Komnas Lansia Perlu Direvitalisasi, Bukan Dibubarkan
Komisi Nasional Lanjut Usia atau Komnas Lansia masih perlu dikuatkan agar nasib warga lansia mendapatkan perhatian serius dari negara. Lembaga negara ini perlu direvitalisasi, tetapi bukan dibubarkan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Komisi Nasional Lanjut Usia merupakan bukti nyata bahwa negara hadir dalam pemenuhan dan perlindungan hak warga lanjut usia. Komisi tersebut sampai saat ini sangat dibutuhkan para warga lanjut usia. Namun, ke depan keberadaan komisi tersebut harus direvitalisasi agar bisa menyuarakan aspirasi warga lanjut usia yang selama ini sering diabaikan.
Karena itu, Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) hendaknya jangan sampai ditinggalkan, apalagi dilupakan. Sebaliknya, komisi tersebut harus diperkuat agar ada keterwakilan warga lansia untuk menyuarakan hak-haknya dalam proses pembangunan. Apalagi, hingga kini masih banyak warga lansia yang tidak mendapat perhatian dan kurang diberdayakan sebagai aktor dalam penentuan kebijakan serta banyak mengalami kekerasan.
Untuk itulah, Koalisi untuk Masyarakat Peduli Usia Lanjut (KUMPUL) melalui surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo meminta Presiden mempertimbangkan situasi dan kondisi warga lansia ketika akan merevitalisasi lembaga Komnas Lansia dengan memperkuat lembaga tersebut, bukan malah menghilangkan.
Komnas Lansia termasuk dalam daftar lembaga yang akan dibubarkan karena dianggap tidak terdengar kinerjanya.
Demikian pernyataan yang disampaikan oleh perwakilan KUMPUL yang diwakili Adhi Santika (penggiat isu lansia), Eka Afrina (The Prakarsa), dan Khotimun S (LBH Apik), Selasa (21/7/2020), secara daring, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 Juli 2020 tentang rencana pembubaran belasan lembaga negara. Komnas Lansia termasuk dalam daftar lembaga yang akan dibubarkan karena dianggap tidak terdengar kinerjanya.
Menurut Adhi, Komnas Lansia yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 22/M Tahun 2012 itu sejak lima tahun lalu, terhitung 1 Januari 2015, sampai sekarang tidak ada lagi keanggotaannya. Keanggotaan Komnas Lansia yang terakhir adalah masa jabatan hingga Desember 2014. Sejak saat itu tidak ada lagi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keanggotaan Komnas Lansia.
Karena itu, KUMPUL pun berharap penilaian kinerja Komnas Lansia dilakukan secara obyektif. Sebab, kenyataannya kinerja Komnas Lansia untuk selama 5 tahun 6 bulan (sejak 1 Januari 2015 sampai 13 Juli 2020) adalah tidak tepat. Ini karena secara de facto keanggotaan komnas sudah tidak ada walaupun secara de jure Komnas Lansia masih ada.
Masih relevan
Menurut Adhi, keberadaan Komnas Lansia yang dibentuk berdasarkan Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia serta Pasal 1 Ayat (1) dan (2) Keppres Nomor 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia itu masih sangat relevan dengan upaya penanganan warga lansia masa kini dan masa mendatang.
Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah warga lansia yang saat ini mencapai 9,6 persen (data Badan Pusat Statistik, 2018). ”Kami berharap segera dilakukan penguatan kapasitas anggota dan lembaga Komnas Lansia serta program-program penguatan lansia di berbagai tingkatan,” katanya.
Imun menegaskan, keberadaan Komnas Lansia masih diperlukan karena sampai saat ini warga lansia sebagai aktor dalam perencanaan pembangunan tidak ada wakilnya baik di tingkat nasional maupun daerah. ”Isu lansia seharusnya tidak hanya di bawah Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi lintas sektoral kementerian. Ada pengarusutamaan di semua kementerian. Dan ini harus dikawal oleh perwakilan masyarakat sipil, akademisi, juga wakil kementerian dalam wadah Komnas Lansia. Maka, Komnas Lansia perlu direvitalisasi, bukan dilupakan,” tuturnya.
Sejauh ini sudah ada Komisi Daerah (Komda) Lansia, tetapi masih perlu dikuatkan agar benar-benar menjadi bagian yang dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sementara di tingkat desa perlu didorong adanya wadah khusus sebagai perwakilan lansia serta diberikan ruang untuk terlibat musyawarah perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan lain.
Menurut Imun, dari pengalaman LBH Apik dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hingga kini masih banyak kasus yang dialami warga lansia, terutama penelantaran, perampasan harta, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kekerasan seksual.
”Namun, di Indonesia tidak ditemukan data kekerasan terhadap warga lansia yang diperbarui secara berkala secara nasional ataupun daerah. Kasus-kasus kekerasan terhadap warga lansia juga jarang diketahui dan lebih sering dianggap masalah keluarga sehingga masyarakat tidak ikut campur,” katanya.