Pemerintah, Sekolah, dan Orangtua Punya Peran Setara
Kelas tahun ajaran baru 2020/2021 sudah dimulai. Pembelajaran jarak jauh tetap menjadi pilihan utama. Pemerintah, sekolah, dan orangtua memiliki peran saling berkaitan dan tak terpisahkan selama proses belajar anak.
JAKARTA, KOMPAS — Kelancaran pelaksanaan pembelajaran jarak jauh memerlukan kolaborasi pemerintah daerah, pusat, sekolah, dan orangtua. Masing-masing mempunyai fungsi penting dan saling berkaitan bagi mutu pendidikan anak.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim, Minggu (26/7/2020), di Jakarta, mengatakan, FSGI tetap menganggap peran pemerintah daerah tetap sentral di tengah masih berlanjutnya pandemi. Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan agar pemerintah daerah bisa menjadikan balai desa sebagai sentra pembelajaran selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). Cara ini dianggap mampu menjawab keterbatasan terhadap akses internet dan siswa yang tidak punya gawai.
Pemerintah daerah bisa menggandeng perusahaan milik negara dan perusahaan teknologi untuk memberikan atau meminjamkan gawai bagi siswa tidak mampu.
Pemerintah daerah bisa menggandeng perusahaan milik negara dan perusahaan teknologi untuk memberikan atau meminjamkan gawai bagi siswa tidak mampu. Lalu, pemerintah daerah bisa memberikan insentif kepada guru yang masih melakukan metode kunjungan saat PJJ, khususnya bagi guru honorer.
Persoalan PJJ selama masa pandemi Covid-19 pada tahun ajaran 2020/2021 masih akan berlanjut. Sejumlah guru dan siswa tidak bisa melaksanakan pembelajaran secara daring sebab keterbatasan akses jaringan internet dan listrik. Metode guru kunjung untuk menyiasati persoalan itu tidak efektif karena jumlah guru tidak memadai, waktu sangat terbatas, dan faktor geografis.
Persoalan berikutnya adalah tidak semua siswa punya gawai dan relaksasi dana bantuan operasional untuk mensubsidi pembelian pulsa tidak mencukupi. Ditambah lagi, hingga sekarang masih ada kepala sekolah belum mengalokasikan bantuan operasional untuk subsidi pembelian pulsa siswa, seperti Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Lombok.
Persoalan tak kalah penting adalah kompetensi guru dalam mengelola PJJ metode daring. Kendati demikian, FSGI melihat selama dua bulan terakhir terjadi peningkatan partisipasi guru dalam mengikuti pelatihan pembelajaran yang dikelola pemerintah daerah, misalnya di Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Fakta ini harus diapresiasi, tetapi tetap perlu ditingkatkan.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Dedi Supandi mengatakan, saat PJJ, 56,5 persen siswa yang disurvei 28 Mei-1 Juni 2020 mengaku sulit berkomunikasi dengan guru, tugas yang diberikan kurang jelas dan tegas, serta jaringan internet kurang memadai. Sekitar 70 persen anak kesulitan memahami pelajaran. Dari sisi teknologi yang dipakai, sekitar 90,9 persen menggunakan aplikasi Whatsapp, 13,3 persen telepon, 4 persen pesan pendek, dan sisanya beragam aplikasi pembelajaran.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menggelar survei itu dengan menyasar kepada 95.279 orangtua dan 100.546 orang siswa. Dilihat dari latar belakang pendidikan, 38,7 persen responden orangtua lulusan SMA, 17,4 persen lulusan SMP, 20,4 persen lulusan SD, dan 12,9 persen lulusan sarjana strata satu. Sementara latar belakang responden murid seluruhnya adalah SMA dan SMK.
Transisi melakukan adaptasi normal baru juga mengalami kesulitan. Sekitar 94 persen responden anak belum mandiri dan bertanggung jawab. Sekitar 81 persen responden anak belum disiplin dalam membagi waktu belajar dan bermain. Sekitar 86 persen anak belum terbiasa menggunakan teknologi pembelajaran. Sekitar 78 persen responden anak belum akrab dengan protokol hidup sehat.
”Fokus pelaksanaan kebijakan PJJ telah kami turunkan ke tingkat kecamatan. Ada 266 dari 670 kecamatan tidak ada kasus positif Covid-19 sehingga sekolah - sekolah di sana boleh menggelar pembelajaran tatap muka asalkan orangtua menyetujui. Kami berkali-kali mendengungkan hal itu, di samping mendorong agar guru selalu berkolaborasi dengan orangtua sehingga pembelajaran selama pandemi berjalan lancar,” ujar Dedi saat menghadiri webinar Bincang Kepsek: Strategi Mengelola PJJ Bermakna, Sekolah Punya Praktik Baik Apa?, Sabtu (25/7/2020), di Jakarta.
Dia menyampaikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat berencana coba mendesentralisasi anggaran pendidikan sehingga tidak menumpuk di provinsi. Desentralisasi anggaran juga bertujuan dinas cabang lebih dekat dengan orangtua.
”Kebutuhan sekolah menjadi lebih cepat tertangani, seperti ruang laboratorium dan kelas baru,” kata Dedi.
Meminjamkan gawai
Kepala SMK Negeri 1 Pacet, Cianjur, Ida Yuniati Surtika, menceritakan, pihaknya membuatkan buku saku PJJ bagi siswa. Buku saku itu berisi pedoman PJJ yang telah dilengkapi pengaturan daftar mata pelajaran normatif dan produktif.
Buku saku PJJ dititipkan kepada guru ataupun wali kelas ketika mereka berkunjung ke rumah siswa. Selain memberikan buku saku, kunjungan itu bertujuan mengetahui kondisi kesehatan dan keluhan PJJ.
Bagi siswa tidak memiliki gawai untuk mengikuti PJJ, sekolah meminjamkan perangkat. Gawai sudah dilengkapi kuota internet. Guru juga didorong selalu berkomunikasi dengan orangtua, seperti sekadar mendengarkan orangtua berbagi pengalaman mendampingi anak.
Agar siswa ataupun guru tidak bosan menjalani hidup selama pandemi, sekolah membolehkan mereka berkreasi usaha. Misalnya, siswa berjualan makanan, pakaian, sayuran hasil kebun sendiri, dan masker. Guru pun boleh menjadi pedagang barang dari produsen atau reseller.
Kepala SMA Negeri 1 Lembang, Suhendiana Noor, mengatakan, setiap wali kelas diharuskan berdialog dengan orangtua setidaknya dua minggu sekali. Dialog dilakukan dalam ruang virtual. Hasil dialog dipakai untuk bersama-sama mencari solusi terbaik untuk PJJ.
Untuk siswa kelas X, sekolah memberikan fasilitas kartu perdana layanan seluler beserta kuota internet. Ini akan memudahkan untuk pusat data murid. Bagi mereka yang tidak mempunyai gawai, sekolah meminjamkan gawai.
Sama seperti sekolah-sekolah lain, SMA Negeri 1 Lembang mengalokasikan bantuan pulsa bagi siswa kelas X, XI, dan XII yang tidak mampu. Sekolah pun tetap menyiapkan sistem belajar dengan metode guru kunjung bagi siswa yang benar-benar tidak memiliki gawai dan lokasi rumah terbatas sinyal.
”Kami mengajak semua guru harus punya keterampilan melayani siswa. Dengan demikian, pembelajaran fokus kepada kebutuhan murid,” katanya.
Seadanya
Nuzulia, guru sekaligus ibu dua orang anak di Aceh Besar, mengaku tinggal di perdesaan. Rumah dia bersama orangtua murid lainnya masih memiliki halaman luas. Ada pula rumah berhadapan langsung dengan persawahan.
Kondisi lingkungan seperti itu yang sehari-hari menjadi bahan belajar anak selama masa PJJ. Tanaman yang tumbuh di sekitar jadi bahan kreasi prakarya ataupun materi belajar.
Dia mengakui peran serta kedua orangtua selama PJJ penting bagi anak. Istri dan suami bisa berbagi peran menyusun jadwal sampai mempersiapkan bahan belajar. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian.
Berdasarkan pengalamannya, suami dia adalah seorang tentara. Waktu berkumpul bersama keluarga di rumah pun jarang. Maka, segala kebutuhan pendampingan belajar anak, Nuzulia lakukan sendiri. Hanya, saat suami pulang, Nuzulia meminta agar suami menyempatkan waktu mengajak anak bermain.
”Karena tinggal di perdesaan, kualitas jaringan internet sering tidak optimal sehingga belajar melalui daring tidak bisa berjam-jam. Saya pun hanya mengajar dari pukul 08.00 sampai pukul 10.00. Untuk urusan topik belajar ataupun bermain, saya memang berusaha bertanya lebih dulu kebutuhan anak,” katanya.
Dini Alamanda, dosen sekaligus ibu satu anak di Garut, menceritakan, masa pandemi tidak mudah dilalui. Setiap keluarga mempunyai dinamikanya sendiri.
Sejak pandemi Covid-19 menerpa, dia harus beradaptasi bekerja sekaligus mendampingi anak belajar dari rumah. Sebagai dosen, dia mengaku tidak paham mengajar anak kecil, termasuk kepada anaknya sendiri yang masih duduk di taman kanak-kanak.
Untuk menunjang suasana belajar anaknya selama pandemi, dia mendesain ulang satu ruang khusus di rumahnya yang difungsikan bak kelas bagi anaknya. Dia pun mengajak suami terlibat menyusun program belajar dan bermain anak. Keduanya mau tidak mau belajar mengenal lebih dalam kelebihan dan kekurangan anak sendiri.
”Saya dan suami sama-sama bekerja sehingga harus diakui, kami harus pintar - pintar mengontrol stres. Rasanya ingin mengomel saat anak berbuat tidak sesuai harapan, tetapi kami tahan karena sedang belajar menasihati tanpa marah,” katanya.
Praktisi pendidikan, Anastasia Ang, berpendapat, orangtua dan guru perlu memandang anak sebagai sumber kegiatan. Artinya, anak penting selalu dilibatkan dalam setiap proses implementasi PJJ dan proyek di keluarga.
”Berikan anak kesempatan, kepercayaan, dan ruang bereksplorasi menjadi dirinya sendiri sejak usia dini. Melibatkan anak dalam setiap kegiatan dapat menstimulasi keterampilan kecakapan hidup serta membentuk karakter dia,” ujar dia.
Menurut Anastasia, pelaksanaan PJJ bermakna bagi anak berkebutuhan khusus tak kalah penting. Tingkatan kebutuhan khusus menuntut panduan PJJ yang berbeda satu dengan lainnya. Kolaborasi antarguru dan orangtua mesti lebih aktif.
”Kendalanya adalah kedua orangtua anak sama-sama bekerja. Idealnya, anak berkebutuhan khusus pun punya panduan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan minat anak,” katanya.
Baca juga: Anak Makin Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seksual di Masa Pandemi
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Hasbi menyebutkan, secara khusus, terdapat 6,8 juta anak usia dini sekarang belajar dari rumah. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru dan orangtua.
Tidak semua guru harus diakui memiliki kompetensi mengajar jarak jauh. Begitu pula dengan orangtua. Sebagai solusi, Direktorat PAUD menggelar kelas bagi orangtua sehingga mereka memahami kompetensi saat mendampingi pendidikan anak.
”Kelas orangtua seperti itu akan mempermudah peran guru. Jadi, orangtua menjadi punya pemahaman pedagogi setara. Kami berharap, proses PJJ ke depan berjalan optimal,” katanya.