Hati-hati Pornografi Daring Bisa Bikin ”Rem” Anak Blong
Sekadar memberikan gawai dan akses internet kepada anak-anak untuk belajar daring saat pandemi Covid-19 tidaklah cukup. Mereka membutuhkan bimbingan dan pengawasan agar terhindar dari jerat pornografi daring.
Teknologi informasi memberikan manfaat besar bagi kehidupan umat manusia. Namun, ibarat pedang bermata dua, teknologi informasi bisa menjadi ancaman sekaligus bencana terselubung bagi anak-anak. Salah satunya, media pornografi.
Ketika terpapar pornografi, masa anak-anak akan terganggu, bahkan akan sulit kembali menjalani kehidupan normal. Selain kehilangan kebiasaan hidup teratur dan tertib, anak yang kecanduan pornografi akan kehilangan keterampilan belajar (study skills), keterampilan hidup (life skills), dan keterampilan bergaul (social skills).
”Jika tidak dicegah dari awal, ini akan menjadi pornografi daring dan menjadi bencana psikologis terselubung. Itu tak hanya mengorbankan masa depan anak-anak, tetapi juga masa depan bangsa dan dunia. Anak-anak yang teradiksi berat akan kehilangan kemampuan membedakan baik dan buruk. Wisdom-nya akan hilang. Seperti mobil, remnya blong,” ujar Diena Haryana, psikolog yang juga pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Senin (20/7/2020).
Saat seorang anak sudah pada tingkat adiksi berat terhadap pornografi, setidaknya ada tiga gangguan yang akan dialaminya, salah satunya gangguan otak. Saat anak mengalami kecanduan pornografi, ia berpotensi mengalami penyusutan jaringan otak, bahkan lambat laun otak mengecil dan mengalami kerusakan permanen.
Bahkan, tingkat keparahan anak-anak yang terpapar pornografi jauh lebih parah daripada saat anak terkena narkoba karena kerusakan akibat kecanduan berat pornografi menyerang lima bagian otak. Adapun kerusakan otak karena narkoba terjadi di beberapa bagian saja.
Yang saya ingin ingatkan adalah kalau narkoba masih terlihat, anak-anak yang mengonsumsi harus berusaha mendapatkan narkoba itu, tapi pornografi ini terselubung.
Kerusakan otak pada anak merupakan kerusakan pada pre frontal cortex, yakni fungsi moral, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Akibatnya, anak kesulitan membedakan baik dan buruk serta kesulitan merencanakan kehidupannya. ”Yang saya ingin ingatkan adalah, kalau narkoba masih terlihat, anak-anak yang mengonsumsi harus berusaha mendapatkan narkoba itu, tapi pornografi ini terselubung,” kata Diena.
Tak hanya pada otak, anak yang teradiksi berat pornografi juga akan mengalami gangguan emosi. Selain perasaan kacau karena selalu tertarik mencari materi pornografi, emosinya labil, mudah marah dan tersinggung, terutama jika terganggu mengakses pornografi, serta cemas rahasianya terbongkar. Bahkan, anak menjadi pelupa dan sulit berkonsentrasi serta tidak mampu berinteraksi dengan keluarga ataupun temannya.
Ketika gangguannya sudah pada tingkat parah, masa depan anak terganggu, kehilangan mimpi dan cita-citanya karena memilih pornografi daripada hal lain yang bermanfaat. Itu membuat perilaku kecanduannya sulit dihentikan. Anak yang teradiksi berat pornografi akan kehilangan rasa percaya diri dan bisa terjerat seks bebas.
Tiga kota
Ancaman pornografi secara daring sesungguhnya sudah terungkap sejak beberapa tahun terakhir. Dari survei terhadap 6.000 anak yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama pada 2017, tergambar situasi anak-anak yang terpapar pornografi.
Bahkan, di tiga kota (Jakarta, Yogyakarta, dan Aceh), 95,1 persen remaja SMP dan SMA sudah terpapar pornografi. ”Ini yang mengkhawatirkan juga termasuk Aceh, yang mungkin kita tidak menduga seperti itu,” katanya.
Data itu juga menyebutkan, 0,48 anak mengalami adiksi ringan dan 0,1 persen anak mengalami adiksi berat. Survei itu memberi arti bahwa dari 6.000 anak ada enam anak kecanduan berat pornografi. Kerentanan paparan pornografi itu makin tinggi di tengah pandemi Covid-19 karena penggunaan internet pada anak meningkat tajam saat belajar dari rumah.
Namun, bahaya pornografi belum banyak disadari masyarakat, khususnya orangtua. Ancaman pornografi secara daring kian terasa saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Tinggal di rumah berbulan-bulan menjadikan penggunaan gawai dengan internet sebagai kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan, termasuk anak-anak ketika belajar dari rumah.
Hal itu ditunjukkan dari survei terbaru oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap anak dan orangtua di 34 provinsi dengan responden anak (25.164 orang) dan orangtua (14.169 orang). Survei daring yang berlangsung 8-14 Juni 2020 mengungkapkan, selama pandemi, sebagian besar anak (79 persen) diperbolehkan memakai gawai untuk belajar dan 71,3 persen anak memiliki gawai sendiri.
Ketua KPAI Susanto bersama komisioner KPAI, Rita Pranawati dan Margaret Aliyatul Maimunah, Rabu (22/7/2020), memaparkan, selain untuk belajar, anak juga diizinkan menggunakan gawai dengan sejumlah alasan. Sejumlah anak mengakui sering memakai gawai untuk chatting atau percakapan dengan teman-temannya (52 persen), nonton Youtube (52 persen), mencari informasi (50 persen), dan menggunakan media sosial (42 persen).
Sebanyak 22 persen anak juga mengakui pernah melihat tayangan tak sopan dan dikirimi gambar tidak sopan (7 persen) saat mengakses internet. ”Sebanyak 3 persen atau sekitar 750 anak diperkirakan mengalami kekerasan di dunia siber,” kata Margaret.
Eksploitasi seksual
Selain rawan terpapar pornografi karena mengakses internet tanpa pengawasan, Andy Ardian, Manajer Program Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, juga mengingatkan ada bahaya lain yang mengancam anak-anak saat mengakses media sosial tanpa pengawasan orangtua.
Selama masa pandemi, sejumlah anak menjadi korban eksploitasi seksual secara daring dalam berbagai bentuk, mulai dari grooming (bujuk rayu untuk tujuan seksual secara daring, sexting (obrolan/chat untuk pemuasan seksual kepada anak), sextortion (pemerasan seksual) hingga siaran langsung kekerasan seksual pada anak.
Survei ECPAT Indonesia pada awal masa pandemi (Maret 2020) terhadap 1.203 responden (anak) menemukan 287 pengalaman buruk yang dialami anak-anak saat mengakses internet di masa pandemi. Pengalaman buruk itu berupa, antara lain, dikirimi pesan teks tidak sopan dan tidak senonoh, gambar/video porno yang membuat tidak nyaman, serta gambar/video menampilkan pornografi.
Bahkan, ada responden yang diajak untuk live streaming membicarakan atau melakukan hal tidak senonoh, diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, dan dikirimi tautan yang ternyata berisi konten seksual/pornografi.
”Kini kejahatan konvensional berubah dengan kejahatan teknologi, dari dunia offline ke daring. Teknologi membuat kejahatan seksual anak secara daring meningkat, anak-anak dieksploitasi secara seksual melalui gawai,” ujar Andy pada Media Talk ”Ancaman Terselubung Kejahatan Seksual di Ranah Daring bagi Anak” yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, beberapa waktu lalu.
Menjadi ancaman terselubung karena umumnya anak-anak tidak menyadari jika dia menjadi korban kejahatan seksual secara daring. Bahkan, ada anak-anak tidak sadar jika dia terjerat dalam prostitusi secara daring, dengan melakukan live streaming dan video call seks.
Tren kasus-kasus eksploitasi seksual yang meningkat itu disebabkan literasi digital di masyarakat amat rendah. Orangtua dan anak tak dipersiapkan untuk memakai internet secara cerdas. Orangtua umumnya memberikan gawai atau komputer beserta akses internet tanpa mengawasi apa saja konten yang diakses anak-anaknya. Selain ”gagap teknologi”, lemahnya pengawasan terhadap anak saat mengakses internet juga terjadi saat orangtua sibuk bekerja.
Sejauh ini, pemerintah belum memiliki peta jalan atau pedoman bersama dalam penggunaan internet yang aman. Berbagai kasus eksploitasi seksual komersial anak yang terungkap umumnya anak-anak tak menyadari mereka menjadi korban.
Dari database Interpol tentang International Child Sexual Exploitation pada tahun 2018, setiap hari ada sekitar 15 anak melaporkan kasus kekerasan seksual secara daring dan 19.481 korban kekerasan seksual teridentifikasi. Sebanyak 8.897 orang teridentifikasi sebagai pelaku kejahatan seksual anak. Mayoritas korban adalah perempuan.
”Data Interpol mengidentifikasikan sejumlah tren yang mengkhawatirkan karena korban usianya semakin muda, termasuk anak balita menjadi korban kekerasan seksual di ranah daring,” papar Andy.
Baca juga: Anak Makin Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seksual di Masa Pandemi
Bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) 2020, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan kepada orangtua dan semua pihak agar bersama-sama melindungi anak-anak dari ancaman eksploitasi seksual secara daring.