Mulailah Membelai Kepala Mereka
Jika kata sayang sulit terucap, mungkin bisa dimulai dengan membelai kepala anak kita untuk menunjukkan rasa sayang....
Ail, bukan nama sebenarnya, baru duduk di kelas III sekolah menengah pertama saat mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembasmi serangga. Beruntung nyawanya masih tertolong.
Usia Ail kini 16 tahun. Sejak ibunya meninggal saat Ail duduk di kelas IV SD, kekerasan demi kekerasan dialaminya dari sang ayah. Sebagai anak perempuan, Ail seolah menggantikan peran ibunya di keluarga. Dia mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh adik laki-lakinya ketika sang ayah berangkat kerja sebagai sopir taksi.
Namun, saat pekerjaan rumah tangganya dinilai tak beres oleh ayahnya, Ail dipukul. Padahal, tak hanya menggantikan peran almarhumah ibunya, ia juga membantu menafkahi keluarga. Sejak SMP dia berjualan secara daring.
Namun, bukan penghargaan yang didapat dari sang ayah, justru dia kerap dianggap melawan karena sudah menghasilkan uang.
”Kelas I SMP, aku sudah jualan online shop buat bantu-bantu ayah dan dia sering minta duit sama aku. Tapi, dia juga masih sering gebukin aku. Dia bilang, ’Kamu mentang-mentang sudah bisa cari duit, jadi melawan terus sama ayah’,” ujar Ail.
Selama di SMP, Ail melukai tangannya untuk mengalihkan rasa sedih, kesal, dan kecewa terhadap perlakuan ayahnya. Derita Ail bertambah saat dia kerap dibandingkan prestasi akademiknya dengan sang adik.
Tak tahan dengan semua tekanan itu, Ail memilih meninggalkan rumah dan putus sekolah saat duduk di kelas II sekolah menengah kejuruan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ail bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta Utara.
”Terakhir ayah gebukin aku pas aku kelas I SMK. Di situ aku merasa down lagi. Lalu, aku kabur, enggak dicariin ayah. Ketika aku pulang, ayah bilang, ’Kamu sekarang sudah gede, sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Terserah kamu mau pulang atau enggak’. Ya, sudah, jadinya aku enggak pulang sekalian. Aku merasa sudah hancur banget,” tuturnya.
Baca juga: Trauma Memicu Penyakit
Ail mengaku berencana bekerja sebagai asisten rumah tangga sekitar tiga bulan. Setelah itu ia akan kembali menjadi juru potret, hobi dan pekerjaan yang pernah dijalani semasa duduk di SMP. Sebagai juru potret, ia bisa memperoleh upah Rp 500.000 per bulan.
Uang itu nanti akan digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan mengikuti program Paket C di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat untuk menuntaskan pendidikan sekolah menengahnya.
”Upah dari bekerja sebagai asisten rumah tangga, kan, lumayan, hampir Rp 2 juta. Dari upah itu, akan saya pakai untuk membeli kamera,” ucapnya.
Berdamai
”Saya belai si Nina kecil. Saya sampaikan, kamu berharga untuk saya, kamu itu memang patut dicintai. Kemudian, saya hadirkan saya yang sekarang, untuk memeluk si Nina yang kecil ini,” tutur Nina (43), menirukan saat ia menyapa kembali ”anak kecil” di dalam dirinya.
Lewat komunikasi itu Nina berusaha berdamai dengan inner child atau ”anak kecil” di dalam dirinya. ”Anak kecil” itu membawa memori masa lalu dirinya yang tidak bisa hilang dan menjadi panduan bagi Nina saat ini dalam mengasuh keempat anaknya. ”Dan itu yang mesti diberesin,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Bogor, Selasa, 7 Juli 2020.
Namun, sebelum mencapai tahapan berdamai, terlebih dahulu Nina merefleksikan kejadian yang membuatnya mudah sekali marah saat mengasuh anak-anaknya. Salah satunya menghadirkan kejadian masa lalu yang membuat dirinya mudah marah. ”Ternyata saya menyaksikan papa saya yang sangat mudah marah,” ucapnya.
Baca juga: Keras Bukan Disiplin
Dalam refleksi itu, ia melihat kembali pola hubungan mama dan papanya, pola hubungan kedua orangtuanya itu, dengan dirinya, termasuk dengan saudara-saudaranya. Untuk membongkar memori itu, diakui Nina, tidaklah mudah. Alih-alih memperoleh rasa bahagia, memori lama itu malah menimbulkan rasa yang sakit sekali di batin Nina.
”Saya menyaksikan papa saya yang sangat mudah marah. Ketika papa saya marah, saat saya kecil itu, saya merasakan sangat tidak berharga, saya sangat tidak dicintai. Dan itu saya hadirkan kembali dan rasanya sakit sekali. Saya berusaha untuk refleksi, saya nangis-nangis sendiri. Rasa itu saya timbulkan lagi, gimana sih rasa sakitnya, rasa tidak dicintai orangtua, rasa tidak berharga. Itu rasa sakitnya luar biasa. Saya sampai nangis-nangis. Saya keluarin semuanya,” tuturnya.
Terhitung 2014, ibu rumah tangga ini mempelajari proses tersebut dengan didampingi psikolog. Dua tahun pertama dilalui Nina dengan rutin mengikuti kelas regulasi emosi sebanyak dua kali dalam seminggu.
Dengan mengikuti kelas itu, Nina belajar mengelola emosi di dalam dirinya maupun untuk mengalirkan emosi tersebut. Caranya dengan membayangkan peristiwa di masa lalu dan mengalirkan emosinya di masa itu sehingga peristiwa tersebut menjadi netral kembali untuk dirinya. ”Di saat itu saya me-recall saja, memanggil kembali emosinya, dan dialirkan emosi itu,” ucapnya.
Saat mengalirkan emosi dari masa lalu, menurut Nina, biasanya dalam bentuk menangis. ”Jadi kita me-recall kejadian masa kecil yang enggak enak. Terus nangis, kemudian nanti dibantu (psikolog) untuk meregulasi pikiran. Kenapa, yah, papa saya begitu? Karena dia mengalami masa kecil yang enggak menyenangkan juga. Jadi, ketika saya berusaha memahami kondisi papa saya, itu membantu saya untuk memahami perilakunya,” tuturnya.
Baca juga: Mengajak Masyarakat Mencegah Orangtua Durhaka
Tak seperti kakak-kakaknya, Nina mengaku, ia paling jarang memperoleh pukulan dari sang papa. Namun, sejak kecil ia kerap menyaksikan kekerasan fisik yang dilakukan papanya kepada kakak-kakaknya, termasuk kepada mamanya.
Di kala sang papa temperamennya sangat tinggi dan melampiaskan emosi dalam bentuk kekerasan, Nina mengungkapkan, mamanya tak berdaya menghadapi. Bukan hanya tak berdaya, menurut Nina, sang mama pun sedikit sekali memberikan sentuhan kepada anak-anaknya.
Namun, setelah ditelusuri, ia mengetahui bahwa mamanya juga mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya yang membuatnya abai terhadap dirinya dan kakak-kakaknya.
Selama 2014 hingga saat ini, dengan bantuan psikolog, Nina akhirnya dapat menarik benang merah penyebab ia mudah sekali marah saat mengasuh anak-anaknya. Menurut Nina, ia memang paling jarang memperoleh pukulan dari sang papa, tetapi ia menyaksikan kakak-kakak dan mamanya dipukuli sang papa dan itu terekam dalam otaknya.
”Pola asuh (sarat kekerasan) ini terekam di otak anak, kemudian berlanjut hingga generasi selanjutnya. Ini enggak akan putus kalau kita tidak putus mata rantai itu! Seperti papa saya yang luar biasa galak dan mama saya yang neglectful, itu memengaruhi pola asuh saya kepada anak. Kalau saya tidak berbuat, anak saya akan begitu juga ke anak-anaknya,” jelas Nina.
Sebelum menjalani proses berdamai dengan ”anak kecil” dalam dirinya, Nina mengaku kesulitan mengasuh anak pertama dan keduanya. Seperti mamanya, Nina pun pada mulanya tak dapat menyentuh dua anaknya. Akibatnya, anaknya yang kedua mengalami anxiety atau kecemasan dan kini rutin berobat ke psikiater. Tak terkecuali keponakannya, anak salah satu kakaknya, pun mengalami kecemasan.
”Keponakan dan anak saya sampai ke psikiater karena ternyata pola asuh itu terwarisi. Meskipun kita merasa enggak apa-apa, kok, masa lalu saya dengan orangtua saya memang begitu. Cuma kalau kita tidak perbaiki, dampaknya ke anak-anak,” terangnya.
Vio (15), anak pertama Nina, bukan nama sesungguhnya, menyaksikan kini ibunya lebih tenang dalam mengasuh dirinya dan adik-adiknya. Vio yang memiliki sikap pendiam ini pun lebih menyukai ibunya yang sekarang. ”Dulu sering marah. Sekarang jadi lebih banyak komunikasi. Lebih baik umi yang sekarang. Bisa curhat,” tuturnya.
Hingga kini Nina telah memiliki empat anak. Anak ketiga yang lahir setelah Nina melalui proses pemulihan luka batin tampak jauh lebih dekat dengannya. ”Anak kecil ini (anak ketiga), saya sudah proses healing,” kata Nina sambil menunjuk anak balita yang menggelendot di pundaknya.
Agustina Untari, psikolog yang memberikan pendampingan kepada Nina, mengungkapkan, Nina merupakan satu dari banyak orangtua peserta kursus pengasuhan (parenting) di kelasnya yang tidak mampu menerapkan pelajaran pengasuhan yang diterimanya. Setelah ditelusuri, diketahui mereka di masa kanak-kanaknya mengalami kekerasan dari orangtua.
”Si orangtua ini rupanya dibesarkan dengan dipukuli. Nah, yang perlu dibantu adalah orangtua-orangtua seperti ini untuk menyelesaikan dulu luka batinnya sehingga pengetahuannya (parenting) bisa dia terapkan,” jelasnya.
Menurut Agustina, setiap anak harus dipenuhi kebutuhan psikologisnya untuk tumbuh dengan jiwa dan raga yang sehat. Hal pertama yang harus dipenuhi adalah kebutuhan relatedness atau kebutuhan memiliki koneksi dengan orang sehingga ia bisa merasa dicintai dan disayangi.
Kedua, kebutuhan sense of competence atau kebutuhan mampu menghadapi apa pun dalam kehidupan ini. Kalaupun gagal, lanjut Agustina, anak tetap mampu bangkit lagi. ”Ada tantangan susah, itu tak masalah karena aku (mengandaikan sebagai anak) bisa mengatasinya, atau mampu mencari bantuan. Kalau itu terpenuhi, itu lumayan,” ucap Agustina.
Satu lagi, lanjut Agustina, adalah kebutuhan otonomi atau anak perlu merasa bahwa ia ikut menentukan apa yang terjadi. Anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga umumnya tidak dapat memenuhi kebutuhan ini. Anak malah akan merasa menjadi korban. ”Aku (mengandaikan sebagai anak) tak berdaya, tak bisa melakukan apa pun, dan aku coba pun akan percuma dan enggak akan berhasil. Itu muncul pada anak-anak (korban kekerasan dalam rumah tangga),” jelasnya.
Di masyarakat kita, menurut Agustina, sayangnya belum banyak orang yang menyadari pentingnya memenuhi psikologis anak. Hal yang menjadi perhatian orangtua adalah makanan, prestasi, sekolah, dan pakaiannya. Namun, terkait apakah anak merasa terkoneksi dengan orangtuanya, itu belum banyak.
”Anak merasa terkoneksi dengan orangtuanya, itu merupakan modal dasar bagi anak untuk percaya dengan dunia dan percaya sama dirinya sendiri. Proses ini harus terjadi sejak anak masih di usia bayi bahwa mereka percaya kepada orangtuanya. Namun, kalau itu tak diperoleh anak, akan terbawa terus sampai dia besar,” jelas Agustina, salah satu psikolog di komunitas Rational Parenting Indonesia.
Terabaikan
Demikian pula yang dirasakan Devan (21), salah satu penyintas bunuh diri dan pendamping di komunitas pencegahan bunuh diri Into The Light. Mahasiswa fakultas kedokteran di salah satu universitas di Jakarta ini memiliki keinginan bunuh diri sejak duduk di kelas III SD.
Bukan pukulan dan kata-kata kasar yang menyiksa batinnya kala itu, melainkan sikap abai orangtua yang menyebabkan dia merasa tidak memiliki arti berada di dunia ini.
”Yang membuat saya pertama kali berpikir seperti itu (bunuh diri) bukan karena saya stres finansial karena keluarga saya berkecukupan, atau stres akibat akademik karena secara akademik untungnya saya cukup baik. Tetapi, masalahnya yang terabaikan itu adalah kesehatan emosional saya. Kenapa?” ujarnya.
”Setelah saya pikir dan menyadari banyak hal, itu karena ketidakmampuan orangtua saya berkomunikasi dengan baik kepada saya, untuk menunjukkan adanya pengakuan, adanya pengertian, adanya penghargaan dari mereka kepada saya sebagai seorang anak kelas III SD,” tuturnya.
Baca juga: Anak Korban Kekerasan Cari Sandaran di Medsos
Satu hal yang membuat Devan tidak dapat memenuhi keinginannya bunuh diri karena ia tidak tahu cara mengakhiri diri di usia yang masih sangat belia saat itu. Untuk mengatasi keinginan itu, Devan mengaku mengalihkan konsentrasi ke mainan, olahraga, dan mengobrol dengan teman-teman.
”Apakah itu berhasil? Ya, berhasil untuk berlari, tetapi tidak untuk masalah utamanya. Malah ini membuat saya semakin terpuruk karena di sekitar saya, guru saya, siapa pun, tidak ada yang tahu (kondisi saya),” jelasnya.
Hingga akhirnya SMA, diakui Devan, rasa ingin bunuh diri itu muncul kembali. Saat itu Devan mengaku telah menyiapkan alat untuk bunuh diri di dalam kamarnya. Salah satu pemicunya, ia sempat bertengkar dengan orangtuanya. Namun, keinginan itu dapat dicegah karena ada salah satu kerabat yang membantunya.
”Ada yang bantu aku, biasa aku panggil Cici meskipun secara biologis dia bukan cici (kakak) aku. Dia bantu aku selama ini. Dan aku baru sadar bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan ke aku. Itu jadi jalan keluar aku yang lain, dan aku berhenti ingin bunuh diri,” tuturnya.
Selain memperoleh dukungan, Devan mengaku ia juga beberapa kali pernah menemui psikolog untuk berkonsultasi terkait kegundahannya. Untuk memahami pergolakan yang ada di dalam jiwanya, ia pun mencari berbagai macam referensi di daring maupun literatur terkait kesehatan jiwa.
Sebagai pendamping pencegahan bunuh diri di Into The Light, Devan menyampaikan, anak-anak yang mengungkapkan ingin bunuh diri sebenarnya lebih ingin didengarkan karena umumnya di sekeliling mereka tidak ada yang peduli. Jika memang dibutuhkan konsultasi ke tenaga yang lebih ahli, Devan pun akan memberikan saran psikolog atau psikiater yang dapat ditemui.
”Untuk merujuk (memberikan saran konsultasi profesional) juga tergantung keinginan klien yang menghubungi kami. Contoh dia dari lingkungan berada dan nyaman di lingkungan eksklusif, saya akan rujuk di tempat yang eksklusif. Berbeda kalau mereka cerita tidak cukup uang, akses susah, lalu tidak cocok dengan psikolog, saya akan mencoba memberikan mereka akses secara online, contohnya Yayasan Pulih. Di daerah-daerah di RSUD pasti ada (psikolog dan psikiater). Puskesmas setahu saya juga ada psikolog,” tuturnya.
Kini Devan merasakan kondisinya semakin baik. Ia juga sudah tak lagi terlibat pertengkaran dengan orangtua. Menurut dia, sikap ayahnya pun mulai berubah. Kini Devan sibuk kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah, ditambah kesibukannya sebagai pendamping di Into The Light.
Bisa menerima
Olin (17), pelajar SMK jurusan desain visual yang sejak TK kerap melukai diri akibat dituntut berprestasi oleh orangtuanya, kini tengah berusaha mengendalikan keinginannya melukai diri. Apalagi jurusan sekolah yang ia ambil pun telah memenuhi minatnya, bereksplorasi di dunia seni. Olin hanya berharap orangtuanya dapat menerima dirinya apa adanya. ”Penginnya (orangtua) bisa menerima keadaan,” ujarnya.
Tak satu pun, baik Nina, Devan, Ail, maupun Olin, tebersit membenci orangtua mereka. Mereka mencintai orangtuanya masing-masing. Hanya mereka tidak menyukai pengabaian dan kekerasan yang dilakukan orangtua dalam mengasuh dan memperlakukan mereka.
”Kesel, sih, kesel (terhadap perilaku orangtua), tapi yah lama-lama.... Yah, namanya juga orangtua, tahulah niat baiknya. Hanya cara membimbingnya, bagi saya, yang ngeselin,” ucap Olin.
Jika kata sayang sulit terucap, mungkin bisa dimulai dengan membelai kepala anak kita untuk menunjukkan rasa sayang....