Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kebudayaan tercatat 4.521 tradisi lisan. Sebagai bagian dari agenda perlindungan, muncul wacana mengembangkan sistem data terpadu yang salah satunya menyasar tradisi lisan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memandang perlu adanya sistem data kebudayaan terpadu yang salah satunya untuk melindungi tradisi lisan. Pengembangan sistem seperti itu membutuhkan pendokumentasi yang disiplin.
Tradisi lisan adalah pesan-pesan verbal dari masa lalu yang menembus zaman sampai ke masa kini. Pesan-pesan itu bisa berupa ucapan, nyanyian, cerita, hal berhubungan dengan sastra, teknologi tradisional, karya seni, hukum adat, ritual, dan pengetahuan.
Tradisi lisan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui penuturan dari mulut ke mulut. Kendati demikian, tidak segala hal yang dituturkan secara verbal disebut tradisi lisan. Tradisi lisan memiliki lingkup spasial dan temporal.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid dalam lokakarya daring Asosiasi Tradisi Lisan dan Kajian Tradisi Lisan, Kamis (16/7/2020) di Jakarta, menyebutkan, terdapat sekitar 4.521 tradisi lisan yang tercatat. Masing-masing tradisi lisan itu memiliki kekhasan.
Dia berpendapat, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bisa menginisiasi penyusunan taksonomi tradisi lisan. Hal itu akan sangat membantu pengembangan sistem data terpadu.
Efektivitas sistem data terpadu terlihat dari pendokumentasian. Agenda yang menonjol saat ini adalah menyangkut perlindungan. (Hilmar Farid)
”Efektivitas sistem data terpadu terlihat dari pendokumentasian. Agenda yang menonjol saat ini adalah menyangkut perlindungan,” katanya.
Dalam konteks pemajuan kebudayaan, tradisi lisan bisa dikembangkan lebih jauh bukan sebatas berwujud cerita rakyat. Misalnya, pengembangannya masuk ke industri kreatif dan pariwisata.
Sejarawan Mukhlis Paeni menjelaskan, penyampaian tradisi lisan berulang- ulang dan tidak boleh berhenti. Apabila berhenti, revitalisasi tradisi lisan akan bermasalah baik pada karya maupun pewaris dan komunitas budayanya.
Menurut dia, kondisi beberapa di antara tradisi lisan yang tercatat kini bermasalah. Mukhlis mengibaratkan seperti penderita stroke. Artinya, tradisi lisan tertentu kini tidak lagi dikenal. Generasi masyarakat tidak lagi mau meneruskan.
Di samping itu, dia menyadari masyarakat Indonesia sudah bertahun-tahun menerima hegemoni pendapat bahwa sesuatu yang tidak memiliki catatan dokumen tertulis berarti tidak ada dalam sejarah. Berdasarkan hegemoni itu, sumber lisan ataupun tradisi lisan ”keluar” dari sejarah Indonesia. Dua terbitan, yakni buku Sejarah Indonesia terbitan resmi negara tahun 1975 dan buku Indonesia Dalam Arus Sejarah tahun 2012, tidak menyinggung tradisi lisan.
”Penulisan sejarah perlu menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu dan dimensi. Penulisan sejarah tidak lagi hanya terfokus pada peristiwa-peristiwa besar yang ada di atas permukaan,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pusat Pudentia MPSS menyampaikan, sebagai ekspresi masyarakat, tradisi lisan memuat aspek-aspek kehidupan sosial dan religi. Dalam perkembangannya, tradisi lisan bukan sekadar khazanah budaya yang dijadikan cerita nostalgia, melainkan juga peristiwa sosial budaya.
Sejak 1995, ATL menerbitkan jurnal berisi penelitian akademik tentang tradisi lisan. Penelitian memasukkan muatan sosial, religi, pendekatan sosiologis, dan antropologis.
Kemudian, bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, lahir program beasiswa bagi sekitar 187 mahasiswa. ATL juga menjadi mitra kementerian untuk menggelar bimbingan teknis bagi pengelola tradisi lisan.
Dia mengatakan, fenomena sosial budaya yang berkembang pesat mendorong perhatian pemajuan tradisi lisan menitikberatkan pendekatan komunitas. Tantangan terberatnya adalah ketidaksadaran masyarakat bahwa tradisi lisan itu ada dan menarik.
”Peneliti asing mau berbulan-bulan terjun ke pedalaman Indonesia meneliti tradisi lisan,” kata Pudentia.