Jurnalisme yang profesional akan melahirkan karya jurnalisme yang berkualitas. Ini menjadi kunci untuk merawat kepercayaan dan harapan masyarakat kepada media yang meningkat di masa pandemi ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Konsumsi berita yang meningkat selama masa pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang terpercaya. Ini menjadi modal kuat bagi media berita untuk memainkan peranan kunci dalam membatasi konten berbahaya termasuk hoaks melalui penyebaran informasi yang akurat.
Data ComScore, perusahan riset pasar, tentang konsumsi media digital di Asia Pasifik menunjukkan, di Indonesia sejak 2 Maret 2020 banyak orang beralih ke outlet berita untuk mengetahui informasi tentang Covid-19. Pengunjung unik (unique visitors) meningkat 8 persen -- jumlah pengunjung unik tertinggi tercatat 87 juta – dan terus meningkat.
Survei Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada April-Mei 2020 pun mencatat, kunjungan ke situs media anggotanya meningkat 50-60 persen. Untuk televisi, berdasarkan data Nielsen Indonesia pada medio Maret, kepemirsaan program berita meningkat 25 persen dibandingkan sebelum 2 Maret 2020.
Kondisi tersebut menunjukkan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada media. Menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, hal itu juga menunjukkan besarnya harapan masyarakat terhadap media untuk menyajikan informasi yang akurat.
Tanggung jawab media dan juga wartawan untuk menjaga ekspektasi publik, untuk menjaga jurnalisme, juga kontrol sosial. (Abdul Manan)
“Tanggung jawab media dan wartawan untuk menjaga ekspektasi publik, untuk menjaga jurnalisme, juga kontrol sosial,” kata Abdul Manan dalam diskusi daring yang diselenggarakan AJI Indonesia, di Jakarta, Senin (27/7/2020).
Tanggung jawab yang semakin besar di tengah ancaman kelangsungan hidup media, dan maraknya hoaks dan misinformasi di media sosial yang “menggerus” kepercayaan masyarakat kepada media. Mengutip niemanlab.org, hoaks dan misinformasi yang selalu membanjiri platform media sosial berisiko menyatukan berita benar dan berita palsu di benak masyarakat.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, selama Februari-Maret 2020 rata-rata per minggu ada 25 hoaks korona yang diedarkan secara masif melalui media sosial. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan hingga 5 Mei 2020 terdapat 1.401 konten hoaks dan misinformasi Covid-19 beredar di masyarakat.
Tak sedikit masyarakat yang mudah, dan masih percaya pada hoaks korona mulai dari penyangkalan Covid-19 hingga teori konspirasi Covid-19. Bahkan menurut Heri Munajib, dokter yang juga hoax buster (penangkal berita hoaks) di Mafindo, ada juga dokter yang percaya teori konspirasi Covid-19.
Jika sudah demikian, berita media dari sumber terpercaya sekalipun seringkali tak bisa meluruskan hoaks dan misinformasi. Bukan tidak mungkin yang terjadi kemudian justru sebaliknya, berita media dianggap sebagai hoaks.
“Kita ada dalam kondisi di mana masyarakat mengalami apa yang disebut post truth society, hanya percaya pada apa yang diyakini. Jurnalis tetap harus menyampaikan informasi dari sumber-sumber yang jelas,” kata Ignatius Haryanto, dosen Universitas Multimedia Nusantara yang juga anggota Majelis Etik AJI Jakarta.
Profesional
Ironisnya, ketika masyarakat semakin mengandalkan media mainstream daripada media sosial, justru media mainstream – beberapa – berlaku sebaliknya demi mengejar kecepatan dan juga keuntungan ekonomi. Fenomena clickbait (umpan klik) di jagad media sosial diduplikasi untuk mendulang page view atau jumlah klik yang masuk ke situs berita media daring. Dampaknya menambah “kegaduhan” di ruang publik (public sphere).
Dalam wawancara Kompas secara daring pada 9 Juli 2020, Satrio Arismunandar, wartawan senior, dan Ketua Gerakan Alumni Universitas Indonesia Fajar Soeharto mengatakan, jurnalisme yang profesional menjadi syarat signifikan untuk mengurangi kegaduhan tersebut.
Profesional, kata Satrio, mensyaratkan keterampilan, tanggung jawab, dan kesejawatan (corporateness) yang terikat kode etik. Tanggung jawab media ke publik dikawal dengan kode etik jurnalistik yang secara implisit juga melindungi publik.
Tiga syarat jurnalisme yang profesional tersebut, kata Fajar, bersifat wajib dijalankan media jika ingin menjadi rujukan utama masyarakat dalam mendapatkan informasi. “Jangan kita menghancurkan diri kita sendiri. Media itu menjadi harapan,” katanya.
Jurnalisme profesional akan melahirkan karya yang berkualitas, modal untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Karena itu, krisis akibat pandemi Covid-19 tidak seharusnya menyebabkan krisis pada jurnalisme.
Justru jurnalisme harus diperkuat pada masa krisis ini. Media tidak sekadar memberi informasi, tetapi juga memberi alternatif solusi, penghiburan, pendidikan, dan juga kontrol sosial.
“Dalam situasi yang tidak menentu, publik kembali ke media mainstream. Kesempatan pada media untuk kembali ke jalan jurnalisme, praktik jurnalistik yang benar,” kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut dalam diskusi daring yang diselenggarakan AJI Indonesia, Rabu (29/7/2020).
Praktik jurnalistik yang benar akan menjaga ketertiban publik dan keadaban publik. Namun menurut Wenseslaus, tugas ini tidak bisa hanya dibebankan kepada media, melainkan juga perusahaan pengiklan. “Brand yang sehat seharusnya muncul di konten yang sehat,” tuturnya.
Mengacu kampanye #StopHateforProfit, perusahaan pengiklan bisa berperan menjaga ruang publik digital di media sosial agar diramaikan oleh konten-konten yang sehat. Caranya dengan menolak iklan mereka dipasang di konten-konten berbahaya, termasuk hoaks.
Kampanye tersebut belum berhasil mengubah kebijakan Facebook untuk lebih ketat menangani ujaran kebencian dan hoaks di platform media sosialnya. Namun setidaknya boikot iklan yang dilakukan lebih dari 1.000 pengiklan membuat CEO Facebook Mark Zuckerberg mau “mendengar” tuntutan tersebut.
Jurnalisme berkualitas akan merawat harapan publik kepada media. Didukung peran pengiklan mencegah kegaduhan di ruang publik digital, harapannya ketertiban dan keadaban publik bisa terjaga.