Persoalan Pembelajaran Jarak Jauh Tak Bisa Disepelekan
Persoalan saat pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 membutuhkan konsistensi solusi nyata dari pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, hak anak akan pendidikan, keselamatan, dan kesehatan tetap terpenuhi.
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan yang timbul saat pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 tidak boleh dianggap sepele. Pemerintah harus konsisten menegakkan pelaksanaan kebijakan yang mendukung anak tetap mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, dan keselamatan.
Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan, saat dihubungi Selasa (28/7/2020), di Jakarta, memandang pemerintah pusat dan daerah harus satu suara dan tindakan. Apabila sikap seperti itu tidak dipunyai, kondisi pandemi Covid-19 tetap berlarut-larut. Begitu pula dengan persoalan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang timbul selama pandemi.
”Pemerintah jangan terlalu menyederhanakan sejumlah persoalan PJJ yang timbul selama pandemi. Jangan terlalu bersemangat membuka kembali pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Kebutuhan protokol kesehatan harus dipastikan siap, seperti peserta didik dan pengajar harus diikutsertakan tes Covid-19,” ujarnya.
Surat Keputusan Bersama tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 menjadi landasan legal. Secara prinsip, keberadaannya tetap memerlukan pengawasan dan penegakan apabila terjadi ketidakpatuhan.
Apabila suatu daerah dinyatakan terlarang menyelenggarakan pembelajaran tatap muka karena kasus terus naik, pemerintah harus tegas.
”Apabila suatu daerah dinyatakan terlarang menyelenggarakan pembelajaran tatap muka karena kasus terus naik, pemerintah harus tegas. Kelemahan selama ini, yakni pengawasan dan penindakan ketidakpatuhan, semestinya tidak diulangi,” kata Cecep.
Secara terpisah, Ketua Tim Pendidikan Wahana Visi Indonesia Mega Indrawati memandang pentingnya menaruh perhatian terhadap proses pembelajaran kepada siswa di desa tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) selama pandemi Covid-19. Berdasarkan survei cepat kepada 943 siswa di 251 desa tertinggal, terdepan dan terluar (3T) pada Mei 2020, sekitar 37 persen di antaranya kesulitan mengatur waktu, 30 persen susah memahami pelajaran, 24 persen bermasalah koneksi internet, dan 21 persen sukar mengerti instruksi.
Mereka mengaku kesulitan akses terhadap buku penunjang belajar. Adapun permasalahan guru dan orangtua di desa 3T adalah kurangnya kapasitas mendampingi anak belajar.
Pengawas sekolah dasar di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Gregorius Nua, mengatakan, sekitar 70 persen guru di sana belum mempunyai ponsel pintar. Mereka juga tidak mempunyai cukup dana untuk membeli gawai. Pelatihan mengajar jarak jauh yang memanfaatkan teknologi edukasi juga belum masif.
Untuk mengatasi persoalan peralatan gawai penunjang PJJ, dirinya meminta guru membentuk kelompok arisan. Hasil dari arisan dipakai membeli gawai.
”Sampai sekarang agar anak tetap mendapatkan pendidikan, guru membuat kesepakatan pembelajaran dengan orangtua. Kesepakatan meliputi model dan medium yang dipakai belajar,” katanya.
Biaya mahal
Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Nusa Tenggara Timur, Yandri DI Snae, mengatakan, PJJ daring menyebabkan ongkos pembelian pulsa meningkat. Dia lantas memberikan ilustrasi. PJJ metode daring berlangsung pada pukul 08.00-12.00 setiap hari. Per hari, rata-rata seorang siswa butuh kuota paket data 1,5-2 gigabyte dan harga paket sekitar Rp 15.000. Apabila masa belajar berlangsung selama 20 hari, siswa harus memiliki dana Rp 300.000.
Menurut dia, biaya sebesar itu mahal. Nilai Rp 300.000 setara dengan harga beli beras satu karung. Nilai itu belum termasuk jika satu keluarga mempunyai anak lebih dari satu orang. Keluarga di sana akhirnya memilih mengutamakan beli beras.
Sementara di tingkat pendidikan tinggi, Uly Mega, salah satu perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Keresahan Mahasiswa (Geram) Universitas Negeri Jakarta, memandang, keluhan PJJ bukan hanya datang dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jenjang pendidikan tinggi juga merasakan PJJ menambah beban mahasiswa dan keluarganya.
”Kampus memang sudah menjalankan bantuan saat masa pandemi, seperti pemberian kuota internet dan sembako. Akan tetapi, pendistribusian kuota yang belum merata, tugas kuliah masih memberatkan, dan banyaknya penundaan bimbingan ataupun seminar proposal oleh dosen. Masih banyak mahasiswa harus membayar uang kuliah tunggal secara penuh, meskipun perekonomian keluarga sudah terdampak,” katanya.
79 kabupaten/kota
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat sekitar 79 kabupaten/kota belum mengikuti Surat Keputusan Bersama tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. Tidak ada sanksi khusus, selain monitor bersifat memperingatkan pemerintah kabupaten/kota tersebut agar segera menyelaraskan proses belajar-mengajar sesuai panduan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Na’im dalam konferensi pers secara daring menyampaikan, ketujuh puluh sembilan kabupaten/kota tersebut berlatar zona hijau (18), zona kuning (39), zona oranye (20), dan zona merah (2). Sebagai contoh, enam sekolah di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, melakukan pembelajaran tatap muka di kelas, meskipun kabupaten masuk zona oranye Covid-19. Contoh lain yaitu sekolah jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kupang, Nusa Tenggara Timur, membuka kelas tatap muka dan tidak ada pembatasan jarak antarsiswa. Kupang termasuk zona hijau Covid-19.
Baca juga: Pembukaan Sekolah Hanya di Daerah Zona Hijau
Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 ditandatangani Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. SKB Empat Menteri ini ditetapkan pada 15 Juli 2020.
Diktum kedua SKB Empat Menteri menjelaskan, pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran dan akademik 2020/2021 tidak dilakukan secara serentak. Satuan pendidikan di zona hijau Covid-19 dapat melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah setelah mendapatkan izin dari pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota, kantor wilayah Kementerian Agama tingkat provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan persetujuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap muka. Syarat berikutnya orangtua menyetujui anaknya melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Apabila ada syarat yang tidak terpenuhi, sekolah dilarang membuka pembelajaran tatap muka.
Kemudian, pembukaan kembali pembelajaran tatap muka di zona hijau Covid-19 dilakukan secara bertahap, dimulai dari tingkat pendidikan tingkat atas dan sederajat. Tahap kedua adalah pendidikan tingkat menengah dan sederajat. Tahap ketiga adalah tingkat dasar dan sederajat.
Sementara sekolah di zona kuning, oranye, dan merah Covid-19 dilarang menyelenggarakan pembelajaran tatap muka di sekolah. Artinya, sekolah di zona-zona tersebut wajib melanjutkan kegiatan belajar dari rumah.
Adapun diktum ketiga SKB Empat Menteri menyebutkan, pembelajaran tatap muka sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua dikecualikan bagi pesantren, pendidikan keagamaan, dan pendidikan tinggi.
Ainun mengatakan, pihaknya mengapresiasi 418 pemerintah kabupaten/kota yang telah melaksanakan pembelajaran di daerahnya sesuai panduan di SKB Empat Menteri.
”Kami menghargai otonomi daerah. Kami mengingatkan dengan cara mengomunikasikan hasil pemantauan kami kepada publik. Kami terus mendorong agar dinas-dinas pendidikan terus mengutamakan keselamatan dan kesehatan siswa, guru, dan keluarganya,” ujarnya.
Terkait isu pemerintah akan pembukaan kembali sekolah di zona bukan hijau, Ainun mengatakan, Kemdikbud tetap konsisten dengan kesehatan dan keselamatan. Pihaknya mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran di zona bukan hijau sehingga seandainya ada relaksasi, maka kriteria pembukaan akan dibuat lebih ketat.
”Khususnya zona kuning Covid-19. Kriteria lebih ketat mencakup, antara lain jumlah anak dan pertemuan semakin sedikit,” katanya.
Hingga saat ini, proses penyederhanaan Kurikulum 2013 masih dilakukan. Kurikulum adaptif hasil penyederhanaan kemungkinan akan berwujud pedoman yang dibuat secara umum. Bentuk seperti ini dirasa fleksibel mengikuti dinamika perkembangan Covid-19.
Dia juga mengatakan sudah ada peraturan relaksasi dana bantuan operasional, yaitu Permendikbud No 19/2020, Permendikbud No 20/2020, dan Permendikbud No 24/2020. Dia berharap kepala sekolah tidak takut mengalokasikan dana bantuan operasional untuk mendukung kebutuhan pembelajaran jarak jauh dan protokol kesehatan.
”Kepala sekolah tidak perlu takut. Kepala sekolah yang paling tahu dan paham kebutuhan sekolahnya sekarang apa. Ketiga permendikbud itu tinggal dilaksanakan saja,” katanya.
Ainun menambahkan, cukup tidaknya dana bantuan operasional memenuhi kebutuhan pembelajaran selama pandemi Covid-19 tidak bisa diperkirakan. Kemendikbud mengusahakan agar pemerintah daerah ikut membantu.
Baca juga: Sangat Berisiko Membuka Sekolah Terlalu Cepat
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hari Nur Cahya Murni mengatakan, pihaknya memastikan akan selalu ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi pendidikan selama masa pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil evaluasi SKB Empat Menteri, dia berharap pemerintah daerah yang masih ada di zona kuning, oranye, dan merah tidak memaksakan diri buka sekolah secara tatap muka.
”Arahan kami sebagai pembina umum adalah agar pemerintah kabupaten/kota terus menyesuaikan kebijakannya mengikuti SKB Empat Menteri. Pembinaan kami bersifat umum,” katanya.