Pada umurnya yang ke-80 tahun, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia dengan tenang. Hingga saat-saat terakhirnya, ia selalu menekuni kegemarannya menulis.
Oleh
Fransisca Ninik Romana/Mawar Kusuma Wulan
·3 menit baca
Lahir di Solo pada 20 Maret 1940, Prof Dr Sapardi Djoko Damono baru saja memasuki atau yang diistilahkannya sebagai ”menyeberang” ke usia 80 tahun. Ketika dihubungi di hari perayaan ulang tahunnya lalu, Sapardi sudah mengeluhkan tubuhnya yang sering sakit-sakitan. Ia bahkan menyebut memiliki 4-5 dokter yang selalu rutin memeriksa kesehatannya.
Heran, kok umur saya bisa 80 tahun. Saya merasa justru sekarang ini saya harus meneruskan yang saya sukai, yaitu menulis.
”Heran, kok umur saya bisa 80 tahun. Saya merasa justru sekarang ini saya harus meneruskan yang saya sukai, yaitu menulis. Setiap hari saya ngetik,” ujar Sapardi yang telah menerbitkan lebih dari 50 buku berbagai jenis: puisi, cerpen, dan teori sastra.
Pada umurnya yang ke-80 tahun pula, Sapardi meninggal dunia dengan tenang di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB. Jenazah dimakamkan di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor. Sesuai protokol kesehatan dari pemerintah serta persyaratan dari pihak pemakaman, pelayat tidak diperkenankan mengantar atau hadir di pemakaman.
Sapardi pun lantas diantar menapaki tahap baru yang diistilahkannya sebagai ”menyeberang” dalam suasana tanpa keriuhan. Tanpa dihadiri banyak orang sama seperti ketika dia berulang tahun pada Maret lalu. Pesta ulang tahun besar-besaran yang kala itu direncanakan akan digelar di Taman Ismail Marzuki itu pun urung dilaksanakan akibat pandemi Covid-19.
Demi memuaskan keinginan penggemarnya yang ingin mengucapkan selamat ulang tahun kala itu, Sapardi merayakan datangnya usia 80 tahun dengan tayangan langsung di Instagram tepat tengah malam pada Jumat (20/3/2020). Kala itu, Sapardi siaran langsung diiringi pembacaan karyanya di laman Instagram ditemani salah satu mantan mahasiswa yang sudah dianggap anak sendiri, Tatyana Soebianto.
”Masalah orangtua seperti saya ini, kan, punya hobi baru: hobinya keluar masuk rumah sakit. Hobi mahal. Enggak apa-apa. Memang harus begitu. Hb saya rendah, jadi kadang harus transfusi darah, tapi enggak apa-apa,” kata Sapardi.
Menurut Tatyana, kondisi Sapardi memburuk sejak 9 Juli lalu akibat komplikasi beragam penyakit. Ia meninggalkan satu istri dan dua putri. ”Saya bahagia pernah menjadi salah satu ’anak’ bapak. Saya dan beberapa teman tetap berupaya memopulerkan sastra di kalangan anak muda lewat musikalisasi puisi,” ujar Tatyana.
Tatyana dan ”anak-anak” Sapardi lainnya seperti Reda Gaudiamo dan Umar Muslim sampai kini masih senantiasa menjalankan pesan Sapardi untuk terus memopulerkan sastra, khususnya puisi, di kalangan generasi muda.
”Paling tidak biar anak-anak muda tidak merasa seram dengan sastra, khususnya dengan puisi. Dari 1988, kami semua terus melakukan itu sejak masih menjadi mahasiswanya di Fakultas Sastra UI,” tambahnya.
Kesehatan Sapardi, menurut Tatyana, memang sudah menurun sejak dua tahun terakhir. Hingga hari terakhir, ia disebut tetap mencintai sastra. ”Tetapi, di sela sakitnya, ia tetap berkarya menulis, membuat puisi baru, dan berbagai rencana. Mencintai sastra sudah ada di DNA Sapardi. Orang boleh menaruhnya di peta budayawan Indonesia. Sastra dan kebudayaan menjadi perhatian beliau sampai usia 80 tahun,” tutur Tatyana.
Sementara itu, penyair Joko Pinurbo sangat berduka dan kehilangan atas meninggalnya sastrawan Sapardi Djoko Damono. Karya-karya Sapardi banyak menginspirasi Joko Pinurbo dalam menulis puisi, cerpen, dan novel.
Begitu sedihnya, Jokpin, sapaan Joko Pinurbo, sampai kehilangan kata-kata dan belum siap mengenang Sapardi. ”Beliau bukan hanya seorang maestro seni kata. Beliau pribadi yang hangat dan rendah hati,” ujarnya singkat saat dihubungi, Minggu (19/7/2020).
Jokpin sering kali menyebutkan nama Sapardi, mengutip puisinya, dan menjadikan Sapardi tokoh dalam karyanya. Di antaranya pada cerpen ”Sebotol Hujan untuk Sapardi” (Kompas, 7/6/2015), novel Srimenanti (Gramedia Pustaka Utama, 2019), dan puisi ”Rumah Kontrakan” (2001). Dalam wawancara dengan Kompas tahun lalu, Jokpin juga menyebutkan bahwa ia ingin karier kepenulisannya variatif dan panjang. Semoga bisa lebih dari 70 tahun seperti Pak Sapardi, katanya.