Kunci anak yang tumbuh bahagia adalah orangtua yang bahagia. Tanpa itu, orangtua hanya akan mewariskan luka batinnya kepada anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekan lalu, warganet ramai membahas soal orangtua toksik (toxic parents) di lini masa Twitter. Orangtua toksik dipahami sebagai orangtua yang mendidik anak dalam lingkungan dan cara yang tidak sehat. Akibatnya, kesehatan mental anak terganggu.
Warganet terbelah. Sebagian membagikan pengalaman peliknya berurusan dengan orangtua toksik. Sebagian lainnya menormalisasi pola asuh tersebut dengan sejumlah alasan. Alih-alih membantu, normalisasi orangtua toksik dianggap mengerdilkan masalah yang dihadapi anak-anak.
”Gak apa punya keluarga hancur, tapi nanti kalau sudah berkeluarga usahakan keluarga/anak kita gak ngerasain apa yang kita rasain :))” demikian tulis akun Nisyaa di grup Facebook Broken Home.
Grup itu menampung cerita dari orang-orang yang keluarganya tidak utuh (broken home) atau yang mengalami kekerasan mental dan fisik dari keluarga. Ada lebih dari 355.000 akun yang menjadi anggota grup.
Grup-grup serupa ada di media sosial. Ada pula beberapa grup yang menjadi wadah curhat bagi orang yang punya kecenderungan menyakiti diri. Benang merah dari grup-grup itu ialah kesedihan para anggota. Kebanyakan dari mereka menerima kekerasan, baik mental maupun fisik.
Beberapa warganet bercerita, mereka pernah dipukuli dengan tangan kosong dan benda di rumah oleh orangtua. Ada juga yang dihujani dengan cacian selama bertahun-tahun.
Menurut laporan Kompas, beberapa anak yang mengalami kekerasan mental dan fisik melakukan sejumlah upaya untuk mengalihkan luka batinnya. Ada yang menyayat tubuh, ada juga yang berupaya bunuh diri. Beberapa lainnya bergabung dengan grup Facebook yang anggotanya punya pengalaman serupa.
Psikolog Kasandra Susanto saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/7/2020), mengatakan, bergabung dengan grup tersebut belum tentu menyelesaikan masalah. Untuk itu, pendampingan ahli psikologi diperlukan.
”Apa bergabung dengan grup bisa memberi solusi? Itu tergantung profil psikologis masing-masing (anggota). Seharusnya sebuah grup terapi dipandu oleh ahli,” katanya.
Menurut psikolog dan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dian Wisnuwardhani, grup tersebut seperti pedang bermata dua. Anggota yang memiliki luka batin bisa mencari teman dan tahu bahwa dirinya tidak sendirian. Di sisi lain, jika tidak mawas diri, anak bisa terdorong mengambil keputusan yang salah karena pengaruh anggota lain.
”Orang yang punya kecenderungan bunuh diri pada umumnya depresi dan kesepian. Itu sebabnya, mereka butuh orang di sekitar atau kelompok dengan permasalahannya sama. Tujuannya agar ia tidak merasa kesepian. Tapi, kelompok atau grup ini bisa berbahaya jika tidak ada ahli yang membantu mereka menemukan solusi ketika depresi, kesepian, atau cemas berlebih,” kata Dian.
Bicaralah pada guru BK. Setidaknya ada tempat bercerita dan untuk menjadi kuat. Setidaknya anak tahu bahwa setiap dia keluar rumah, dia tidak sendirian dan ada tempat aman.
Dian menambahkan, mengikuti grup dapat dipahami sebagai cara mengatasi kesendirian. Grup juga jadi tempat yang tepat untuk didengarkan tanpa dihakimi. Namun, individu perlu kritis menyeleksi informasi di grup itu.
”Apa kelompok itu sehat atau membuat kita membuat tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang sekitar?” kata Dian.
Anak-anak yang mengalami kekerasan mental dan batin di rumah didorong untuk mencari teman bercerita. Teman yang dianjurkan, antara lain, guru dan pembimbing konseling di sekolah. Pihak sekolah dinilai dapat memberi perlindungan.
”Saya juga sarankan agar anak ikuti kegiatan-kegiatan di sekolah (untuk mengalihkan pikiran). Bicaralah kepada guru BK. Setidaknya ada tempat bercerita dan untuk menjadi kuat. Setidaknya anak tahu bahwa setiap dia keluar rumah, dia tidak sendirian dan ada tempat aman. Jika anak tidak tampak di sekolah, guru pun tahu harus mencarinya ke rumah,” ujar Dian.
Terapi untuk orangtua
Pola asuh toksik kemungkinan besar disebabkan karena orangtua menerima pola asuh serupa dulu. Luka batin orangtua harus disembuhkan untuk memutus mata rantai pola asuh toksik. Sebab, anak berpotensi mewarisi pola asuh itu kepada anaknya di masa depan.
Pola asuh toksik juga terjadi karena relasi kekuasaan di rumah tangga. Sejumlah orangtua merasa berkuasa karena memiliki rumah, uang, pekerjaan, dan menjadi orang yang membiayai kebutuhan anak. Itu sebabnya, anak kerap tidak bisa melawan. Kabur pun bukan pilihan mudah karena anak tidak punya materi.
”Orangtua yang melakukan kekerasan, maka seharusnya mereka yang menemui psikolog. Orangtua harus segera diterapi dan disadarkan. Ini memang sulit. Untuk sementara, anak bisa bercerita ke keluarga terdekat dan berlindung di rumah mereka,” kata Dian.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orangtua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun.
Pada 2016-2018, ada 1.663 hingga 2.672 orangtua dan anggota keluarga yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Pada 2019 angkanya sedikit menurun menjadi 2.314 orang. Selama Januari-14 Juni 2020, di masa pandemi Covid-19, terdapat 735 orangtua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak (Kompas, 20/7/2020).
Sebelumnya, dalam gelar wicara virtual, Ketua Komisi Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan, orangtua seharusnya menjadi pendidik dan teladan anak. Mendidik anak menjadi individu yang bahagia dan tangguh perlu suasana yang menyenangkan.
Penting pula agar orangtua bisa melakukan dialog dua arah dengan anak, bukan komunikasi instruksional. Dengan suasana yang menyenangkan, potensi anak bisa tumbuh dan berkembang.
Dian menambahkan, agar tidak menjadi toksik, orangtua perlu membahagiakan diri sendiri terlebih dahulu. Jangan sampai orangtua mewariskan trauma yang akan dibawa anak-anak hingga akhir hayatnya.