Wabah Covid-19 akibat SARS-CoV-2 yang belum mereda telah menghilangkan keceriaan peserta didik menikmati hari pertama bersekolah, Senin (13/7/2020).
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wabah Covid-19 akibat virus korona jenis baru yang belum reda telah menghilangkan keceriaan peserta didik menikmati hari pertama bersekolah, Senin (13/7/2020). Metode pembelajaran jarak jauh tidak bisa menghadirkan kegembiraan dan antusiasme mereka.
Di Surabaya, Jawa Timur, pemerintah belum mengizinkan kegiatan layanan orientasi siswa (LOS), masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), dan belajar mengajar dengan tatap muka. Seluruh kegiatan mesti dilakukan secara dalam jaringan (online). Para guru ke sekolah untuk memberikan materi, sedangkan peserta didik mengikuti dari rumah dengan sabak, gawai, atau laptop.
Kondisi tadi disebabkan masih tingginya penularan Covid-19. Sampai Senin, dengan 7.209 warga positif atau 43,2 persen dari 16.658 warga positif se-Jatim, Surabaya masih menjadi episentrum atau lokasi terparah paparan wabah Covid-19. Situasi ini memaksa pemerintah daerah melarang aktivitas massal di sekolah demi melindungi peserta didik dari ancaman penularan.
Siswa memahami bahwa ancaman penularan Covid-19 yang mematikan masih tinggi. Mereka juga mau menerima kenyataan sejak pertengahan pertengahan Maret 2020 tidak bersekolah, tidak bertemu dengan teman dan guru, dan terutama tidak menikmati segala kegembiraan aktivitas kebersamaan di sekolah.
”Ada yang hilang,” ujar Candrakumara, siswa kelas VIII SMP Negeri 21 Surabaya.
Setahun lalu, saat pertama kali masuk SMP, Candrakumara merasa gembira karena masa LOS dihiasi dengan daya tarik. Mereka diperkenalkan dengan berbagai jenis ekstrakurikuler, berkenalan dengan teman baru dan para guru, bermain, serta banyak perasaan positif tak tergambarkan selama berada di sekolah.
Wakil Kepala SMP Negeri 21 Surabaya Sapta Meiningsih mengatakan, LOS di sekolah tidak bisa digantikan dengan metode pembelajaran jarak jauh. Namun, para guru berharap semua siswa tetap semangat nantinya untuk mengikuti pembelajaran meski sementara waktu harus dari rumah dengan perangkat telekomunikasi.
Di Surabaya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat lebih dari 511.000 peserta didik usia dini sampai tingkat SMA. Jumlah ini setara 6 persen dari 8,31 juta peserta didik se-Jatim untuk jenjang yang sama.
”Karena penularan wabah Covid-19 masih tinggi, kegiatan tatap muka belum bisa diadakan,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Supomo.
Kepala Dinas Pendidikan Jatim Wahid Wahyudi mengatakan, MPLS dilaksanakan selama tiga hari dan boleh ditambah dua hari untuk persiapan pembelajaran selama masa wabah Covid-19. Khusus untuk SMA bisa diadakan sesi kunjungan khusus untuk siswa kelas 10, tetapi jumlahnya dibatasi dan atau dilaksanakan bergantian.
”Jika ada kunjungan harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat,” ujar Wahid.
Ketua Dewan Pendidikan Jatim Akhmad Muzakki berpendapat banyak kekurangan dari pelaksanaan hari pertama sekolah terutama secara daring menandakan kegagapan pemerintah dalam persiapan. Kompleksitas masalah pendidikan di masa wabah tidak terantisipasi. Metode pembelajaran jarak jauh tidak bisa diterapkan di wilayah dengan sinyal telekomunikasi byarpet, tidak ada listrik, dan atau pada kelompok masyarakat miskin yang mustahil membeli gawai.
”Untuk wilayah yang jauh dari jangkauan telekomunikasi, mau tidak mau harus menggerakkan guru,” kata Muzakki, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
Muzakki mengatakan, belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan Program Guru Penggerak. Program inilah yang semestinya dimaksimalkan untuk menjangkau pendidikan di daerah-daerah ”sulit”. Guru penggerak yang diharapkan menjadi pelita harus benar-benar mampu mengatasi permasalahan keterbatasan sehingga seluruh anak-anak, terutama di daerah terpencil dan sulit terjangkau, tetap mendapatkan pendidikan yang baik.
”Pemerintah bisa mengintervensi dengan memberikan stimulus sebagai penyemangat,” ujar Muzakki.