Anak Korban Kekerasan Cari Sandaran di Media Sosial
Saat keluarga yang semestinya menjadi tempat berlindung anak menjelma menjadi sumber kekerasan, anak-anak pun mencari pelarian. Dari berbagi pengalaman hingga melukai diri.
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak korban kekerasan dalam keluarga mencari sandaran di media sosial untuk lari dari luka batin yang mereka alami. Selain rentan dieksploitasi dan menjadi sasaran kejahatan pornografi, trauma kekerasan di masa kecil berpotensi terbawa hingga dewasa karena tak tertangani dengan baik sejak awal. Akibatnya, kekerasan terhadap anak menjadi lingkaran setan.
Saat anak dewasa dan berumah tangga, mereka pun berpotensi melakukan kekerasan yang sama terhadap anak-anaknya. Padahal, kekerasan yang dialami anak dalam keluarganya mengakibatkan luka batin yang berujung pada keinginan melukai diri sendiri secara fisik hingga bunuh diri.
Sejumlah anak korban kekerasan yang ditelusuri lewat media sosial Facebook mengungkapkan, mereka sengaja melukai diri sendiri agar bisa mengalihkan rasa sakit akibat luka batin karena menerima kekerasan dari orangtua maupun anggota keluarga lainnya.
Di Facebook, mereka bergabung dalam sejumlah grup dengan nama ”broken home”. Penelusuran Kompas di salah satu grup Facebook yang paling ramai dan aktif, yakni grup Broken Home, menemukan berbagai cerita kekerasan pada anak dan akibat paling fatalnya, bunuh diri.
Broken Home adalah grup terbuka di Facebook. Ada 342.000 akun yang bergabung. Anggotanya umumnya pelajar dari sejumlah daerah di Indonesia. Setiap anggota dapat membagikan kesedihan dan perlakuan buruk orangtua.
Salah satu akun bernama Putri membagikan pesan, ”Aku rapuh ketika disuruh bercerita tentang keluarga”. Pesannya itu dikomentari 79 akun, disukai 1.700 akun, serta dibagikan lagi oleh 151 akun. Komentar yang disampaikan umumnya singkat, seperti ”satu server”, yang artinya memiliki kondisi serupa.
Setiap anggota grup bebas mengunggah undangan untuk bergabung di grup percakapan Whatsapp (WA). Sejumlah anak yang menceritakan kekerasan yang dialaminya di grup Broken Home tanpa rasa khawatir membagikan nomor kontak WA mereka.
Baca juga : Mulailah Membelai Kepala Mereka
Tak jarang ada anggota grup yang menyampaikan ajakan untuk saling membagi nomor WA seperti yang dilakukan akun Na Na. Saat ditelusuri, akun Facebook Na Na ternyata tidak memuat foto maupun identitas jelas dan tak ditemukan unggahan apa pun di akunnya.
Sementara grup-grup WA yang undangannya bebas dibagikan di grup Facebook ”Broken Home” berisi cerita yang sama soal pengalaman kekerasan di dalam keluarga. Bedanya di grup-grup WA tersebut ditemukan beberapa anggotanya membagikan foto dan video yang mengandung konten pornografi.
Penelusuran lebih lanjut terhadap sejumlah anggota grup WA berujung pada grup WA lain yang aktivitas kiriman foto serta video pornonya jauh lebih sering.
Anak-anak korban kekerasan dalam keluarga, baik yang menjadi anggota grup di Facebook maupun WA, sebenarnya sadar bahwa mereka tak menemukan ”obat” di sana.
”Enggak (dapat solusi), sih. Tapi ada orang-orang yang nasibnya lebih parah dari aku. Dia bisa menjalani hidupnya,” ujar Ail, bukan nama sebenarnya, remaja putri berusia 16 tahun.
Ail mengaku, sejak membagikan nomor WA di grup Facebook ”Broken Home”, setidaknya dua kali ia dihubungi orang asing. Salah seorang di antaranya langsung mengajaknya bertemu. ”Aku takut. Tidak aku tanggapi,” ucapnya.
Ail mengalami kekerasan dari ayahnya sejak ibunya meninggal. Saat itu ia masih kelas IV sekolah dasar. Kekerasan dilakukan ayahnya sampai Ail duduk di kelas I sekolah menengah kejuruan.
Semasa SMP, Ail pernah melukai tangannya untuk mengalihkan rasa sedih, kesal, dan kecewa terhadap perlakuan sang ayah. Hingga saat kelas III SMP, Ail nekat mengakhiri hidup setelah dipukuli ayahnya.
”Aku hopeless banget sampai minum cairan pembasmi serangga. Lalu ayah mungkin panik, tiba-tiba pas sadar aku sudah di rumah sakit. Aku sempat mikir, kenapa aku enggak mati saja saat itu biar bisa ketemu mama,” tuturnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kebijakan Publik untuk Indonesia di Facebook Robert Hatari menyampaikan, Facebook telah memperkenalkan fitur baru, yaitu Group Quality. Fitur ini menjadikan admin grup lebih bertanggung jawab terhadap konten yang dibagikan di dalam grup.
Sementara untuk keselamatan anak di Whatsapp, semua pihak memiliki peran penting untuk membuat internet atau daring lebih aman bagi anak.
”Apabila Anda menemukan konten yang mengeksploitasi anak, kami meminta Anda segera melaporkan kepada kami dan membantu menjaga orang tetap aman,” jelasnya.
Baca juga : Keras Bukan Disiplin
Anak yang telah mengalami kekerasan di rumah akhirnya rawan menjadi korban kekerasan selanjutnya di luar rumah. Seperti halnya jerat kejahatan yang rawan ditebarkan lewat grup-grup di media sosial.
Tak terkecuali NV (13), korban pelecehan seksual oleh pamannya di Lampung pada 2019, kembali mengalami pelecehan seksual saat dititipkan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung belum lama ini.
Sulit hilang
Dengan melukai diri, anak mengalihkan rasa sakit luka batin yang diderita akibat kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang sumbernya juga berasal dari luka batin yang ditanggung para orangtua di masa kanak-kanak. Hal terburuk, anak dapat memilih bunuh diri. Di belantara media sosial yang rawan kejahatan, anak mencari validasi.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orangtua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun. Selama 2016-2018 ada 1.663 hingga 2.672 orangtua dan anggota keluarga yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Pada 2019 angkanya sedikit menurun menjadi 2.314 orang. Selama Januari-14 Juli 2020, di masa pandemi Covid-19 ini, tercatat 736 orangtua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak.
Olin (17), bukan nama sesungguhnya, adalah salah satu remaja putri yang masih melukai tangan setiap kali merasa sedih, kesal, atau kecewa terhadap orangtuanya, yang tak mampu ia toleransi. Menurut salah satu kerabatnya, terakhir kali Olin melukai tangannya sebulan lalu, tepat setelah tiga bulan menjalani belajar dari rumah selama masa pandemi Covid-19.
Baca juga : Trauma Memicu Penyakit
Saat mengungkapkan kebiasaannya melukai diri, Olin tak menyinggung kapan terakhir kali ia kembali melukai tangannya. Hanya, jejak luka yang mengering masih tampak di tangan siswi sekolah menengah kejuruan ini. Akan tetapi, ia mengungkapkan apa yang menyebabkan keinginannya melukai diri muncul kembali selama melaksanakan belajar dari rumah.
Menurut Olin, sesungguhnya kebiasaannya melukai diri sudah banyak berkurang sejak ia mengambil jurusan desain visual di salah satu SMK negeri di Jakarta satu tahun terakhir ini. Di jurusan itu ia menemukan dunianya, yaitu melukis, memotret, hingga membuat film.
Namun, selama menjalani belajar dari rumah, trauma kekerasan yang dialami Olin selama TK sampai SMP muncul kembali dan mendorongnya melukai tangannya kembali. ”Kalau ini (trauma), mungkin belum total sembuh. Kadang pada malam hari tiba-tiba ada bayangan masa lalu. Terus muncul lagi rasa kesal. Rasa ingin garuk (melukai tangan) masih ada. Belum hilang,” tuturnya.
Olin mengaku, selama pandemi Covid-19 ini, bayangan trauma masa kecilnya muncul kembali salah satunya karena ia tak pernah mengira akan menjalani belajar dari rumah begitu lama, hampir empat bulan hingga saat ini. Selama di rumah, ia harus menghadapi orangtuanya setiap hari, dan ada saja yang menjadi bahan percekcokan antara ia dan ibunya. Saat melaksanakan ujian, ia pun masih ditugaskan menyapu dan mengepel rumah.
”Kalau sekolah, kan, enggak pernah disuruh nyapu, ngepel. Tapi sekarang ada saja yang harus dikerjain sampai malam. Sempatlah ya kesel, emosi, ingin garuk (melukai diri),” ucapnya.
Olin mengaku mulai melukai tangannya sejak TK. Kala itu ia diasuh neneknya karena ayah dan ibu bekerja. Selama itu tak ada kekerasan fisik yang ia terima, tetapi ia merasa kesepian karena ia anak tunggal dan tak memiliki teman seusia yang bisa diajak bermain dan bercerita.
”Awalnya kebentur meja dan tangannya lecet. Dari situ merasa, lah kok enak. Habis itu ya sudah, pas semua lagi tidur, udah deh coba (melukai tangan). Dari rasa sakit itu, maka yang bikin emosi dan tertekan lari ke luka itu dan jadi lebih lega sedikit,” tuturnya.
Menginjak SD hingga SMP, giliran prestasi akademik yang menjadi tekanan bagi dirinya. Selama itu Olin dituntut orangtuanya untuk menduduki peringkat lima besar di kelas. Untuk mencapai prestasi itu Olin harus menghadapi amarah dan pemukulan dari ibunya setiap kali belajar. Selama masa itu pula ia kerap melukai tangannya.
Salah satu trauma yang sulit hilang, menurut Olin, saat ibunya membentak dan menggebrak meja karena ia tak juga bisa menyelesaikan soal matematika. ”Tiba-tiba (ibu) gebrak (meja), prak-prak-prak. ’Kamu enggak ngerti-ngerti nih, gimana sih’. Akhirnya meja dibanting. Ya udah malamnya (aku) nangis di pojokan, enggak mau tidur. Ibu mah tidur, tidur saja. Sampai sekarang masih teringat,” ucapnya.
Olin mengaku, kini ibunya sudah tak lagi melakukan kekerasan pada dirinya. Ibunya pun menyadari telah melakukan kekerasan itu. Kepada Olin, sang ibu mengaku tidak tahu apa penyebab ia melakukan kekerasan tersebut. Hanya yang diketahui Olin, ibunya juga memperoleh kekerasan dari orangtuanya saat masih kanak-kanak setiap kali belajar.
”Dulu kakek sering gebukin ibu, lebih sering dibanding ibu gebukin aku. Nah sekarang ibu sudah berkurang. Dari trauma itu (aku) belajar. Kalau dulu ibu pernah ngelakuin aku kayak begitu, untuk ke depan jangan sampai aku ngelakuin kesalahan yang sama. Yah, buat apa juga diulangin, kan kita sendiri ngerasain sakit,” tuturnya.
Berdasarkan survei yang dilakukan YouGov Omnibus pada Juni 2019, sebesar 36,9 persen orang Indonesia pernah menyakiti diri dengan sengaja. Prevalensi tertinggi pada kelompok usia 18 hingga 24 tahun, dan 7 persen di antaranya menyakiti diri sendiri dengan frekuensi rutin.
Sementara menurut survei Global School-Based Student Health Survey yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan pada 2015 berupa survei kesehatan pada 10.837 pelajar SMP dan SMA dengan rentang usia 12-18 tahun, diperoleh data keinginan untuk bunuh diri pada kelompok pelajar itu sebesar 4,3 persen pada laki-laki dan 5,9 persen pada perempuan. Survei ini dilaksanakan di 75 sekolah di 68 kabupaten/kota di 26 provinsi.
Sumber data lainnya, Global Burden of Disease Collaborative Network, jumlah kematian usia 5-14 tahun di Indonesia akibat bunuh diri selama 2010-2017 umumnya berkisar 82-92 orang per tahun. Sementara untuk usia 15-49 tahun berkisar 5.400 sampai 5.700 orang.
Bertahan
Sementara luka batin masa kanak-kanak yang tak dipulihkan akan tetap tersimpan hingga dewasa. UTI (35), karyawati dan ibu satu anak, masih berproses memulihkan luka batinnya akan pelecehan seksual oleh sepupu dan pamannya saat ia masih duduk di sekolah dasar.
Sejak 2010 hingga saat ini UTI masih menjalani terapi dengan psikolog. Berkat terapi ini, ia mulai mampu mengatasi depresi akibat kekerasan masa kanak-kanak yang dialaminya. Ia juga dapat melalui perceraian dengan suami pada 2011 dan kini sebagai orangtua tunggal mampu mengasuh anaknya.
”Kalau ada flash back (bayangan masa lalu datang) tertentu memang masih suka gampang nangis,” ucapnya.
Psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, menyampaikan, semua bentuk kekerasan mengandung unsur kekerasan psikis berupa kekerasan verbal dan emosi. Masalahnya, lanjut Ika, orangtua masa kini suka lupa untuk bicara emosi dengan anaknya. Sebab, bagi orangtua, permasalahan prestasi anak di sekolah lebih utama dibandingkan bicara perasaan.
”Bagi orangtua, matter of sekolah beres, berprestasi, punya skill yang sifatnya prestasi, baik di musik, seni, olahraga, maupun akademik, maka itu cukup. Mereka tidak pernah betul-betul real talk, bicara perasaan, mengajarkan anak mengekspresikan perasaannya dalam nuansa relasi mereka (orangtua dan anak),” ujarnya.
Akibatnya, ketika anak kesulitan mendefinisikan emosi yang dirasakan, akan dilampiaskan dalam bentuk marah dan perilakunya menjadi agresif. ”Sebetulnya dia sedih, tetapi jadinya tindakan agresif yang keluar,” ujarnya.
Begitu pula melukai diri, sesungguhnya tindakan itu dilakukan anak untuk mengalihkan rasa sakit psikisnya. ”Kenapa mereka melukai diri? Supaya rasa (sakit) psikisnya itu tidak terasa lebih (dari rasa sakit luka pada tubuhnya). Mereka akan berhenti (melukai diri) ketika rasa sakitnya itu sudah overwhelm atau melampaui rasa sakit psikisnya,” jelas Ika.
Sementara pada anak yang ingin bunuh diri, menurut Ika, dia merasa sudah tidak punya alternatif untuk mengalihkan sakit luka batinnya. Dia merasa tidak punya siapa-siapa. Seperti di masa pandemi ini, lanjut Ika, pihaknya pun menerima klien anak remaja yang mengaku ingin bunuh diri.
”(Selama pandemi Covid-19), Maret hingga Juni, ada link khusus bagi korban kekerasan untuk mendaftar konseling gratis selama dua kali pertemuan di Yayasan Pulih. Ada dua remaja mendaftar. Satu klien saya saat konseling mengajukan pertanyaan ke saya, ’Ada enggak sih, Bu, cara untuk mati yang gampang dan tidak sakit?’. Buat dia, kondisinya sudah sangat menekan. Apalagi situasi Covid-19 ini membuat dia harus ada di rumah di tengah keluarga toksik, bernuansa kekerasan, dan dia enggak bisa ke mana-mana,” jelas Ika.
Sementara Agustina Untari, psikolog pada Rational Parenting Indonesia, menemukan sejumlah orangtua yang mengikuti kelas parenting atau pengasuhan anak, ada yang tak bisa menerapkan ilmu parenting karena belum selesai dengan trauma di masa kanak-kanaknya.
”Dia bukannya tidak mau menjadi orangtua yang bisa memeluk anaknya, berempati dengan anaknya, tetapi dia tidak mampu. Si orangtua ini rupanya dibesarkan dengan dipukuli, maka dia banyak trauma. Dia tidak cukup siap untuk menerapkan ilmu parenting. Jadi, dia sudah tahu, secara kognitif, bahwa tidak boleh bentak anak, tidak boleh pukul anak. Namun, pada kenyataannya, ketika emosi itu muncul, dia tidak siap untuk melakukan itu karena masih punya luka batin,” jelasnya.
Orangtua seperti ini, menurut Agustina, perlu menyelesaikan dulu luka batinnya sehingga pengetahuan tentang pengasuhan dapat ia terapkan pada anaknya. ”Saya menemui kasus seperti itu lumayan banyak (di kelas parenting). Sebab, saya, kan, banyak diskusi dengan orangtua (salah satunya UTI),” terangnya.
Baca juga : Mengajak Masyarakat Mencegah Orangtua Durhaka
Itu pula sebabnya, menurut Agustina, pentingnya konsultasi dengan tenaga ahli jika mengalami masalah pada kejiwaan. Seperti anak-anak yang membagikan kesedihan dan kekecewaan terhadap keluarganya di grup-grup media sosial, lanjutnya, itu memiliki kerawanan cukup tinggi.
”Predator bisa cari-cari orang kayak gini buat dikerjain (lewat grup di media sosial). Orang-orang yang mengalami kekerasan ini perlu pergi ke psikolog dan psikiater. Tidak bisa self help, dengan baca-baca di internet tidak cukup. Jadi, bagaimana caranya biar bisa didorong buat cari bantuan (psikolog atau psikiater). Sebab, masalahnya memang serius banget. Traumanya banyak, dan kebanyakan trauma itu tidak bisa ditangani sendiri kasusnya,” tuturnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menyampaikan, pandemi Covid-19 memang memunculkan problem di keluarga yang tak sederhana. Selama ini kenyataannya orangtua tidak bertemu dengan anak selama 24 jam sehari, tetapi selama pandemi ini tiba-tiba harus bertemu seharian dan sudah berlangsung berbulan-bulan.
”Ini yang kemudian menimbulkan problem karena tidak pernah bertemu selama ini dan komunikasi pun kurang lancar. Karena anak pun stres, karena anak itu dunianya bermain. Ketika dia terkurung di rumah, tidak bisa bermain dengan teman-temannya, tidak bisa bersosialisasi, tentu itu juga menimbulkan problem pada diri anak,” jelasnya.
Dalam kondisi ini, menurut Retno, dibutuhkan saling pengertian antara anak dan orangtua. Namun, ketika saling pengertian tidak ada, dibutuhkan pihak ketiga seperti bantuan psikolog. Oleh karena itu, hadirnya konseling-konseling melalui daring menjadi penting karena dapat membantu anak dan orangtua.
Belum optimal
Anak pun dapat mengoptimalkan layanan konsultasi yang ada di sekolah melalui guru Bimbingan Konseling (BK). Menurut Retno, fungsi guru BK mirip psikolog. Walaupun bukan psikolog, mereka dibekali ilmu kejiwaan. Mekanismenya, guru BK dapat menjadi dinding pertama untuk curhat. Jika guru BK tak mampu mengatasi, dapat diteruskan ke P2TP2A karena di lembaga itu disediakan psikolog anak.
”Nah, ini yang penting diumumkan kepada guru-guru BK. Jangan-jangan mereka tidak mengerti bahwa ada psikolog di P2TP2A dan juga di puskesmas-puskesmas. Misalkan Jakarta dan Yogyakarta hampir semua puskesmasnya memiliki psikolog kesehatan mental. Ini penting diinformasikan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah daerah, sebenarnya menyiapkan. Mungkin tidak tahu selama ini,” kata Retno.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Pendidikan Jasmani dan BK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yaswardi saat ditemui di kantornya di Kabupaten Bogor mengatakan, saat ini jumlah tenaga guru BK di Indonesia memang belum ideal. Hal ini yang membuat pelayanan kepada anak belum optimal.
Hingga kini jumlah guru BK di Indonesia baru tersedia 55.000 orang, sementara jumlah siswa SMP dan SMA/SMK mencapai 50 juta anak. Dari jumlah itu diperoleh rasio 1 guru BK harus menangani 909 anak. Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan menengah, rasio ideal 1 guru BK melayani 150 siswa.
”Memang harus diakui jumlah masih sering terbatas sehingga pelayanan dan pendampingan tidak maksimal. Formasi guru BK di sekolah belum ideal,” ujar Yaswardi.
Mengenai hal ini, pihaknya sudah mengimbau kepada dinas pendidikan di pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk mendorong penambahan tenaga guru BK. Pihaknya juga sudah bekerja sama dengan kementerian, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Agama, dan lembaga lainnya untuk penambahan guru BK.
”Kami juga sudah arahkan guru mata pelajaran yang beban kerjanya masih ada ruang untuk membantu menjadi guru BK. Selain itu, guru agama dengan nasihat dan kondisi batin siswa mungkin bisa membantu guru BK,” ujar Yaswardi.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyampaikan, ada empat pihak yang bertanggung jawab melindungi anak, yakni anak itu sendiri, orangtua, masyarakat, dan pemerintah daerah maupun pusat. Setiap pihak harus memahami hak dan kewajibannya. Jika orangtua tak menjalankan fungsinya dalam memberikan kasih sayang kepada anak, anak rawan menjadi korban kekerasan di luar rumah.
”Jika di rumah tidak mendapat kasih sayang, anak akan keluar. Di luar, anak malah rawan dimanfaatkan orang lain yang kemudian bisa mengarah ke tindak kekerasan pada anak,” jelasnya.
Nahar pun tak menampik bahwa kerawanan juga bisa datang dari tenaga pendamping, seperti kasus pelecehan seksual yang dialami NV di Lampung. Menurut dia, pelaku berinisial D yang merupakan tenaga pendamping P2TP2A di Lampung itu sempat buron, tetapi sudah ditangkap. ”Kasusnya diproses di kepolisian,” ujarnya.