Tantangan Semakin Besar untuk Mengurangi Kesenjangan Pendidikan
Angka kemiskinan yang bertambah dan semakin dalam akibat pandemi Covid-19 diperkirakan akan berdampak meningkatkan angka putus sekolah. Sedangkan penutupan sekolah akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Siswa kelas 2 di SD Al-Bayan Islamic School, Kota Tangerang, Banten, mengerjakan tugas dari guru saat belajar di rumah, Selasa (17/3/2020).
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 diperkirakan berdampak pada peningkatan angka putus sekolah dan menurunkan angka partisipasi sekolah di pendidikan dasar dan menengah. Pembelajaran tak efektif akibat penutupan sekolah juga akan menurunkan mutu pendidikan yang masih rendah.
Bukan hanya menghambat kemajuan yang dicapai, kondisi ini bisa memperlebar kesenjangan pendidikan, terutama antara kelompok miskin dan kaya. Krisis ekonomi yang meningkatkan dan memperdalam kemiskinan akan membuat siswa dari keluarga miskin rentan makin tertinggal dan terpinggirkan.
Sebelum pandemi, sekitar 4,33 juta atau 6 persen dari jumlah total anak berusia 7-18 tahun putus sekolah karena berbagai sebab. Alasan utama adalah, faktor ekonomi, baik karena harus bekerja, tidak ada biaya, menikah, mengurus rumah tangga, maupun malu karena ekonomi (Susenas 2019). Semakin tinggi jenjang sekolah, semakin tinggi proporsi angka putus sekolah.
Data pasti dampak pandemi pada pendidikan ini memang baru akan diketahui setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima laporan semua sekolah hingga akhir Agustus nanti. Dari laporan itu, kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad, akan diketahui jumlah siswa yang kembali ke sekolah dan jumlah siswa baru.
Dugaan kami akan ada penurunan angka partisipasi kasar, akan ada peningkatan angka putus sekolah. (Hamid Muhammad)
“Dugaan kami akan ada penurunan angka partisipasi kasar, akan ada peningkatan angka putus sekolah. Berdasarkan survei kami, 56 persen orangtua siswa sekolah swasta tidak mau membayar SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), dan ada sekolah swasta yang akan tutup karena dana operasional (kini) hanya dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah),” kata Hamid dalam webinar tentang pendidikan berkeadilan yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Rabu (15/7/2020).
Data Susenas 2019 menunjukkan, anak putus sekolah banyak dijumpai di kalangan keluarga tak mampu atau miskin di wilayah pedesaan. Anak-anak ini umumnya mengisi sekolah-sekolah swasta berbiaya rendah yang biaya operasionalnya bergantung pada pembayaran SPP. Dalam kondisi normal pun, berdasar data Kemendikbud, per tahun rata-rata ada sekitar 300 sekolah swasta yang tutup.
Partisipasi sekolah
Bertambahnya anak putus sekolah berarti penurunan angka partisipasi sekolah yang selama ini secara umum meningkat, terutama di tingkat sekolah dasar (SD). Meskipun begitu, tingkat kesenjangan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya masih tinggi, terutama di tingkat sekolah menengah atas.
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD sudah mencapai 103,5 persen pada 2019, tetapi di 30 kabupaten/kota masih di bawah 90 persen, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Angka partisipasi kasar SD di atas 100 persen menunjukkan ada anak di bawah 7 tahun dan di atas usia 12 tahun di jenjang SD.
Sementara APK SMP/sederajat sebesar 90,57 persen pada tahun 2019, dengan 42 kabupaten/kota masih di bawah 90 persen. Kesenjangan antar kelompok pendapatan, yakni 89,68 persen pada kelompok 20 persen masyarakat termiskin (kuintil 1) dan 91,37 persen pada kelompok 20 persen masyarakat terkaya (kuintil 5).
Namun APK SMA/sederajat pada tahun 2019 masih 83,98 persen, dengan 82 kabupaten/kota di bawah 75 persen. Tingkat kesenjangan antar kelompok pendapatan pun masih tinggi, yakni 70,14 persen di kuintil 1 dan 95,26 persen di kuintil 5.
Terkait wajib belajar 12 tahun, menjadi penting kalau kita fokus ke sekolah menengah atas. (Amich Alhumami)
“Ini tantangan besar. Terkait wajib belajar 12 tahun, menjadi penting kalau kita fokus ke sekolah menengah atas,” kata Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami.
Angka partisipasi sekolah merupakan indikator untuk mengukur pemerataan akses pendidikan. Pemerataan akses pendidikan dasar dan menengah selama ini antara lain didukung dengan penyediaan BOS serta bantuan pendidikan untuk siswa dari kelompok miskin (KIP). Pemerintah juga menanggung biaya pendidikan untuk siswa di SD dan SMP negeri.
Tantangan akan semakin besar karena baru sejumlah kecil provinsi yang menanggung biaya pendidikan siswa di SMA/SMK negeri dan memberikan bantuan pendidikan siswa di SMA/SMK swasta. Provinsi DKI Jakarta telah memulai program ini, diikuti Provinsi Jawa Timur mulai Juli 2019, dan Provinsi Jawa Barat mulai Juli 2020.
Kualitas rendah
Dari sisi kualitas pendidikan, Hamid memperkirakan akan terjadi penurunan akibat pandemi ini. Karena tidak ada lagi ujian nasional, ini akan diketahui dari hasil asesmen kompetensi siswa yang akan diselenggarakan pada Februari-Maret 2021 untuk jenjang SMA/sederajat, serta pada Juni-Agustus 2021 untuk SD dan SMP/sederajat. “Dalam masa normal pun (sebelum pandemi) mutu masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.
Hasil ujian nasional pada tahun ajaran 2018/2019 menunjukkan, kompetensi siswa masih amat rendah terutama untuk mata pelajaran sains atau IPA dan Matematika. Rata-rata nilai IPA untuk jenjang SMP hanya 49,43 sedangkan Matematika hanya 46,19. Rata-rata nilai tertinggi Bahasa Indonesia sebesar 64,85.
Untuk jenjang SMA jurusan IPS maupun IPA pun rata-rata nilai sains tidak sampai 60. Nilai terendah di mata pelajaran Matematika, untuk jurusan IPA hanya 38,68 dan jurusan IPS hanya 39,33. Nilai tertinggi di juga pada pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu 69,07 untuk jurusan IPA dan 67,97 untuk jurusan IPS.
Pembelajaran jarak jauh karena sekolah ditutup selama masa pandemi ini yang masih belum sepenuhnya efektif karena sejumlah kendala akan memengaruhi pemahaman kognitif yang akan berdampak pada performa akademik secara umum. Berdasarkan survei Kemendikbud, rata-rata lama belajar dalam pembelajaran jarak jauh hanya 1-2 jam, itu pun 90 persen mengerjakan tugas.
Kompas/Priyombodo
Alif, siswa kelas 6 SD Negeri 1 Tangerang menyelesaikan tugas keterampilan membuat patung dalam pembelajaran jarak jauh atau PJJ di rumahnya di kawasan Buaran Indah, Kota Tangerang, Banten, Jumat (17/7/2020). Pembelajaran jarak jauh masih terus berlangsung selama masa pandemi Covid-19.
Belum lagi mereka yang tak bisa mengikuti pembelajaran daring maupun luar jaringan (luring) karena kendala akses teknologi digital dan internet yang diperparah persoalan geografis sehingga guru kesulitan menjangkau tempat tinggal siswa untuk memberikan pembelajaran secara tatap muka. Pembukaan sekolah di zona hijau Covid-19 diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini.
Tidak ada ada data pasti siswa yang tak bisa mengikuti pembelajaran daring maupun luring selama pandemi ini. Namun berdasarkan survei Kemendikbud, kondisi tersebut terjadi di sekitar 6 persen atau lebih dari 8.000 SD. Hasil survei Wahana Visi Indonesia di sejumlah provinsi, meski tidak mewakili populasi, dialami 32 persen dari 900 siswa yang disurvei.
Dengan prinsip pendidikan untuk semua bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal (no one left behind) yang disepakati dalam agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, kata Amich, segala sumber daya harus dimanfaatkan untuk menjaga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik selama pandemi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berbagi tanggung jawab.
Krisis akibat pandemi ini memberikan tantangan semakin besar dalam upaya meningkatkan kualitas dan mengurangi kesenjangan pendidikan. Apa pun kebijakan yang diambil akan menentukan masa depan pendidikan.