Ajip Rosidi, Membangun “Jalur Sutra” untuk Semua
Ajip Rosidi telah berpulang. Namun, inspirasinya tidak akan hilang bagi banyak untuk diteruskan lebih hebat di kemudian hari.
Sastrawan Ajip Rosidi telah berpulang, Rabu (29/7/2020). Namun, jejaknya tetap harum meninggal beragam warisan ilmu bagi generasi selanjutnya.
Kabar duka itu sampai ke telinga Ginggi Syarif Hasyim (48), pegiat seni di Jatiwangi, pada Rabu sekitar pukul 23.20. Sastrawan Ajip Rosidi berpulang dalam usia 82 tahun setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah. Beberapa kali Ginggi mencoba menelepon teman hingga anak Ajip. Jawabannya, membenarkan kepergian almarhum.
Bagi Ginggi dan warga setempat, Ajip tidak asing. Ajip lahir di Jatiwangi, 31 Januari 1938. Umur 12 tahun, saat duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak di harian Indonesia Raya. Hingga akhir hayatnya, ratusan buku berupa kumpulan cerita pendek, sajak, dan terjemahan telah ia hasilkan.
”Rumah pertama Pak Ajip dari honor menulis masih ada di Ciborelang, Jatiwangi. Rumah itu jadi Museum Ajip Rosidi sejak 2019,” kata Ginggi yang turut mengelola perpustakaan tersebut. Selain berbagai testimoni tentang Ajip, rumah dengan jendela kayu persegi itu juga memuat berbagai bukunya.
Baca Juga: Genting Keping Genteng Jatiwangi
Menurut Ginggi, Ajip Rosidi telah menempatkan Jatiwangi, yang berjarak sekitar 17 kilometer dari pusat Majalengka dan hampir 200 kilometer dari Ibu Kota, ke dalam peta seni budaya nasional. ”Beliau seperti membangun ’jalur sutra’, memberikan jalan untuk seniman agar percaya diri dalam berkiprah,” katanya.
Jika jalur sutra menghubungkan para pedagang masa lalu, ”jalur sutra” karya Ajip merupakan semangat dan motivasi bagi seniman dan budayawan di Jatiwangi ke kancah nasional, bahkan internasional. Jalur itu tidak menutup kemungkinan munculnya para ”pedagang” (penikmat) seni.
”Pak Ajip saja bisa (jadi sastrawan dan budayawan), masa kita tidak? Meskipun Jatiwangi bukan poros kesenian,” ungkap Ginggi yang turut mendirikan Jatiwangi art Factory (JaF), organisasi nirlaba yang fokus kajian kehidupan masyarakat perdesaan melalui bidang seni rupa. JaF kerap berkarya di luar negeri.
Ajip merupakan semangat dan motivasi bagi seniman dan budayawan di Jatiwangi ke kancah nasional, bahkan internasional.
Saat usianya yang ke-82 pada 31 Januari 2020, Ajip yang sempat menjadi guru besar di sejumlah universitas di Jepang memilih napak tilas dan mengumumkan hadiah Sastra Rancage di Jebor Hall, markas JaF. Anugerah Sastra Rancage, penghargaan tahunan yang digagas Ajip sejak 1989, pun pertama kali digelar di Jatiwangi.
Mungkin, ia tahu peringatan ulang tahunnya yang tidak mungkin berulang lagi harus dilakukan di tanah kelahirannya, Jatiwangi. Ajip yang pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, 1972-1981 memang pernah tinggal di Bandung, Jakarta, Jepang, dan kini menutup harinya di Magelang.
Ginggi dan komunitasnya di JaF berencana menggelar tahlilan dan doa untuk Ajip Rosidi pada hari ketujuh berpulangnya. ”Pesan beliau yang juga PR (pekerjaan rumah) kami adalah memelihara museumnya demi menghidupkan semangat membaca warga setempat,” ujar mantan kepala Desa Jatisura tersebut.
Dalam makalahnya 14 Januari 2020 yang ditulis di Pabelan, Magelang, Ajip berharap komunitas JaF atau orang Jatiwangi lainnya turut membaca dan menerjemahkans naskah Wangsakerta agar memahami sejarah Nusantara, termasuk tatar Sunda. ”Tetapi ini butuh waktu tidak sedikit,” tulis Ajip yang siap membantu.
Sayangnya, Ajip dipanggil Yang Maha Kuasa. Ia harus menempuh jalan pasca-kehidupan setelah membangun ”jalur sutra” kebudayaan di Jatiwangi.
Baca Juga: Arief dan Ginggi Menyulap Bekas Pabrik Genting Menjadi Ruang Seni
Sebagai pejuang sastra Sunda, Ajip tidak hanya menguasai bahasa Sunda. Tinggal di Jatiwangi, ia juga menekuni bahasa Jawa dialek Cirebon, tetangga Majalengka. Jika di rumah, ia berbahasa Cirebon. Ajip tak pernah setengah-setengah hidup bersama minatnya pada literasi.
Apabila tak percaya, silakan datang ke Pusat Studi Sunda dan Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Perpustakaan ini diresmikan tahun 2015 dengan koleksi awal sekitar 40.000 koleksi buku Ajip dan rekan-rekannya. Pustaka ini menjadi bagian dari Pusat Studi Sunda yang terbentuk setelah Konferensi Internasional Budaya Sunda di Bandung pada tahun 2001.
Hingga tahun 2020, Perpustakaan Ajip Rodisidi telah mengumpulkan kurang lebih dari 60.000 buku dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Sunda, Indonesia, Inggris, bahkan Bahasa Belanda.
Sebanyak lebih dari 80 persen buku berasal dari koleksi pribadi Ajip yang didominasi literatur kebudayaan Sunda dari berbagai bahasa. Selain itu, terdapat lebih dari 100 judul buku yang ditulis oleh Ajip. Semua koleksi tersebut dikumpulkan di lantai dua.
Sejak lama, Ajip ingin tempat itu menjadi pusat studi literasi sastra Sunda terbesar yang pernah ada. Salah satu yang tengah digarap adalah menguak peninggalan sastra abad ke-17 dengan sekitar 300 judul yang menjadi referensi bagi Pangeran Wangsakerta dalam menyusun naskahnya terkait silsilah raja Nusantara.
Ini salah satu keinginan Kang Ajip yang belum kesampaian, mencoba untuk mempopulerkan naskah Pangeran Wangsakerta. Selain itu, di pustaka ini dia mengumpulkan buku-buku berkaitan dengan Kebudayaan Sunda. Beliau ingin masyarakat kenal budaya
Di salah satu sudut ruangan pustaka, Dadan Sutisna (42), staff Yayasan Pusat Studi Sunda, mengambil salah satu buku tebal terkait naskah Pangeran Wangsakerta. Dia membuka beberapa lembar buku berbahasa sunda dan dengan font mesin tik.
“Ini salah satu keinginan Kang Ajip yang belum kesampaian, mencoba untuk mempopulerkan naskah Pangeran Wangsakerta. Selain itu, di pustaka ini dia mengumpulkan buku-buku berkaitan dengan Kebudayaan Sunda. Beliau ingin masyarakat kenal budaya,” tuturnya.
“Terakhir saya bertemu beliau sekitar dua minggu lalu. Dia berpesan, ‘saya menitipkan dokumentasi’. Tetapi saya pikir itu tidak hanya saya, tetapi kepada siapapun, semua ikut merawat dan ikut mengembangkan,” tuturnya.
Kepala Perpustakaan Ajip Rosidi sekaligus Sekretaris Pusat Studi Sunda, Ruhaliah membenarkan keinginan Ajip mempopulerkan naskah Wangsakerta. Naskah ini berisi kumpulan dari kisah dan riwayat kerajaan-kerajaan di Nusantara, mulai dari tatar Sunda, Jawa, Sumatera hingga Bali.
Sebanyak 49 buku salinan naskah dari pejabat Keraton di Cirebon ini akan dicoba menjadi karya populer sehingga bisa dinikmati masyarakat luas. Sebelumnya, karya ini menjadi kontroversial karena dianggap tidak berasal dari zamannya, yakni abad ke-17.
”Selama ini Bapak Ajip ingin membuktikan kalau naskah itu memang benar berasal dari Pangeran Wangsakerta. Hal ini juga membuktikan kalau budaya literasi di Sunda itu sudah ada sejak zaman kerajaan. Namun, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang melanjutkan karena harus menjalin komunikasi mulai dari awal lagi dengan Kesultanan di Cirebon,” tuturnya.
Karena itu, tutur Ruhliah, salah satu caranya, dia dan kawan-kawannya akan melanjutkan tongkat estafet untuk memopulerkan naskah-naskah tersebut. Dengan menjadikan tulisan historis menjadi populer, dia berharap cita-cita Ajip mengajak orang-orang mengenal budaya Sunda, bahkan seantero Nusantara, jadi kenyataan.
Sekali lagi, Ajip mungkin telah pergi tapi semangatnya tetap hidup di hati dan pikiran orang-orang yang setia pada kekuatan sastra.
Baca Juga: Ajip Rosidi yang Tak Pernah Kehabisan Energi