Warga Jakarta Keluhkan Keterbatasan Pembelajaran Jarak Jauh
Sejumlah keterbatasan dalam pembelajaran jarak jauh terus menyelimuti warga Jakarta. Masalah keterbatasan koneksi internet dan kepemilikan gawai, misalnya, dicemaskan menjadi penyebab pengeluaran membengkak.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan pembelajaran jarak jauh turut dirasakan warga Jakarta selama pandemi Covid-19. Sejumlah keterbatasan meliputi akses internet, kepemilikan gawai, serta sulitnya menjaga suasana hati anak saat belajar menjadi keluhan para orangtua di rumah.
Keterbatasan tersebut dialami Ery (44) di Jelambar, Jakarta Barat. Ibu dua anak ini kewalahan mengurus keperluan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk Naura (8), anak bungsunya. Demi menjalani PJJ yang efektif, Ery mempelajari metode pembelajaran dan pengiriman tugas secara daring lewat layanan Google Classroom.
Ery yang mendampingi Naura selama tiga hari mengeluhkan borosnya kuota internet. Untuk keperluan memutar video, telekonferensi, unduh gambar, dan pengiriman tugas, Ery kehabisan kuota internet sampai 5 gigabita. Padahal, konsumsi internet per bulan biasanya tidak lebih dari 3 gigabita.
”Banyak banget keterbatasan, tetapi yang paling terasa itu kuota internet. Kebetulan keluarga kami enggak pasang jaringan internet di rumah, jadi bergantung pada kuota internet ponsel. Pemakaian tiga hari ini saja langsung tekor,” ujar Ery saat ditemui, Rabu (15/7/2020).
Naura yang terbiasa belajar di sekolah juga menjadi malas saat di rumah. Saat kondisi seperti itu, Ery pun kesulitan mengingatkan anaknya untuk menyelesaikan tugas. ”Kadang Naura enggak mood untuk belajar, padahal tugasnya harus beres dalam waktu setengah jam,” jelas Ery yang suaminya bekerja sebagai pekerja penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU).
Kondisi serupa dialami Uum (32), warga RW 015 Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara. Fokusnya di rumah saat ini adalah mendampingi Alia (10) selama PJJ. Menurut Uum, PJJ menjadi pengalaman sulit karena dirinya harus meminjamkan gawai untuk anak belajar.
Proses PJJ yang dijalani Alia juga beriringan dengan kakaknya yang kelas VI SD. Alhasil, kakak Alia dipinjamkan ponsel dari kakaknya selama PJJ. ”Selain masalah kuota internet, PJJ juga jadi masalah kalau enggak punya hape banyak,” ucap Uum.
Nursyam Triatnani (44), warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sulit mengatasi suasana hati anak saat PJJ. Dia mengakui, keadaan PJJ tidak memberi perasaan kalau anak merasa seperti belajar formal. Sebab, tidak ada guru yang disegani, tidak ada bangku sekolah, serta tidak ada teman-teman sekelas. ”Susah sekali dampingi Airin agar serius kalau sedang PJJ. Kami sebagai orangtua pun harus bersikap tegas agar anak mau belajar,” jelasnya.
Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengingatkan penerapan PJJ harus seimbang dari sisi interaksi. ”Jangan sampai program-program semacam PJJ ini hanya memudahkan mereka yang berakses internet. Mereka tentu lebih mudah beradaptasi karena mempunyai perangkat dan teknologinya, sementara yang punya keterbatasan akses itu kurang diperhatikan,” ujarnya.
Akses kepemilikan gawai dan laptop serta akses internet selama ini diakui sebagai kendala pembelajaran daring. Hal itu terutama dialami siswa dari daerah terbelakang, terdepan, dan terluar (3T) serta siswa dari keluarga miskin. Ironisnya, sebagian sudut kota Jakarta yang masih lebih terjangkau juga terkendala dalam melaksanakan PJJ.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2020, 40.779 atau sekitar 18 persen sekolah dasar dan menengah tidak ada akses internet dan 7.552 atau sekitar 3 persen sekolah belum terpasang listrik. Akses peserta didik terhadap pembelajaran daring di rumah dapat lebih rendah lagi karena kendala kepemilikan gawai/laptop dan kuota internet.
Cara-cara lain, seperti kunjungan guru dan antar jemput tugas, bisa digunakan dengan mempertimbangkan situasi setempat. Menurut Anggi, kebijakan semacam ini harus didorong agar lebih mendukung kemudahan siswa.
Anggi menambahkan, harus ada evaluasi komprehensif untuk PJJ ke depan. Tujuannya agar PJJ bisa semakin dibenahi. ”Saya melihat evaluasi menyeluruh terkait pembelajaran jarak jauh yang telah dilakukan selama ini relatif tidak ada,” ujarnya.
Sandi Budi Irawan, dosen Fakultas Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), juga mengingatkan perihal menjaga kedekatan guru dan siswa sangat penting dalam pelaksanaan PJJ. Bagaimanapun, fungsi guru tidak bisa digantikan oleh teknologi.
”Jangan sampai karena tidak bisa PJJ, siswa dibiarkan menonton program pendidikan di televisi tanpa ada interaksi. Pembelajaran akan kehilangan makna, tujuan pendidikan akan gagal. Siswa hanya diajak memahami konsep atau materi belajar yang formal universal, tanpa dihargai dia sebagai manusia yang subyektif,” ungkapnya.