Membiarkan sekolah mengatasi kendala dalam pembelajaran jarak jauh tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan di masa pandemi ini. Strategi baru diperlukan, terutama untuk menjangkau siswa yang termarjinalkan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk menjaga keberlanjutan pendidikan di masa pandemi Covid-19 belum mampu mengatasi kendala dalam pembelajaran jarak jauh. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, harus lebih aktif melakukan strategi baru untuk pembelajaran pada masa pandemi ini.
Fleksibilitas dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk subsidi biaya paket internet bagi guru dan siswa hanya bisa menyasar guru dan siswa yang memiliki akses gawai/komputer serta di daerahnya ada jaringan internet. Itu pun pelaksanaannya berbeda-beda di daerah dan bergantung pada kebijakan sekolah.
Sementara itu, siswa yang tidak memiliki akses gawai/komputer dan internet tetap tak tersentuh bantuan. Pembelajaran jarak jauh secara luring juga bergantung pada kapasitas guru dan akses infrastruktur daerah. Hal ini membuat para siswa tersebut semakin tertinggal dalam pembelajaran jarak jauh yang masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan.
Pembelajaran jarak jauh tidak harus mengandalkan teknologi. Misalnya, ada guru-guru yang menggunakan jejaring Whatsapp, antar jemput tugas (siswa), juga guru kunjung meski ada keterbatasan.
”Pembelajaran jarak jauh tidak harus mengandalkan teknologi. Misalnya, ada guru-guru yang menggunakan jejaring Whatsapp, antar jemput tugas (siswa), juga guru kunjung meski ada keterbatasan. Ini harus didorong secara struktural melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada seluruh siswa, terutama siswa yang miskin,” kata Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa (14/7/2020).
Pemerintah, kata Anggi, tidak bisa hanya mengandalkan kemandirian guru dan sekolah untuk berinovasi menciptakan berbagai solusi praktis pembelajaran di masa pandemi. Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, harus mempunyai solusi praktis untuk membangun situasi pembelajaran yang lebih adaptif, yang lebih memampukan peserta didik untuk lebih bisa memanfaatkan berbagai media pembelajaran di sekitarnya, termasuk kemampuan para guru.
”Jangan sampai program-program yang dilakukan pemerintah, misalnya melalui webinar, hanya lebih memudahkan mereka yang berakses internet. Mereka tentu lebih mudah untuk mengadaptasi situasi baru karena mempunyai perangkatnya, yaitu TIK (teknologi informasi dan komunikasi). Sementara mereka yang jauh dari TIK, karena keterbatasan akses itu, kurang diperhatikan,” kata Anggi.
Dia mengatakan, harus ada evaluasi menyeluruh pelaksanaan pembelajaran jarak jauh untuk mengetahui dan membenahi kekurangan pembelajaran jarak jauh. ”Saya melihat, evaluasi menyeluruh terkait pembelajaran jarak jauh yang telah dilakukan selama ini relatif tidak ada,” ujarnya.
Dana BOS
Terkait penggunaan dana BOS untuk memperlancar pembelajaran jarak jauh, pelaksanaannya berbeda-beda. Eka Ilham, guru SMKN 1 Palibelo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan di sekolahnya. Sebagian besar siswa tidak memiliki telepon pintar dan kualitas koneksi internet di daerahnya sangat buruk. Di sejumlah wilayah bahkan tidak ada.
Akhirnya, dana BOS untuk kuota internet kami belikan bahan makanan pokok dan dibagikan kepada anak-anak (siswa).
”Akhirnya, dana BOS untuk kuota internet kami belikan bahan makanan pokok dan dibagikan kepada anak-anak (siswa),” kata Eka. Dia mengatakan, pembelajaran luring pun tidak bisa optimal karena tempat tinggal siswa berjauhan dan banyak yang berada di wilayah pegunungan dengan akses transportasi yang sulit.
Guru pun belum tentu mendapatkan bantuan dana untuk membeli kuota internet dari dana BOS. Salah satunya adalah Sri Haryati, guru honorer di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. ”Banyak guru honorer lainnya yang juga tidak mendapatkan bantuan dana BOS untuk beli kuota internet. Ya, mau tidak mau biaya sendiri. Kalau biasanya saya hanya butuh Rp 65.000 per bulan, sekarang bisa Rp 130.000 per bulan, itu pun hanya untuk Whatsapp,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, kebijakan fleksibilitas dana BOS tidak mengatasi persoalan siswa yang terkendala akses gawai/komputer/laptop dan akses internet. Pemberian atau peminjaman gawai dan penyediaan akses internet seharusnya bisa menjadi solusi untuk mengatasi kendala pembelajaran jarak jauh.
”Inisiatif pemda untuk memberikan bantuan kepada siswa yang tidak mempunyai gawai sangat diperlukan. Sedangkan pemerintah pusat bisa menggandeng perusahaan penyedia layanan internet untuk menambah jaringan internet di daerah-daerah yang belum ada akses internet,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat ini terdapat 29.000 desa yang belum ada fasilitas jaringan internet, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). ”Mudah-mudahan tahun 2021 akselerasi (untuk transformasi digital) bisa segera dilakukan,” kata Menteri Kominfo Johnny G Plate, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tanpa ada upaya lebih dari pemerintah, kata Satriwan, ke depan kesenjangan pendidikan akan semakin terlihat. Karena itu, bias kelas dalam pembelajaran jarak jauh ini harus diperpendek dengan intervensi negara.
Anggi mengatakan, tanpa ada langkah pemerintah untuk membantu para siswa yang terkendala akses gawai/komputer dan internet, sama halnya membiarkan mereka tetap tertinggal. ”Kalau bicara peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti yang dijanjikan pemerintah, janji ini tidak akan terpenuhi,” katanya.