Pengasuhan anak menjadi tantangan besar pada masa pandemi Covid-19. Sekolah jarak jauh adalah hal baru bagi anak, orangtua, ataupun sekolah.
Oleh
Fransisca Romana Ninik & Mawar Kusuma
·4 menit baca
Pengasuhan anak menjadi tantangan besar pada masa pandemi Covid-19. Sekolah jarak jauh adalah hal baru bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis.
Jajak pendapat Morning Consult Survey untuk The New York Times pada 16-20 Juni 2020, misalnya, menunjukkan, 64 persen responden orangtua dari anak-anak di bawah umur 12 tahun merasakan tekanan tinggi akibat pembelajaran anak pada masa pandemi. Orangtua juga gelisah terhadap efek jangka panjang pada anak akibat terisolasi, cemas, dan lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler.
Kegelisahan semakin menjadi-jadi karena ketidakpastian, baik dari sisi ekonomi maupun pandemi itu sendiri. Selain itu, mengizinkan anak-anak beraktivitas di luar rumah juga membawa risiko tinggi tertular.
Orangtua seperti Dwi Puspita (40), warga Kota Tangerang, Banten, akhirnya jungkir balik dalam pengasuhan anak pada era pandemi. Hari-hari Puspita bergulir cepat antara tugas anak satu ke tugas anak yang lain, di samping keharusan bekerja dari rumah. Selasa (21/7/2020) pagi, dia siap di depan laptop untuk bekerja dari rumah. Anak pertamanya, Azarel (13), juga siap sekolah daring. Dua anak lain, Orville (9) dan Aileen (7), baru akan mulai belajar seusai Puspita tuntas dengan pekerjaan kantornya.
”Anak pertama sudah mandiri, jadi saya aman bekerja. Nanti selesai bekerja, baru saya menemani anak kedua dan ketiga belajar dan mengerjakan tugas,” kata Puspita.
Hari itu, Orville belajar Seni Budaya dan Prakarya serta IPA, sementara Aileen belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tugas belajar mereka selama sepekan diberikan melalui grup Whatsapp setiap akhir pekan oleh gurunya. Tugas dikumpulkan pukul 20.00-21.00. ”Saya mengajari gantian. Waktunya saya tawarkan kepada anak, terserah mereka. Jadi, mereka ada mood belajar,” tuturnya.
Pengaturan itu dibuat agar Puspita tidak stres, begitu juga anak-anak. ”Tantangan untuk anak, mereka harus tekun dan rajin. Sekali malas mengerjakan tugas, mereka akan tertinggal banyak tugas dan materi. Saya lihat mereka bosan, tetapi mau tidak mau ritme itu harus diikuti,” ujarnya.
Orangtua pun ikut tertekan karena harus mengingat berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum. Lalu, orangtua harus mengirim foto dan video tugas kepada guru. ”Pernah saking riweuh-nya, saya lupa mengirim tugas. Tugas baru dikirim pukul 00.00 sebelum tidur,” ucap Puspita.
Pembelajar hidup
Keterlibatan orangtua sebenarnya terbukti membantu prestasi anak. Makalah dari Nancy Hill and Diana Tyson (2009) ”Strong Positive Association between Parental Involvement and Student Academic Achievement” (Harvard) menegaskan hal itu. Peningkatan prestasi terutama terjadi karena anak merasa lebih diperhatikan dan dimengerti.
Banyak orangtua membekali diri dengan berbagai ilmu pengasuhan agar optimal bagi anak. Salah satunya lewat webinar bertajuk ”Lima Karakter yang Penting yang Dikembangkan oleh Orangtua di Rumah” bersama psikolog Rosdiana Setyaningrum pada 16-20 Juli. ”Kita bukan guru. Tetapi, karena anak lebih banyak di rumah, ini kesempatan baik mengembangkan kepribadian anak,” kata Rosdiana.
Bagi orangtua yang bekerja, pengayaan diri bisa sekaligus mengurangi rasa bersalah karena orangtua harus tetap bekerja, sedangkan anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar. Di sela padatnya pekerjaan dari rumah, Maria Apditaratri meluangkan waktu untuk mengikuti webinar yang dipandu Rosdiana demi pengasuhan putrinya, Kanne (7).
Menghadapi pandemi, orangtua tak lagi bisa sekadar mengandalkan ilmu mendidik anak yang diwarisi dari orangtua. ”Saya perlu meng-upgrade diri karena banyak yang belum saya tahu. Apa saya mengenal anak saya? Mau enggak mau harus meluangkan waktu untuk mendengarkan,” ujar Maria.
Titik balik
Webinar memberi cakrawala baru bagi orangtua. Selama pandemi, artis Donna Agnesia, misalnya, juga aktif menggali minat dan bakat ketiga anaknya: Lio, Diego, dan Sabrina. ”Dari kecil paling enggak harus ada dua kegiatan, yaitu art dan olahraga,” kata Donna.
Untuk Lio dan Diego, Donna memperkenalkan sepak bola. Mereka masuk klub sepak bola mulai dari usia enam tahun hingga sekarang. Namun, pandemi juga membawa tantangan karena anak-anak harus latihan bola lewat aplikasi Zoom.
Kendala serupa dialami putrinya, Sabrina, yang ikut kursus gimnastik dan pernah meraih prestasi dalam kejuaraan di Bangkok. Karena latihan gimnastik dilakukan di rumah dengan aplikasi Zoom, ia pun bosan. ”Saya bilang, nanti kita ngobrol lagi. Kalau taraf gimnastiknya sudah selesai, ya, sudah, nanti explore minat yang lain,” lanjutnya.
Pendidikan sejatinya mempersiapkan anak-anak untuk hidup.
Psikolog Rosdiana menyebut pembelajaran di rumah kerap terkendala banyak hal. Namun, pandemi juga mengajari anak-anak sabar terhadap kondisi yang tidak bisa diubah.
Biasanya orangtua menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah, tetapi kini mereka dituntut terlibat. Karena terlibat, mereka bisa melihat letupan momentum tumbuh kembang anak yang selama ini hanya ”dinikmati” guru.
Pengamat pendidikan Itje Chodidjah menilai masa sekolah jarak jauh ini sebagai titik balik untuk memaknai pendidikan. Pendidikan tak terbatas di ruang kelas dan tidak sekadar hafalan. ”Pendidikan sejatinya mempersiapkan anak-anak untuk hidup,” ujarnya.
Itje menekankan, belajar di rumah tak sekadar memindahkan materi ajar ke dalam platform daring. Bukan pula sekadar menghabiskan materi untuk memenuhi target dalam kurikulum. ”Tujuan kurikulum tidak sekadar pengetahuan, tetapi juga perilaku dan keterampilan. Inilah perlunya semua ekosistem pendidikan untuk bekerja bersama,” katanya.