Keterampilan lulusan pendidikan vokasional yang tidak relevan dengan kebutuhan industri bukan isu baru. Pemerintah berkali-kali menyuarakan pentingnya mendorong relevansi dan keselarasan itu.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diskursus pentingnya mendorong relevansi keterampilan yang dihasilkan pendidikan vokasional dengan industri sudah lama digaungkan. Namun, pendekatan kebijakan yang dihasilkan dianggap belum sampai menyentuh pada kesulitan penciptaan lapangan kerja yang dialami industri.
Rabu (15/7/2020), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) meluncurkan Forum Pengarah Vokasi (Rumah Vokasi) sebagai bagian dari program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pembentukan forum ini diharapkan dapat mendorong terjadinya relevansi (link and match) keterampilan berkelanjutan antara pendidikan vokasi dan dunia usaha/industri.
Pembentukan Rumah Vokasi diikuti dengan penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama antara Kemendikbud dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Himpunan Kawasan Industri (HKI).
Dalam peluncuran secara daring, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menjelaskan Rumah Vokasi akan menjadi jembatan tiap-tiap sektor industri dan unit pendidikan vokasi. Rumah Vokasi akan memberikan rekomendasi konkret dan membantu akselerasi gerakan dan program Pernikahan Massal pendidikan vokasi dengan dunia usaha/industri. Kemendikbud adalah pencetus gerakan dan program Pernikahan Massal.
Pernikahan Massal melalui Rumah Vokasi akan melaksanakan program penyelarasan lembaga pendidikan vokasi dengan dunia usaha/industri, antara lain kurikulum, proses pembelajaran, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan sertifikasi kompetensi.
Untuk mengukur keberhasilan program, menurut dia, akan ada indikator pengukuran. Misalnya, serapan lulusan pendidikan vokasi dan proses pembelajaran sesuai kebutuhan industri.
Nadiem menegaskan, bentuk kerja sama pendidikan vokasi dengan dunia usaha/industri bukan sebatas pelaku industri berskala besar. Pelaku industri kecil dan menengah (IKM) juga harus digandeng. Di sejumlah daerah tertentu, pelaku IKM lebih banyak secara jumlah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2019, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,01 persen, terendah dalam empat tahun terakhir. Sebelumnya, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,5 persen (2016), 5,33 persen (2017), dan 5,13 persen (2018).
Dilihat dari tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan, lulusan SMK yang menganggur mencapai 8,63 persen, sementara diploma 1/2/3 sejumlah 6,89 persen, dan SMA 6,78 persen (Kompas, 7/5/2020).
Lapangan kerja
Pada saat bersamaan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menceritakan, sejak 2017, Apindo bersama Kadin telah terlibat dalam program Pemagangan Nasional. Program ini diinisasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Program Pemagangan Nasional kala itu juga dilatarbelakangi oleh keinginan agar tercipta relevansi keterampilan/kompetensi lulusan dunia pendidikan dan dunia usaha/industri. Data BPS menyebutkan, jumlah tenaga kerja Indonesia pada Agustus 2016 mencapai 125,44 juta orang dari 189,10 juta penduduk Indonesia di usia kerja. Dari angka tersebut, 60,24 persen lulusan SD/SMP, 27,52 persen lulusan SMA/SMK, dan 12,24 persen lulusan diploma/universitas.
Berdasarkan data Apindo, Hariyadi menyebutkan, pada tahun 2017 terdapat sekitar 56.700 orang magang di 1.600 perusahaan. Pada 2018, jumlah peserta naik menjadi sekitar 120.000 orang magang di sekitar 1.900 perusahaan. Adapun tahun 2019, jumlah peserta naik menjadi sekitar 180.000 orang dan magang di sekitar 2.325 perusahaan. Total mentor dari perusahaan yang membimbing magang mencapai sekitar 973 orang.
Permasalahan sekarang juga bukan terletak pada teknis vokasinya karena teknis bisa dipelajari. Persoalannya justru pada penciptaan lapangan kerja. (Hariyadi B Sukamdani)
”Dengan demikian, keterlibatan Apindo dan Kadin di isu ini bukanlah sesuatu yang baru. Permasalahan sekarang juga bukan terletak pada teknis vokasinya karena teknis bisa dipelajari. Persoalannya justru pada penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
Menurut dia, dari hasil program Pemagangan Nasional, tingkat peserta terserap ke dunia usaha/industri masih rendah. Hariyadi berharap Kemendibud ikut menyuarakan persoalan kesulitan penciptaan lapangan kerja.
Kompleks
Pendiri Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia, Marlock, saat dihubungi terpisah, berpendapat, mutu lulusan ditentukan oleh softskill, hardskill, dan innerskill. Ketiga keterampilan ini berjalan bersamaan.
Sebagai gambaran, lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) bisa diterima bekerja di perusahaan harus memenuhi persyaratan pengetahuan dan keterampilan teknis di bidangnya (hardskill), keterampilan berhubungan dengan seseorang dan mengatur dirinya (softskill), dan innerskill. Innerskill bisa berupa daya tahan dan kesehatan fisik.
”Jadi, letak permasalahan belum relevansi suplai-permintaan keterampilan/kompetensi tenaga kerja antara dunia pendidikan dan industri bukan semata-mata di kurikulum,” ujarnya.
Marlock setuju dengan pandangan Hariyadi bahwa ada permasalahan penciptaan lapangan kerja. Dalam konteks SMK, misalnya, saat ini, keberadaan SMK sudah sampai hadir di tingkat desa/kelurahan. Lulusannya melimpah. Namun, pembangunan usaha/industri tidak sampai ke desa. Akibatnya, lulusan yang melimpah itu tidak terserap.
Sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan itu, dia berpendapat pentingnya lulusan SMK membangun desanya. Misalnya, seorang lulusan berwirausaha bengkel yang mampu menyerap lulusan-lulusan lainnya. ”Hal seperti itu sejalan dengan semangat membangun dari desa,” katanya.
Terkait gagasan gerakan ”pernikahan massal” industri-dunia pendidikan vokasi, Marlock mengingatkan baik industri maupun dunia pendidikan vokasi harus sama-sama memperbaiki ke dalam. Ini sama dengan pernikahan pada umumnya yang menuntut tiap-tiap pihak mempersiapkan diri, termasuk integritas kepribadian. Maka, dunia pendidikan vokasi khususnya juga harus berbenah dimulai dari administrasi.
Artinya, memajukan pendidikan vokasi, terutama jenjang pendidikan SMK, harus menggandeng pemerintah daerah.
”SMK berada di daerah dan SMK negeri di bawah pemerintah provinsi. Ini harus dipahami pemerintah pusat. Artinya, memajukan pendidikan vokasi, terutama jenjang pendidikan SMK, harus menggandeng pemerintah daerah,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wahid Wahyudi, dalam sesi webinar ”Pendidikan Berkeadilan: Isu-isu Aktual dan Tanggung Jawab Etik Negara”, memandang memang penting mendorong relevansi kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Namun, saat ini, banyak lulusan SMK berwirausaha sehingga tetap berdaya.
”Ada lulusan SMK menawarkan jasa perias wajah dan perbaikan peralatan penyejuk ruangan secara panggilan. Kualitas jasa mereka bagus sehingga banyak permintaan. Pendapatan mereka tak kalah dengan lulusan bekerja di institusi,” katanya mencontohkan realitas yang terjadi di daerahnya.