Kekerasan terhadap wartawan bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan nonfisik, seperti ”doxing” dan kriminalisasi. Ketika wartawan terancam mengalami kekerasan, kebebasan pers pun terancam.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman terhadap wartawan semakin besar, tidak hanya ancaman berupa kekerasan fisik, tetapi terutama kekerasan nonfisik berupa doxing dan kriminalisasi. Hal ini tidak hanya mengancam keselamatan wartawan, tetapi juga mengancam kebebasan pers.
Doxing merupakan upaya mencari dan menyebarkan informasi pribadi seseorang secara daring sehingga menyebabkan seseorang tersebut mengalami kerugian dan terancam keselamatannya. Berdasarkan catatan SafeNet, sejak 2018 paling tidak ada tujuh kasus doxing yang menimpa wartawan.
Pada 2018, doxing menimpa wartawan detik.com, wartawan kumparan.com, dan wartawan CNN.com. Pada 2019, doxing menimpa Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara Papua Arnold Belau, Pemred koran Jubi dan jubi.co.id Viktor Mambor, serta wartawan Al Jazeera, Febriana Firdaus. Pada tahun ini, doxing menimpa seorang wartawan detik.com.
Sementara kriminalisasi terhadap wartawan terkait delik aduan pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Saat ini Pemred Banjarhits.id Diananta Putra Sumedi diadili karena sebuah artikel yang ditulisnya. Sengketa pers yang sudah selesai ditangani di Dewan Pers dibawa ke ranah pidana.
Jika pers melakukan kesalahan, ada mekanisme untuk menyelesaikannya melalui ralat, koreksi, surat pembaca, atau ke Dewan Pers. Kalau sudah ada mediasi oleh Dewan Pers, seharusnya tidak boleh ke pengadilan.
”Jika pers melakukan kesalahan, ada mekanisme untuk menyelesaikannya melalui ralat, koreksi, surat pembaca, atau ke Dewan Pers. Kalau sudah ada mediasi oleh Dewan Pers, seharusnya tidak boleh ke pengadilan,” kata Ignatius Haryanto, dosen Universitas Multimedia Nusantara yang juga anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dalam diskusi daring bertema Doxing, Kriminalisasi, dan Kebebasan Pers yang diadakan AJI Indonesia, Senin (27/7/2020).
Peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mona Ervita, mengatakan, selama 2017-2020 terdapat 14 kasus wartawan yang dibawa ke ranah pidana dengan ancaman UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Paling tidak ada empat pasal dalam UU ITE dan 10 pasal dalam Rancangan KUHP yang bisa menjerat wartawan saat melakukan kerja jurnalistik.
”Kriminalisasi pers berawal dari undang-undang, bukan aparat ataupun penegak hukum (yang melaksanakan UU). Regulasinya (UU) yang bermasalah. Ini tumpang tindih dengan UU Pers yang melindungi wartawan dalam melakukan kerja jurnalistik,” kata Mona.
Selain doxing dan kriminalisasi, kata Kepala Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito, ancaman kekerasan lainnya adalah bahaya Covid-19. Tak sedikit wartawan yang terlena oleh kampanye normal baru yang digencarkan pemerintah. Akibatnya, sejumlah wartawan terinfeksi virus korona baru.
Serangan DDos (distributed denial of services) terhadap media daring juga menjadi ancaman tersendiri bagi media seiring perkembangan teknologi. Serangan itu membuat media daring tidak dapat diakses oleh publik, sayangnya tidak banyak media yang paham DDos sehingga tidak dapat mengantisipasinya.
Kebebasan pers
Serangan dan ancaman terhadap wartawan ataupun media tersebut pada akhirnya mengancam kebebasan pers. Ancaman terhadap wartawan membuat wartawan tidak bebas menulis dan menyampaikan informasi kepada publik, demikian pula jika terjadi pada media atau perusahan pers.
Menurut Ignatius, semua pihak harus diingatkan akan fungsi pers, yaitu untuk memberikan informasi. Dan, ujung pemberian informasi terkait dengan fungsi kontrol sosial yang diakui UU Nomor 40 Tahun 1999. Masyarakat membutuhkan pers yang bebas untuk mendapatkan gambaran menyeluruh atas peristiwa atau fenomena yang terjadi.
”Tidak dimungkiri ada pers yang sifatnya partisan karena kedekatan dengan pejabat atau milik partai. Kalau dari pers partisan, masyarakat hanya mendapatkan setengah gambaran. Masyarakat perlu melihat (mengakses) beberapa media untuk melihat apa yang terjadi,” ujarnya.
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan, melihat kebutuhan publik akan informasi dan akses terhadap berita selama pandemi yang meningkat menunjukkan harapan publik terhadap media itu besar. Karena itu, wartawan dan media bertanggung jawab menjaga ekspektasi publik untuk menjaga jurnalisme dan juga kontrol sosial.