Selama ini ada ambiguitas penempatan posisi anak. Mereka terkadang ditempatkan sebagai subyek, baik dalam pendidikan, hukum, maupun relasi sosial. Namun, tak jarang, anak dijadikan obyek dalam pembangunan.
Oleh
Dedy Afrianto/Susanti Agustina S
·4 menit baca
Selama ini ada ambiguitas penempatan posisi anak. Mereka terkadang ditempatkan sebagai subyek, baik dalam pendidikan, hukum, maupun relasi sosial. Namun, tak jarang, anak dijadikan obyek dalam pembangunan.
Badan Pusat Statistik mencatat, 4 dari 10 penduduk di Indonesia adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Proporsi ini diperkirakan berlanjut hingga 2025. Besarnya jumlah anak mesti diiringi dukungan sarana dan prasarana yang tidak hanya melibatkan anak sebagai obyek, tetapi juga subyek aktif.
Dukungan utama harus diberikan dalam ranah kesehatan sejak dini. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih berada di dalam kandungan. Artinya, perhatian terhadap ibu hamil menjadi langkah awal menjaga tumbuh dan kembang penerus bangsa.
Pekerjaan rumah berat terdapat di sektor kesehatan anak. Imunisasi dasar lengkap sebagai sarana utama menciptakan generasi sehat belum dinikmati anak di daerah-daerah.
Pada 2018, baru 57,9 persen anak usia 12-23 bulan yang mencapai cakupan imunisasi lengkap. Cakupan imunisasi di sejumlah daerah, seperti Aceh dan Papua, perlu diperhatikan khusus karena baru dinikmati kurang dari sepertiga anak.
Pendidikan
Sektor krusial lain yang perlu diperhatikan adalah pendidikan. Jika imunisasi lengkap menjadi gerbang utama menciptakan generasi sehat, pendidikan adalah gerbang membentuk generasi berkualitas.
Seperti imunisasi dasar lengkap yang belum dinikmati semua anak di Indonesia, demikian halnya pendidikan. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2019, ada 157.166 anak putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menurut survei sosial ekonomi nasional 2018, kondisi ekonomi menjadi alasan utama 50,1 persen anak tak melanjutkan pendidikan. Sebagian dari mereka harus bekerja guna membantu orangtua.
Perhatian khusus perlu diarahkan pada Sulawesi. Dari 10 daerah dengan persentase anak bekerja tertinggi di Indonesia, empat di antaranya Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Mental anak
Beban pemenuhan pendidikan anak bertambah saat pembelajaran virtual dipilih untuk menghindari penularan Covid- 19. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, penggunaan internet naik hingga 40 persen selama pandemi.
Aktivitas anak yang kian sering memanfaatkan internet untuk mengerjakan tugas sekolah, mengikuti kelas daring dan kursus daring tambahan, serta belajar bersama orangtua menimbulkan kekhawatiran. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menangkap tingginya kekhawatiran publik terhadap kondisi mental anak yang rentan mengalami kebosanan, penurunan minat belajar, dan naiknya risiko kesehatan akibat aktivitas fisik yang minim. Publik pun khawatir terhadap risiko anak terpapar konten negatif akibat aktivitas penggunaan internet yang sangat tinggi.
Perusahaan keamanan siber global, Kaspersky, menunjukkan minat anak-anak di Indonesia yang meningkat tajam untuk berkomunikasi secara daring pada Januari-Mei 2020. Penelitian berdasarkan data anonim yang dikumpulkan Kaspersky Security Network (KSN) dari pengguna Kaspersky Safe Kids di platform Windows dan MacOS di Indonesia.
Berdasarkan data penelitian itu, persentase tertinggi anak-anak Indonesia yang berminat terhadap komunikasi internet terjadi pada Februari, yakni 31,55 persen, diikuti pada Maret (27,59 persen), Mei (22,74 persen), Januari (21,94 persen), dan April (17,77 persen).
Penggunaan internet yang kian tinggi oleh anak mensyaratkan jaminan keamanan bagi mereka dari akses konten yang tak sesuai dengan usia anak. Anak juga harus dijaga dari kemungkinan kejahatan di dunia maya yang tak kalah menyeramkan dengan dunia nyata, seperti perundungan siber, kejahatan seksual, dan penipuan.
Pendidikan karakter sulit dijalankan karena hanya bertemu virtual.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim melihat pendidikan saat pandemi berdampak buruk bagi anak. Ada beban belajar lebih berat, terutama karena ada guru yang tak memahami bagaimana pembelajaran jarak jauh yang menyenangkan dan berkualitas. Selain itu, ada juga tantangan tak tergantikan oleh pembelajaran daring, yakni pendidikan karakter. ”Pendidikan karakter sulit dijalankan karena hanya bertemu virtual,” ujarnya.
Kuncinya terletak pada pendampingan. Komunikasi orangtua dengan anak yang dilakukan konstan membantu memahami lebih baik apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pendampingan ini tak sekadar memantau dari jauh dan mengajak diskusi. Pendampingan berarti hadir dalam dunia daring yang dimasuki anak untuk memastikan mereka berselancar di dunia maya dengan aman. Dengan langkah inilah, kita bisa menjaga anak-anak, generasi penerus kita.