Ketok Palu untuk Dugaan ”Kejahatan” Industri Rokok dengan Target Anak-anak
Anak-anak Indonesia menjadi target industri rokok. Sekitar 15 tahun (2001-2016) jumlah anak yang merokok meningkat dua kali lipat mencapai 17,3 persen. Pemerintah diminta serius melindungi anak-anak dari bahaya rokok.
Peringatan Puncak Hari Anak Nasional 2020 yang jatuh pada 23 Juli 2020 dirayakan secara berbeda oleh sejumlah anak-anak. Momentum tersebut dimanfaatkan oleh Komunitas Cerita Cinta Anak Indonesia (CCAI) dan Keluarga Pendongeng untuk menyuarakan pentingnya perlindungan anak dari bahaya rokok.
Berkolaborasi dengan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), sepuluh anak-anak remaja menampilkan pertunjukan teatrikal sidang anak bertajuk ”Teatrikal Persidangan Anak Indonesia: Ketok Palu terhadap Dugaan Kejahatan Industri Rokok yang Menargetkan Anak-anak”, Kamis (23/7/2020) petang. Teatrikal sidang anak disiarkan melalui Youtube dan aplikasi pertemuan daring Zoom.
Dalam teatrikal sidang anak tersebut, anak-anak tampil berperan seperti layaknya persidangan yang digelar di pengadilan pada umumnya. Ada yang berperan sebagai terdakwa, majelis hakim, jaksa penuntut umum, penasihat hukum, dan saksi ahli.
Menggunakan media dalam wujud ruang sidang pengadilan yang mengadili pemilik industri rokok, para anak-anak menyampaikan sejumlah pesan-pesan tentang bahaya rokok. Kendati diperankan oleh anak-anak, teatrikal pesidangan yang mengadili dugaan kejahatan industri rokok yang menargetkan anak-anak mengalir bak persidangan sesungguhnya.
Namanya juga anak-anak, dalam beberapa adegan, mereka mengirimkan kalimat sindiran yang dibalut dengan gaya kocak. Misalnya, saat anak yang berperan sebagai hakim bertanya kepada anak yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum mewakili anak-anak Indonesia, apakah dia dalam keadaan sehat untuk mengikuti sidang.
Agak kurang Yang Mulia karena 9,1 persen dari kami sudah merokok dan 90,9 persen berpotensi menjadi perokok pasif.
”Agak kurang Yang Mulia karena 9,1 persen dari kami sudah merokok dan 90,9 persen berpotensi menjadi perokok pasif. Dompet pun agak terkuras karena sebagian uang kami sudah habis untuk membeli rokok. Godaannya kuat sekali Yang Mulia, baik dari iklan dan harga yang murah,” jawab anak pemeran jaksa seraya terbatuk-batuk.
Tidak berhenti di situ, suara anak-anak pun disampaikan dalam surat dakwaan, yakni pihak industri rokok menargetkan anak-anak melalui iklan-iklan yang menarik. Selain itu, harga rokok pun diobral murah sehingga sesuai dengan daya beli uang saku anak-anak. Mereka pun mengutip data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (Riskesdas) 2018 bahwa perokok anak melonjak menjadi 3,2 juta orang dan survei Badan Pusat Statistik yang menyatakan pengeluaran keluarga miskin tertinggi setelah beras adalah rokok.
Suasana kocak pun ditampilkan dalam adegan terdakwa saat ditanya hakim apakah dia menyangkal dakwaan jaksa. ”Ha-ha-ha lucu sekali, kami ini menjual produk legal yang mulia,” ujar pemeran terdakwa yang diinterupsi pemeran jaksa dengan kalimat ”Legal, tapi tidak normal Yang Mulia”.
Pembelaan terdakwa pun diperkuat oleh penasihat hukumnya, yang mengatakan bahwa perusahaan dan produk yang dijual kliennya legal serta tidak benar mereka menargetkan anak-anak muda. Karena sebenarnya sudah ada mitigasi risiko agar anak-anak tidak membeli rokok, dengan menulis di produk 18 plus. Jadi, tidak benar jika iklan rokok dibilang pengaruhi anak-anak.
Anak yang memerankan jaksa pun menyanggah dan menegaskan tidak menayangkan produk rokok adalah aturan yang diterapkan pemerintah, bukan inisiatif industri rokok. Sebaliknya, iklan-iklan perusahaan rokok, walaupun tidak menampilkan aktivitas merokok, jelas menyasar anak muda karena yang dijual adalah citra, seperti musik, olahraga kreatif, dan kesenian, yang semua kegiatannya lekat dengan anak muda.
Seperti layaknya sidang, teatrikal tersebut juga menampilkan pendapat saksi ahli dari komunikasi, yang dengan tegas menyatakan iklan rokok memengaruhi alam bawah sadar sehingga menimbulkan sikap positif bagi anak-anak tentang rokok sehingga mengesampingkan dampak kesehatan. Sementara iklan rokok mengepung sekolah-sekolah di Tanah Air. ”Bagaimana mungkin kita dapat mencapai bonus demografi jika ke sekolah dikepung iklan ajakan untuk merokok,” ujar seorang anak.
Anak lain yang berperan sebagai saksi ahli pun menambahkan bahwa harga rokok di Indonesia sangat murah dibandingkan dengan di negara lain. Mereka juga menyindir bagaimana penyusunan regulasi pengendalian konsumsi rokok melalui harga dan cukai yang juga mendengarkan aspirasi industri rokok. ”Itu sama aja seperti bikin undang-undang korupsi, ttaepi minta sarannya koruptor,” ujar anak.
Sarat dengan pesan
Sampai bagian akhir teatrikal sidang anak pun, sarat dengan pesan. Misalnya, dengan menyatakan terdakwa divonis bersalah karena menimbang rasa cinta kita kepada anak-anak Indonesia, target bonus demografi, Indonesia emas 2045, hak anak untuk hidup sehat, serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Iklan-iklan rokok harus dihapuskan dan harga rokok harus ditingkatkan setinggi mungkin agar tidak terjangkau menjadi akhir dari teatrikal tersebut. Dan, lagu Freddie Mercury, ”We Are the Champions”, menutup teatrikal tersebut.
Teatrikal sidang tersebut mengirimkan pesan yang sangat kuat tentang bahaya rokok bagi anak-anak di Indonesia. Bahkan, dalam diskusi yang digelar setelah menyaksikan teatrikal tersebut, beberapa anak tampil dalam teatrikal tersebut mempertanyakan sikap orang-orang dewasa yang merokok seenaknya di lingkungan anak-anak. ”Bagaimana ya, biar mereka bisa berhenti merokok? Soalnya aku terganggu,” ujar Ricardo, salah satu pemeran teatrikal.
Suara anak yang meminta kepada pemerintah untuk memantau dan memperketat peraturan terkait iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: Belum Ada Satu Daerah Pun yang Sabet Peringkat Paripurna sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak
Tristania Faisa Adam, Ketua Forum Anak Nasional, mengungkapkan, bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) 2020, Forum Anak melalui Suara Anak Nasional yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo juga meminta kepada pemerintah untuk memantau dan memperketat peraturan terkait iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh wilayah Indonesia.
Tidak hanya iklan, menurut Tristania, Survei dari Forum Anak Nasional juga mendapati ada beberapa warung yang sengaja menempatkan rokok di samping makanan anak. Anak-anak dengan mudah bisa membeli rokok di sekitar sekolah. Cukup dengan Rp 1.000 mereka bisa mendapatkan satu batang rokok.
”Menurut saya, tujuan industri rokok menjadikan anak sebagai target sudah terealisasi. Jika pemerintah menginginkan Generasi Emas tahun 2045, pemerintah harus serius dan tegas dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum. Saya ingin persidangan yang ditampilkan dalam Teatrikal Sidang hari ini menjadi kenyataan,” ujar Tristania.
Diah Saminarsih, Ketua Dewan Pembina CISDI yang juga Penasihat Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengungkapkan pentingnya persamaan persepsi yang menempatkan perlindungan terhadap anak sebagai agenda global dan nasional.
Meski mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 23 persen dan batasan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen sejak satu Januari 2020, kenaikan tersebut dinilai belum memenuhi rekomendasi WHO untuk menerapkan cukai minimal 70 persen dari harga jual.
Situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia yang merokok di Indonesia juga terungkap dalam webinar Forum Anak Nasional bertema ”Cegah Anak dan Remaja Indonesia dari Bujukan Rokok”, medio Juni 2020. Lenny N Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyatakan, dalam kurun waktu 12 tahun (2001-2016), jumlah anak yang berusia 15-19 tahun yang merokok naik dua kali lipat.
Bahkan, di tingkat ASEAN, jumlah anak laki-laki Indonesia berusia 13-15 tahun merokok merupakan yang paling tinggi atau juara merokok dibandingkan dengan di negara lain.
Bahkan, data dari Kementerian Kesehatan tahun 2018, pada tahun 2001 anak yang merokok sebesar dari 12,7 persen, tetapi pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 23,1 persen. Peningkatan terbesar terjadi tahun 2001 ke tahun 2004 dari 12,7 persen menjadi 17,3 persen. ”Bayangkan, 15 tahun malah meningkatnya dua kali lipat,” ujar Lenny ketika itu.
Baca juga: Mendesak, Larangan Iklan Rokok di Media Penyiaran
Tingginya angka anak-anak yang menjadi perokok di Indonesia seharusnya menyadarkan semua pihak untuk meningkatkan perhatian upaya perlindungan anak dari bahaya merokok secara masif. Seperti tema Hari Anak Nasional 2020, ”Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.