Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengevaluasi program organisasi penggerak belum dapat meyakinkan kalangan pendidik bahwa program ini akan tepat sasaran dan tujuan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pendidik mendukung upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi guru. Namun, programnya harus jelas dan dilakukan oleh lembaga ataupun organisasi yang kredibel dan mempunyai pengalaman dalam melatih guru.
Persyaratan lembaga penyelenggara pelatihan guru tersebut secara umum tidak tecermin dalam sejumlah organisasi yang lolos dalam program organisasi penggerak (POP) yang digagas Kemendikbud. Program-program yang diusung sejumlah organisasi pun tidak jelas.
Keputusan Kemendikbud untuk mengevaluasi POP sebagaimana disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam taklimat media pada Jumat (24/7/2020) malam juga dinilai tidak menjawab polemik yang muncul. Video taklimat media tersebut diunggah di kanal Youtube Kemendikbud.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Menyoal Merdeka Belajar dan Organisasi Penggerak Kemendikbud”, Sabtu (25/7/2020). Diskusi ini diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Ikatan Guru Indonesia (IGI), serta Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
”Secara substansi kami mendukung guru harus dilatih karena pelatihan guru adalah kunci (kemajuan pendidikan). Akan tetapi, metodenya yang kami kritisi,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim.
Wakil Sekretaris Umum Pergunu Ken Zuhri mengatakan, Kemendikbud seharusnya mengefektifkan organisasi mitra pemerintah untuk pelatihan guru seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG). ”Lebih efektif mana memberi bantuan ke organisasi (yang lolos POP) atau ke MGMP dan KKG yang jelas merupakan organisasi mitra pemerintah,” ujarnya.
Satriwan menambahkan, dilihat dari organisasi yang lolos POP, program ini tidak proporsional dan tidak adil. Ada sejumlah organisasi yang memberikan pelatihan hanya di satu kabupaten/kota mendapatan alokasi Rp 20 miliar, sama dengan organisasi yang memberikan pelatihan di banyak kabupaten kota.
”Dalam daftar organisasi yang lolos dalam POP, misalnya nomor 112, Yayasan Kepulauan Sukses Mandiri, hanya memberikan pelatihan untuk guru SD di Ternate, masuk kategori gajah (mendapat alokasi dana Rp 20 miliar). Sama dengan Muhammadiyah yang memberikan pelatihan di 25 provinsi di puluhan kabupaten dan kota,” kata Satriwan.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU KH Z Arifin Junaidi pun mempertanyakan kriteria organisasi yang lolos seleksi POP. ”Saya melihat di daftar penerima (organisasi yang lolos seleksi) ada macam-macam, ada keluarga alumni sebuah sekolah, ada lembaga yang selama ini dikenal sebagai lembaga zakat, ada paguyuban, ada perkumpulan. Memang ada lembaga-lembaga persatuan guru yang lolos, tetapi lebih banyak yang tidak jelas,” kata Arifin.
Belum matang
Arifin menilai konsep POP belum matang karena kriteria pendaftarannya tidak jelas, demikian pula prosedur seleksinya. Dia mengatakan, LP Ma’arif NU ikut dalam POP atas permintaan Kemendikbud tiga hari menjelang pendaftaran ditutup. Dalam perjalanan proses seleksi, ada sejumlah kejanggalan. Salah satunya, meski menyatakan tidak sanggup membuat proposal dalam waktu singkat lembaganya tetap diminta mendaftar.
”Ketika diminta untuk ikut workshop (lokakarya) penerima POP, saya kaget, kok aneh-aneh yang diterima. Saya memutuskan mundur, selain karena organisasi penerimanya tidak jelas, programnya juga tidak jelas. Ada (program) workshop yang didanai Rp 1 miliar,” kata Arifin.
Selain LP Ma\'arif NU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Persatuan Guru Republik Indonesia juga mundur dari kepesertaan POP. IGI yang juga lolos seleksi dengan alokasi dana Rp 20 miliar memutuskan tetap mengikuti program ini.
Ketua Umum nonaktif IGI M Ramli Rahim mengatakan, dana tersebut untuk memaksimalkan pelatihan guru yang selama ini sudah dilakukan IGI. ”Sudah 300.000 lebih guru dilatih (IGI) selama pandemi ini dan tidak ada dana (untuk pelatihan). Ini (dana POP) untuk memaksimalkan potensi yang ada untuk melatih guru,” ujarnya.
Meski Kemendikbud menyatakan akan mengevaluasi POP, Arifin Junaidi tidak yakin program ini dapat berjalan di masa pandemi ini. Apalagi, waktu pelaksanaanya hanya empat bulan hingga Desember 2020.
Saya sampaikan juga, jangan ada organisasi yang dijadikan legitimasi program. (Arifin Junaidi )
”Mendikbud sudah minta masukan-masukan saya, saya sampaikan terkait kriteria dan prosedur tadi. Mudah-mudahan evaluasinya benar. Saya sampaikan juga, jangan ada organisasi yang dijadikan legitimasi program,” kata dia.
Dalam taklimat media Jumat malam, Nadiem mengatakan Kemendikbud akan semakin melibatkan organisasi-organisasi yang telah terlibat dan mempunyai andil dalam pendidikan. Evaluasi yang dilakukan terkait integritas dan transparansi sistem perekrutan, memastikan organisasi yang telah lolos seleksi merupakan organisasi yang berintegritas, serta memastikan efektivitas pelaksanaan program selama masa pandemi Covid-19 ini.