Trauma Memicu Penyakit
Trauma kekerasan di masa kanak-kanak dapat memicu munculnya gangguan kesehatan jiwa seperti bipolar, kelumpuhan akibat psikosomatik, dan gangguan metabolisme tubuh.
JAKARTA, KOMPAS — Tak hanya jiwa, kesehatan fisik juga dapat terganggu akibat kekerasan di masa kanak-kanak. Trauma yang belum pulih pun kerap memunculkan bayangan di masa lalu yang dapat menyebabkan kesedihan.
Dampak traumanya bahkan kerap membahayakan seperti yang terjadi pada DHI (30), karyawati swasta di Jakarta. DHI mengaku sempat menyusun rencana untuk meracuni kakak dan ibu kandungnya.
Keinginan itu muncul saat lima tahun lalu. Kala itu terjadi pertengkaran yang melibatkan kakak dan ibu kandungnya. DHI pun seperti menemukan momentum untuk meluapkan kemarahan terhadap kakaknya. Sejak kecil, DHI mengaku kerap memperoleh perundungan dari sang kakak.
”Ketika itu, saya baru terbangun dari tidur lalu melihat ibu dan kakak bertengkar. Entah mengapa, melihat pertengkaran tersebut saya merasa sangat marah hingga ingin membeli racun untuk menghilangkan (membunuh) mereka berdua,” katanya saat ditemui di Jakarta, Minggu, 5 Juni 2020.
Namun, rencana pembunuhan itu berhasil ia urungkan setelah ia menceritakan rencana tersebut kepada kawannya. Sang kawan mengingatkan DHI agar jangan sampai melakukan tindakan itu. Sejak itu, DHI merasa ada yang tidak beres dengan emosinya.
DHI pun mulai mencari-cari informasi tentang komunitas kesehatan jiwa, dan ia bertemu dengan komunitas Bipolar Care Indonesia. Melalui komunitas itu, ia berkonsultasi dengan psikiater dan memperoleh diagnosis bahwa ia bipolar tingkat dua dengan gejala hipomania dan depresi. Seiring berjalannya waktu, diagnosis psikiater terhadap dirinya pun berkembang, dan diketahui bipolar yang dialaminya diiringi dengan gangguan psikotik berupa halusinasi dan delusi.
”Gangguan mood berupa bipolar dan gangguan halusinasi ini naik ke permukaan ketika depresi sedang hebat,” ucapnya.
Sementara saat jiwanya berada dalam kondisi hipomania, DHI akan sangat bersemangat dalam melakukan pekerjaannya. Sama sekali tak tampak ia mengalami gangguan mental saat berada di luar rumah.
DHI mengaku kekerasan oleh sang kakak terhadap dirinya telah memperburuk gangguan kejiwaan yang dia alami. Ia mengalami tekanan jiwa yang cukup berat saat ia harus merawat ayahnya yang sedang sakit selama 2017-2018. Bukan karena ia harus merawat ayahnya, melainkan pertemuannya kembali dengan sang kakak membuat trauma perundungan oleh kakaknya itu muncul kembali dalam ingatan.
Akibatnya, performa kerja DHI di kantorya pun merosot. DHI pun harus menjalani rehabilitasi dan tidak bisa bekerja selama tiga minggu. Di saat itu, DHI mengaku, tanpa alasan yang jelas pula, ia sempat berhenti mengonsumsi obat yang berfungsi dapat menjaga kondisi kestabilan emosi dan kejiwaannya.
”Kemudian di 2018 akhir, depresi itu muncul lagi. Hantamannya lumayan hebat, kemudian hampir melepaskan pekerjaan juga. Lalu kemudian aku kembali menemui psikiater,” katanya.
Baca juga: Anak Korban Kekerasan Cari Sandaran di Medsos
Saat ini, DHI sudah mulai berusaha untuk merelakan masa lalunya yang meninggalkan rasa sakit di batin. Ia pun mengaku hubungannya dengan kakak menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu.
”Dalam sebuah trauma, ada fase menghadapi, mengatasi, baru bisa merelakan. Saya merasa sudah di tahap hampir bisa merelakan. Apalagi ketika saya menyadari bahwa kehidupan kakak saya saat ini tidak lebih baik dari saya sehingga saya harus mensyukuri hal tersebut,” katanya.
Sementara UTI (35), karyawati dan ibu tunggal 1 anak ini, sempat menderita lumpuh dari pinggang ke bawah akibat depresi yang dialaminya. Depresinya berakar dari permasalahan di masa kanak-kanaknya, yaitu pengabaian dari sang ibu dan pelecehan seksual yang dilakukan kakak sepupu dan pamannya saat ia masih duduk di sekolah dasar.
Menurut UTI, pengabaian terhadap dirinya saat kanak-kanak oleh sang ibu dirasakan paling berpengaruh terhadap kondisi kejiwaannya saat ini. ”Ketika ada seorang anak menceritakan situasi pada dirinya, kemudian orangtuanya (mengatakan) ah enggak, itu imajinasi kamu. Pokoknya tidak ditanggapi secara serius, itu mungkin membuat saya akhirnya ada PR-PR (pekerjaan rumah berupa tekanan jiwa),” ujarnya.
Melalui bantuan psikolog, UTI mengaku ia baru mengetahui bahwa di saat masih balita pun ia sudah mengalami trauma akibat memburuknya kondisi rumah tangga orangtuanya yang berakhir pada perpisahan. ”Sempat ada kekerasan secara fisik yang saya dapati saat itu. Mungkin tidak secara sadar dipahami, tetapi secara tubuh itu sangat terdampak. Jadi ada symptom (gejala) khusus pada tubuh yang pada akhirnya saya alami, saya rasakan,” katanya.
Baca juga: Mengajak Masyarakat Mencegah Orangtua Durhaka
Dengan bantuan psikolog, UTI memulihkan kembali luka batinnya di masa kanak-kanak. Dulu, ia sempat lumpuh yang merupakan bagian dari psikosomatik, gangguan pada pikiran yang memengaruhi fungsi organ, dan berlangsung beberapa hari. Saat ini, ia merasa sudah lebih baik dibandingkan dengan 10 tahun lalu saat ia mengalami lumpuh tersebut.
”Secara kemampuan adaptasi badan, ini sudah sangat jauh berubah. Namun, untuk pemulihan, belum selesai, masih proses,” ucapnya.
Bayangan kekerasan di masa kanak-kanak juga masih membelenggu IYA (33). Pengusaha makanan dan ibu satu anak ini semasa remaja hingga kuliah kerap melukai diri hingga berusaha bunuh diri. Itu semua terjadi akibat kekerasan verbal yang dilakukan kakak-kakaknya. Saat itu, ibu kandungnya sudah meninggal cukup lama, sementara ayahnya telah menikah lagi. Ayahnya sibuk bekerja, sedangkan ibu tirinya kurang menaruh perhatian kepada dirinya.
”Aku merasa tersingkir saja sendirian di kamar, tidak ada orangtua yang mengontrol. Komunikasi juga enggak ada. Jadi aku cuma di kamar ngelakuin itu (melukai diri). Hampir setiap malam,” ungkapnya.
Sejauh ini, menurut IYA, ia dapat menepis keinginan melukai diri maupun bunuh diri dengan cara mengalihkan perhatiannya ke olahraga dan bekerja. Apalagi sekarang dia sudah dikaruniai seorang anak yang kini masih balita. Namun, dia akui, rasa takut dan trauma yang terangkum dalam luka batin yang dialaminya belasan tahun lalu masih kerap muncul.
”Memori masa kecil, trauma, itu masih sering ada. Kayak mengendap dan akan selalu ada,” ujar IYA.
Trauma bertahan
Psikiater anak dan remaja Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Fransiska Kaligis, menjelaskan, memori tidak menyenangkan seperti halnya memori menyenangkan akan tersimpan di otak manusia. Itulah kenapa trauma atau memori tidak menyenangkan itu bisa muncul sewaktu-waktu.
”Banyak sekali penelitian yang menghubungkan riwayat trauma di masa kecil dengan kejadian atau masalah kesehatan jiwa di masa dewasa,” ujar Fransiska.
Fransiska menjelaskan, kekerasan terhadap anak punya dampak mengganggu kesehatan mental, fisik, serta tumbuh kembang anak hingga dewasa. Saat anak mengalami kekerasan dan stres, tubuhnya bereaksi dengan memproduksi hormon kortisol atau hormon stres.
Apabila hormon itu diproduksi berlebihan, maka akan mengganggu perkembangan saraf di otak. Tak hanya itu, hormon yang bersifat toksik itu bisa menjalar dan mengganggu sistem tubuh lainnya, yakni sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, dan pembuluh darah.
”Jadi, kalau anak alami kekerasan dari orangtua, maka si anak tersebut akan mempersepsikan sebagai sesuatu yang menimbulkan stres atau ancaman. Si anak itu akan selalu dalam kondisi waspada dan stres. Ketika dalam kondisi stres dan waspada, akan ada respons dalam tubuh secara alamiah, yaitu memicu keluarnya hormon stres, yaitu kortisol,” ujar Fransiska.
Baca juga: Mulailah Membelai Kepala Mereka
Hal senada juga dikemukakan Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Eva Devita Sp. Menurut dia, kekerasan pada anak juga memicu gangguan pertumbuhan kepribadian anak sehingga anak tak mampu melaksanakan regulasi emosinya atau mengelola emosinya.
”Yang dikhawatirkan mereka tumbuh dewasa menjadi anak-anak yang bermasalah,” ujar Eva.
Lebih lanjut Eva menyampaikan, pada anak dengan kecenderungan memiliki masalah pada emosi, jika ia mengalami kekerasan, maka ia akan lebih mudah mengalami stres, gangguan perilaku, termasuk bipolar.
”Pada anak-anak seperti ini memang harus dari awal kita pantau dan terapi, bekerja sama dengan psikolog dan psikiater supaya (anak) tidak berkembang menjadi tadi (gangguan pada kejiwaan). Kalau sudah jadi bipolar, itu titik akhirnya,” tuturnya.
Terapi dan pola asuh
Baik Eva maupun Fransiska mengatakan, anak-anak ataupun orang dewasa yang tumbuh dengan trauma kekerasan dalam dirinya harus memperoleh penanganan profesional untuk mendapatkan terapi dan pengobatan yang diperlukan.
Baca juga: Keras Bukan Disiplin
”Tata laksana penyembuhannya bisa dengan pengobatan atau dengan psikoterapi atau konseling. Tergantung dari beratnya gejala. Kalau gejalanya berat sampai mengganggu fungsi sehari-hari anak tersebut, maka harus dibantu obat,” ujar Fransiska.
Robertus Rubiyanto, aktivis parenting dari komunitas Rational Parenting Indonesia mengingatkan, pasangan suami dan istri yang kelak akan memiliki anak seyogianya membekali diri dengan mempelajari cara memberikan pola asuh yang tepat untuk anak.