Gelombang semangat reformasi tampaknya terasakan juga dalam dunia bahasa kita. Rakyat semakin berani bukan saja membela hak, tapi juga menyuarakan aspirasi mereka. Dan siap dengan galak mempertanyakan atau menggugat apa pun yang dianggap menyumbat aspirasi mereka itu. Yang digugat adalah sistem atau regulasi yang dirasa represif, mengekang. Dan yang hendak digapai adalah kesetaraan dalam hidup yang lebih nyaman tanpa terlalu dibebani segala macam aturan yang bawel.
Banyak hal yang sejak lama diterima dengan begitu saja kini satu demi satu dipertanyakan, tak jarang dengan cara radikal. Atau paling kurang, kian gencar kembali dibincangkan.
Kita ambillah contoh gugatan terhadap dua bentuk kata yang sudah mapan dan sangat lazim di kalangan penutur bahasa Indonesia: mempunyai dan memenangkan.
Dimulai oleh satu dua orang yang punya cukup pengetahuan soal kaidah bahasa Indonesia, mereka ini, dengan argumen yang tampaknya masuk akal, menyodorkan bentuk tandingan memunyai dan memenangi.
Karena bentuk yang ditawarkan tidak biasa, ramailah sebagian penutur bahasa Indonesia berbantahan mengenai manakah bentuk yang ”benar” di antara dua pasangan tadi. Bisa kita duga, ujung perbantahan yang berlarat-larat cenderung tidak membuahkan sintesis. Kalau ada pihak yang, katakanlah punya otoritas, ikut angkat bicara, suaranya tenggelam dalam keriuhan debat kusir. Tiap orang rupanya lebih berkeras mendesakkan pendapat sendiri daripada mempertimbangkan norma kebahasaan.
Kamus resmi kita yang dianggap sebagai pedoman, boleh dibilang tidak selalu dipakai sebagai dasar berpijak yang penting.
Maka, kedua pasangan tadi, mempunyai-memunyai dan memenangkan-memenangi, terus hidup berdampingan sampai pada suatu hari nanti ada kepastian mana yang ditinggalkan dan mana yang awet terpakai. Dalam perbantahan begitu, ini agak aneh bagi saya, kamus resmi kita yang dianggap sebagai pedoman, boleh dibilang tidak selalu dipakai sebagai dasar berpijak yang penting. Maka, sebagian khalayak lainnya yang tak terlibat dalam diskusi tadi pun jadi bingung, tak tahu bentuk mana yang sebaiknya mereka pakai.
Sebagai sumber primer yang dirujuk oleh banyak orang, KBBI tampak berpretensi menggiring penggunanya ke bentuk-bentuk ”baku”. Namun, berbahasa lebih sering berlangsung spontan dan naluriah, tidak mesti dibarengi kesadaran akan adanya, atau pentingnya, aturan kebahasaan.
Ilustrasi di atas hanyalah contoh kecil mengenai tarik-menarik yang niscaya antara (kehendak mendapatkan) bentuk baku dan bentuk yang hidup alias dipakai penutur dalam berbahasa sehari-hari. Namun, tidak semua tawaran bentuk baku, artinya yang sesuai dengan kaidah pembentukan kata dalam bahasa kita, ditolak. Begitu juga sebaliknya.
Edisi V KBBI (2017), termasuk versi digitalnya, seperti mengingkari semangatnya sendiri dalam mengikhtiarkan bentuk baku. Ia melanggengkan bentuk bengkok penglihatan yang tercatat sudah sejak edisi I (1988), yang kemudian diteruskan edisi II (1991), III (2001), dan edisi IV (2008). Padahal tak pernah kita kenal bentuk-bentuk penglaporan, pengliputan, pengluluhan, penglebaran, atau penglonggaran.
Apakah ini isyarat bahwa kaidah bahasa bisa, dan perlu, diubah selaras dengan kebiasaan?
(Eko Endarmoko
Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia)