PK Ojong, Menyokong Seni Sambil Berinvestasi
PK Ojong (1920-1980), salah satu pendiri ”Kompas”, tak hanya seorang jurnalis, aktivis penegakan hukum, dan pebisnis. Dia juga kolektor seni dan membantu para seniman, termasuk dengan memberikan peralatan lukis.
”Kami harap sangat agar kebiasaan membeli lukisan sebagai ’belegging’ (investasi) akan berakar pula di Tanah Air kita. Mengapa kami berharap demikian? Bilang terus terang: agar para pelukis kita bisa hidup dan agar mereka dapat turut mengharumkan nama Indonesia di seluruh dunia.”
PK Ojong menuliskan harapan itu dalam rubrik Kompasiana, harian Kompas, 10 November 1969. Tak berhenti sebagai kata-kata itu, prinsip tersebut juga dilakoni dalam kehidupan nyata.
Sejak tahun 1970-an, seiring Kompas tumbuh sebagai koran nasional, Ojong menyisihkan dana untuk membeli karya seni rupa, khususnya lukisan, patung, dan keramik. Praktik itu kemudian juga ”dilembagakan” sebagai bagian dari kebijakan Kompas—yang didirikan Ojong bersama Jakob Oetama—dalam menyokong seni budaya Indonesia.
Bagaimana Ojong blusukan menemui sejumlah pelukis menjadi kisah inspiratif. Harli Ojong, putra sulung PK Ojong, menuturkan, awal tahun 1970-an ayahnya beberapa kali mengunjungi Bali. Suatu ketika, bahkan diajak serta keluarga dalam satu rombongan dengan mobil dari Jakarta.Tiba di Pulau Dewata, rombongan itu mengunjungi beberapa seniman, termasuk I Nyoman Tjokot, pematung tenar asal Desa Jati, Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Seniman itu sudah sangat tua, bahkan menerima tamu sambil jongkok seperti posisi mengukir.
Ojong menghargai kreativitas para seniman dan—jika tertarik serta cocok—mendapatkan karya seni langsung dari tangan pertama. Tak sekadar membeli karya, Ojong juga membantu para seniman. ”Bapak pernah ke Bali membawa cat akrilik dan dikasih ke seniman-seniman muda yang berbakat,” kata Harli yang sedang berada di San Francisco, Amerika Serikat, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/7/2020) pagi.
Dalam menyokong seniman, kartunis Kompas, GM Sudarta (almarhum), kerap menjadi kepanjangan tangan Ojong. Helen Ishwara dalam buku biografi PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001) menulis, pada tahun 1974 Ojong memesan buku tentang seni lukis lewat Toko Buku Gramedia dan memborong cat lukis akrilik dari toko-toko di Jakarta—yang saat itu sulit ditemukan di Bali. Semua itu lalu dikemas ke dalam dua koper besar dan dibawa Sudarta ke Bali untuk dibagikan kepada sejumlah pelukis, seperti Ketut Subalon, Ketut Kasta, dan Ketut Nama.
Saat dihubungi pekan lalu, I Ketut Nama (74) bercerita, Ojong bersama keluarga pernah mengunjungi rumahnya di Tebesaya, dekat Ubud, Gianyar. Keluarga itu singgah dari pukul 10.00 hingga pukul 14.00. Ojong melihat seniman itu melukis, duduk bersantai di balai-balai, sedikit ngobrol. Satu lukisan cukup besar bergambar orang-orang desa pun berpindah tangan. Ini karya kedua yang dibeli Ojong setelah dalam perjumpaan sebelumnya, dia membeli lukisan Nama bergambar upacara potong gigi.
Sepulang ke Jakarta, Ojong kerap mengirimkan surat bersama katalog, kanvas, kertas, cat akrilik, kuas, dan pensil kepada Nama. ”Beliau meminta saya ke Jakarta, kapan saja, diajak mempersiapkan pameran. Kalau tidak punya uang, saya diminta pinjam dulu, nanti akan diganti,” katanya. Tentu saja, perhatian itu melecut semangat pelukis tersebut.
Baca juga: ”Buah” Blusukan Seni Ala PK Ojong
Berakar lama
Kecintaan Ojong pada lukisan sudah terlihat sebelum mendirikan Kompas tahun 1965. Menurut pengamat seni rupa Agus Dermawan T, ketika menjadi pemimpin redaksi majalah Star Weekly, Ojong ”menginstruksikan” pelukis Siauw Tik Kwie (Oto Swastika) untuk membuat komik Sie Djin Koei. Karya itu dimuat secara bersambung dari tahun 1954 hingga 1961 dan akhirnya menjadi legendaris.
Untuk satu halaman komik, Siauw dibayar Rp 7,50. Dengan dimuat per pekan, seniman itu bisa dapat Rp 30 sebulan, sangat cukup untuk membiayai hidup sebulan. Belum lagi ada honorarium lain dari membuat ilustrasi artikel dan cerpen. Selama tujuh tahun komik tersebut tak pernah absen terbit dan komikus itu juga tak pernah sakit. ”Ojong bilang, resepnya: seorang seniman akan senantiasa sehat apabila ekonominya juga selalu sehat,” kata Agus menirukan Siauw.
Untuk membantu menggerakkan kesenian, Ojong juga terlibat di beberapa organisasi seni. Bersama sejumlah tokoh, dia mendirikan Yayasan Indonesia tahun 1966, yang lalu menerbitkan majalah sastra Horison. Dia juga menjadi bendahara Ketua Lingkaran Seni yang dipimpin Toeti Heraty.
Apa yang mendorong Ojong mencintai seni? ”Pak Ojong pernah berbicara tentang wooncultuur, kultur hunian. Ruang harus diberi sentuhan estetika, seperti lukisan, patung. Kita kadang kelewat serius, perlu sesuatu yang indah dan bikin gembira,” tutur Indra Gunawan (80), wartawan Kompas sejak tahun 1965 dan pernah jadi Direktur Toko Buku Gramedia.
Pak Ojong pernah berbicara tentang wooncultuur, kultur hunian. Ruang harus diberi sentuhan estetika, seperti lukisan, patung.
Dalam rubrik Kompasiana, 10 November 1969, Ojong menukil laporan mingguan Amerika, TIME, tentang Ethel, janda Robert Kennedy. Sepeninggal suaminya, perempuan itu menjual beberapa lukisan koleksinya. ”Dengan perkataan lain: lukisan-lukisan itu dianggap Ethel sebagai ’belegging’, tabungan,” tulisnya.
August Parengkuan, sahabat Ojong yang pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, pernah bercerita kepada Agus Dermawan. Ojong terkesan saat mengunjungi kantor Reader Digest di Amerika Serikat. Di kantor itu, dia melihat banyak lukisan dan patung bagus, bahkan sebagian lain dikumpulkan dalam sebuah ruang khusus semacam galeri.
Baca juga: Satu Simbol Dua Ikon
Menjadi Bentara Budaya
Pada akhirnya, koleksi Ojong menjadi investasi bernilai tinggi. Ada banyak karya penting dalam peta sejarah seni rupa di Indonesia. Dari Bali, misalnya, terdapat karya I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadera, Wayan Barwa, dan I Gusti Ketut Kobot. Kemudian ada lukisan Rudolf Bonnet, Soedibio, Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, Rustamadji, But Muchtar, Nasjah Djamin, Trubus, Ahmad Sadali, Zaini, dan Widayat. Banyak juga keramik China dan dari sejumlah daerah.
Untuk menyimpan dan memamerkan koleksi itu, pada mulanya dibangun Gramedia Art Gallery di Pintu Besar, Jakarta, kemudian digeser ke Jalan Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Koleksi itu mendapatkan ruang lebih permanen ketika Jakob Oetama—dua tahun sepeninggal Ojong—mendirikan Bentara Budaya di Yogyakarta pada 1982, disusul kemudian di Jakarta, Solo (Balai Sudjatmoko), dan Bali. Bentara di Jakarta menempati rumah joglo Kudus yang dibeli Ojong.
Bentara rutin memfasilitasi pameran seniman Indonesia, sesuai semangat Ojong. ”Dia sangat memperhatikan kehidupan para seniman. Dia selalu ingin mendukung mereka,” ujar Melani Ojong, adik Harli, tentang ayahnya.
Beberapa hari jelang wafat, 30 Mei 1980, Ojong mengunjungi seorang pelukis dan membeli satu karyanya. Dalam bukunya, Helen Ishwara mencatat, lukisan itu berukuran 100 sentimeter x 40 sentimeter, bergambar bunga peoni yang sedang mekar dalam gaya China. Di situ, tertera kaligrafi huruf kanji yang artinya kira-kira, ”Bunga sedang mekar-mekarnya, manusia sedang dalam puncak kejayaannya”.
Baca juga: Seabad PK Ojong (1920-2020)