Posisi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dalam upaya penegakan hak asasi manusia perempuan dianggap tidak sekokoh mandat yang dipercayakan. Lembaga ini membutuhkan penguatan status hukum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diminta untuk memperkuat keberadaan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Kendati selama lebih dari 20 tahun kiprahnya dalam pemajuan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, hingga kini posisi lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan tersebut tidak sekokoh mandat yang dipercayakan.
Akibatnya, langkah-langkah Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam melakukan perannya sebagai lembaga negara hak asasi manusia dengan mandat khusus untuk menghilangkan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan menjadi terbatas.
Selama ini, Komnas Perempuan berada di bawah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Posisi tersebut membuat status hukum Komnas Perempuan di mata internasional belum diakui sebagai lembaga HAM Republik Indonesia.
Dalam hal status hukum, Komnas Perempuan masih belum cukup kuat menurut kacamata internasional
”Meskipun sejak tahun 1998 sampai sekarang Komnas Perempuan sudah melakukan kerja-kerja yang cukup diakui dan memberikan satu gambaran, data, yang cukup kuat tentang situasi kekerasaan perempuan, tetapi dalam status hukum, Komnas Perempuan masih belum cukup kuat menurut kacamata internasional,” kata Theresia Sri Endras Iswarini, komisioner Komnas Perempuan yang menangani Advokasi Internasional, Jumat (24/7/2020).
Menurut Iswarini, status hukum Komnas Perempuan yang berada di bawah Komnas HAM menimbulkan ketidakpastian pada titik tertentu, terutama setiap kali periode Komnas Perempuan akan berganti. Kondisi ini tidak akan terjadi jika Komnas Perempuan berdiri dan diakui sebagai lembaga independen HAM perempuan.
Oleh karena itu, Iswarini bersama komisioner Komnas Perempuan lainnya, yakni Mariana Amiruddin, Rainy Hutabarat, dan Satyawanti Mashudi, dalam pernyataan pers secara daring, Jumat, meminta pemerintah segera memperkuat keberadaan Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Secara kelembagaan, status Komnas Perempuan di bawah Komnas HAM.
Karena itulah, menurut Mariana, penguatan lembaga Komnas Perempuan penting agar lembaga negara HAM yang menjalankan mandat untuk memastikan mekanisme HAM perempuan berjalan sesuai dengan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW).
CEDAW adalah konvensi yang mendefinisikan prinsip-prinsip tentang hak asasi perempuan, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang ditetapkan pada tahun 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjanjian yang mulai berlaku 3 September 1981 itu telah diratifikasi oleh 189 negara, termasuk Indonesia pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Oleh karena itulah, bertepatan dengan peringatan CEDAW 2020, Komnas Perempuan berharap Pemerintah Indonesia memperkuat keberadaan Komnas Perempuan sebagai lembaga negara HAM. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga diharapkan mengembangkan langkah-langkah yang lebih terukur dalam melaksanakan implementasi UU No 7/1984 dalam program-program yang dikembangkan oleh pemerintah agar dapat memenuhi pencapaian kesetaraan dan keadilan jender.
Komnas Perempuan juga meminta DPR agar mengintegrasikan prinsip-prinsip dan norma-norma CEDAW dalam berbagai undang-undang. DPR, menurut Rainy, menunda-nunda pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang melindungi perempuan.
RUU yang dimaksud adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang akan menjadi payung hukum untuk memastikan akses korban kepada keadilan substantif serta UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai pengakuan atas kerja pekerja rumah tangga dan perlindungan bagi mereka. Selain itu, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang menjadi dasar pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di semua proses pembangunan.