Kekerasan terhadap Anak pada Masa Pendemi Meningkat
Pada masa pandemi, kekerasan terhadap anak berpotensi meningkat. Hal ini karena kondisi ekonomi keluarga yang menurun dan aktivitas anak dan orangtua yang lebih banyak di rumah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pada masa pandemi, kekerasan terhadap anak berpotensi meningkat. Hal ini karena kondisi ekonomi keluarga yang menurun dan aktivitas anak dan orang tua yang lebih banyak di rumah.
Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sumatera Selatan Fitriana, Kamis (23/7/2020). Dia menuturkan, pada masa pandemi, kasus kekerasan pada anak menunjukkan tren peningkatan.
Berdasarkan data DP3A Sumatera Selatan, angka kekerasan pada anak di sepanjang tahun 2020 sudah mencapai 127 kasus yang terdiri atas 87 kasus melibatkan anak perempuan 40 kasus melibatkan anak laki-laki.
Kemungkinan besar jumlah kasus di sepanjang 2020 akan lebih banyak dibandingkan dengan kasus tahun lalu (Fitriana)
Kasus kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, seksual, eksploitasi anak, penelantaran, dan perdagangan manusia. Paling banyak kasus kekerasan terjadi di Palembang dengan jumlah 71 kasus.
Jumlah ini sudah mendekati angka total kasus di 2019, yakni 193 kasus. ”Kemungkinan besar jumlah kasus di sepanjang 2020 akan lebih banyak dibandingkan dengan kasus tahun lalu,” ujarnya.
Hal yang sama juga dicatat oleh Polda Sumsel. Jumlah kasus hukum yang melibatkan anak juga meningkat di mana sepanjang Januari-Juni 2020 sudah mencapai 16 kasus meningkat dari periode yang sama tahun lalu, yakni sebanyak 11 kasus.
Fitria mengatakan, meningkatkanya kasus kekerasan pada anak disebabkan oleh berkurangnya kemampuan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi banyak orangtua yang harus kehilangan pekerjaan saat pandemi mewabah.
Atas kondisi ini, tak jarang orangtua melampiaskan kegusarannya dengan melakukan kekerasan pada anak. ”Biasanya, faktor ekonomilah yang menjadi akar dari segala kekerasan yang terjadi pada anak,” ujarnya.
Di kondisi yang sama, banyak orangtua yang memanfaatkan anaknya untuk mencari uang. Hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan anak karena mereka akan kehilangan waktu bermain mereka. Itulah sebabnya kekerasan pada anak lebih sering terjadi pada kalangan keluarga menengah ke bawah.
Anak menjadi korban
Kepala Sub III Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel Komisaris Suryadi mengatakan, dari sejumlah kasus yang ditangani kebanyakan anak menjadi korban karena beberapa faktor seperti kasus ekonomi, rendahnya pemahaman agama, tidak adanya keteladanan dari orang yang lebih tua, dan kurangnya pengawasan orangtua.
Suryadi menuturkan, banyak anak-anak di Palembang yang ”berkeliaran” pada waktu malam. Hal ini tentu akan mengundang risiko adanya tindak kriminalitas. Mengatasi permasalahan ini, Suryadi mengimbau agar orangtua memberikan teladan dan didikan yang baik kepada anak sehingga mereka dapat memilah mana tindakan yang baik dan buruk.
Direktur Eksekutif Pusat Pembelaan Hak Perempuan (Woman Crisis Center/WCC) Sumatera Selatan Yeni Roslaini Izi mengakui ada peningkatan laporan pada masa pandemi. ”Jumlah laporan semester I-2020 meningkat sekitar 50 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,” ungkap Yeni.
Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya beban perempuan karena lebih banyak tinggal di rumah. ”Ketika harus bekerja dan anak belajar di rumah, beban ibu akan lebih banyak,” katanya.
Dengan bertambahnya beban ini, risiko adanya kekerasan semakin meningkat. Kebanyakan kasus yang dilaporkan adalah kekerasan verbal di mana ibu terkadang membentak atau berkata kasar kepada anaknya tak jarang juga memukul.
Ketika harus bekerja dan anak belajar di rumah, beban ibu akan lebih banyak (Yeni Roslaini Izi)
Kasus lain yang ditemukan, adanya kekerasan secara daring di mana seorang perempuan merasa dilecehkan ketika ada ada gambar atau video yang disajikan melalui daring. ”Bahkan, ada kasus di mana seorang perempuan mendapatkan pelecehan ketika pacarnya menunjukan alat vital melalui video,” ujarnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, ujar Yeni, perlu ada pembagian tugas di rumah antara suami, istri, dan anak sehingga istri pun tidak merasa terbebani. ”Ini bukan bentuk eksploitasi sepanjang orangtua tidak mengambil keuntungan dari aktivitas tesebut,” ucapnya. Sebaliknya, dengan membagi tugas di rumah, bisa menjadi bekal bagi anak untuk lebih mandiri.
Selain itu, Yeni berharap agar perempuan yang menjadi korban kekerasan harus berani melapor. Dirinya meyakini kasus kekerasan pada perempuan jauh lebih banyak daripada yang ada saat ini. Pasalnya, masih banyak yang takut karena tekanan dari lingkungan.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Sumsel Lela Damayanti Djohar menuturkan, kekerasan pada anak tentu akan menimbulkan trauma pada anak itu. ”Bahkan, ada kemungkinan anak korban kekerasan akan melakukan hal serupa pada saat dirinya sudah dewasa,” ungkap Lela yang juga berprofesi sebagai psikolog anak ini.
Hal ini dia temukan dalam kasus kekerasan seksual pada anak di Palembang beberapa tahun lalu di mana dari dari 12 korban sodomi, 3 di antaranya memiliki keinginan untuk membalaskan yang dia alami kepada orang lain.
Menurut Lela, butuh waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun untuk bisa menyembuhkan anak dari trauma yang mereka alami. ”Walaupun mereka telah sembuh, trauma bisa muncul kembali bilamana mereka melihat atau merasakan hal serupa. Karena itu, pendampingan dari keluarga ataupun lingkungan berperan sangat penting,” ungkap Lela.