantuan, mereka dibuat ada untuk menguntungkan pihak lain.
”Jadi mereka dianggap tak ada atau tak penting oleh komunitas. Negara pun tak melihat perempuan kepala keluarga sebagai warga negara yang menjadi subyek atas pengakuan dan perlindungan haknya,” ujarnya.
Pengingkaran atas keberadaan perempuan kepala keluarga terus terjadi. Sebab, secara kultural, keberadaan perempuan dilekatkan dengan ayahnya, atau saat menikah dilekatkan dengan suami. Jadi saat ia tak memiliki suami, itu dianggap tak lazim. Kalaupun diakui, mereka menjadi obyek yang harus disantuni dan ditolong.
Tak diakui
Posisi perempuan kepala keluarga dipengaruhi kerangka pikir ibuisme yang menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu. Pemikiran itu menginternalisasi perempuan hingga posisinya lemah. Sejumlah perempuan yang ditinggal suami atau tidak dinafkahi bertahun-tahun kerap tak mengakui dirinya sebagai kepala keluarga.
Karena selalu dilekatkan dengan laki-laki, sejumlah perempuan yang bekerja seperti menjadi petani, nelayan, atau penenun, sering kali pekerjaannya itu tak diakui di kartu tanda penduduknya. ”Perempuan nelayan yang berjuang di laut, di KTP tertulis pekerjaan ibu rumah tangga,” kata Mia.
Direktur Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Nani Zulminarni mengatakan, pada masa pandemi Covid-19, kondisi perempuan kepala keluarga kian terpuruk. ”Yang amat berat adalah soal ekonomi. Dampaknya amat terasa bagi perempuan kepala keluarga. Sebab, mereka harus berjuang sendiri dalam situasi krisis,” katanya.
Baca juga: Mereka Menolak Menyerah
Menurut Nani, kendati jumlahnya besar, pengakuan pada perempuan kepala keluarga jauh dari harapan. Padahal, banyak perempuan jadi pencari nafkah utama keluarga. ”Mereka jadi tulang punggung dalam keluarga, penopang keluarga agar bertahan,” ujarnya.
Sejumlah perempuan miskin menjadi kepala keluarga, antara lain, karena adanya konflik atau merantau. Ada juga perempuan yang dalam perkawinan, tapi tak tercatat karena menikah siri ataupun ditinggalkan suaminya. Rata-rata mereka hidup dalam kemiskinan dan tidak mengantongi kartu keluarga.
Di masyarakat, stigma negatif seperti ”janda” masih melekat terhadap sebagian perempuan kepala keluarga, terutama yang ditinggal suami. ”Stigma soal janda tidak berkurang, masih kental di masyarakat,” ujar Nani. Ia mencontohkan ada anggota Pekka untuk keluar dari desanya harus mengantongi izin dari kepala desa.
Yayasan PEKKA mendeskripsikan perempuan kepala keluarga sebagai perempuan yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, penjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarganya.
Hingga kini keanggotaan PEKKA terorganisasi sekitar 68.850 perempuan, tersebar di 87 kabupaten di 20 provinsi. Mereka kebanyakan berada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan berusia berusia 31-60 tahun. Sebanyak 65 persen, anggotanya berasal perempuan dalam status perkawinan memiliki suami, cerai mati (24 persen), cerai hidup (7 persen), dan belum kawin (3 persen).
”Mayoritas perempuan keluarga dari kelompok masyarakat menengah ke bawah, bahkan banyak dari keluarga miskin sebanyak 85 persen, dengan tingkat pendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan. Pekerjaan mereka mayoritas di sektor informal sebagai petani, buruh tani, pedagang kecil, perajin, pengolah makanan, jasa, nelayan, buruh di pabrik, pekerja rumah tangga. Mayoritas hanya tamat sekolah dasar,” kata Nani.
Stigma
Bagi Margaretha Boy (59), anggota PEKKA Sorong Sare, warga Desa Bunga Muda, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, menyandang status janda dengan anak satu bukan hal mudah. Setiap saat pandangan miring masyarakat terus diterimanya. Bahkan, ketika telah bergabung dengan PEKKA yang anggotanya mayoritas tidak memiliki suami, dia dan kawan-kawannya sering menerima ucapan masyarakat yang melecehkan perempuan.
”Ada yang mengejek dengan kata-kata, pada enaknya di PEKKA, cuma kumpulan janda semua. Kami hanya bisa bilang, janganlah anggap remeh dengan janda, kami bisa bekerja mandiri, bahkan menyekolahkan anak kami,” ujar Margaretha, yang sejak ditinggal suaminya sejak 6 tahun lalu, menjadi penenun kain tradisional NTT.
Pada tahun 2011, potret kehidupan perempuan kepala keluarga pernah diungkap Lembaga Penelitian SMERU dalam penelitian berjudul ”Akses terhadap Keadilan: Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia Studi Kasus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Kalimantan Barat, NTT”. Riset itu menemukan dari 601 anggota PEKKA yang disurvei, lebih dari setengahnya yang hidup di bawah garis kemiskinan Indonesia dan pendidikan sangat rendah.
Ketika itu, ada 27 persen anggota PEKKA menikah sebelum berusia 16 tahun. Ketiadaan akta perkawinan atau akta cerai menyulitkan mereka mendapatkan akta lahir bagi anak-anaknya, termasuk sulit membuat kartu keluarga baru, sehingga tidak bisa mengakses layanan publik. Kasus perceraian sebanyak 78 persen disebabkan kekerasan dalam rumah tangga (fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual).
”Kalau dari segi pendidikan lebih baik, generasi kedua dari Pekka sudah ada yang sampai ke universitas meski tidak terlalu banyak. Namun, yang sangat berat adalah soal ekonomi dan kemiskinan. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, dampaknya sangat dirasakan perempuan kepala keluarga karena mereka harus berjuang sendiri, bertahan dalam situasi krisis,” kata Nani.