Pencapaian Pendidikan Vokasional Perlu Kejelasan Indikator Pengukuran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mengeluarkan indikator kinerja utama pendidikan tinggi vokasi. Wacana ini diharapkan bisa terlaksana sehingga memudahkan pengukuran pencapaian pendidikan vokasional.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana membuat indikator kinerja utama bagi pendidikan tinggi vokasi. Adanya indikator kinerja utama dianggap bisa mendorong pengelola perguruan tinggi dan industri serius membesarkan vokasional nasional.
”Lulusan perguruan tinggi vokasi, misalnya, harus bisa terserap sampai 80 persen di dunia usaha/dunia industri. Kalau tidak mampu menyerap sampai target itu, artinya pengelola perguruan tinggi dan industri harus duduk bersama lagi mencari permasalahan dan solusi,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wikan Sakarinto di sela-sela peluncuran Program Sertifikasi Kompetensi Sumber Daya Manusia dan Mahasiswa Pendidikan Tinggi Vokasi, Kamis (9/7/2020), di Jakarta.
Dia menjelaskan, ide membuat indikator kinerja utama (IKU) datang dari Mendikbud Nadiem Anwar Makarim. IKU dianggap mampu mengukur sejauh mana sepak terjang kontribusi vokasional nasional, terutama dari pendidikan tinggi vokasi.
Contoh lain bentuk IKU adalah keaktifan dosen. Wikan mengatakan, dosen pendidikan tinggi vokasi harus aktif berjejaring ke luar, seperti turut menjadi profesional. Jadi, sertifikasi kompetensi dosen bersangkutan akan nyata terlihat.
IKU dosen yang naik pangkat turut dia sentil. Menurut rencana, IKU dosen pendidikan tinggi vokasi diharapkan tidak melulu fokus riset untuk publikasi, tetapi riset yang hasilnya bisa diterapkan di masyarakat. ”Riset terapan kini amat dibutuhkan masyarakat,” kata Wikan.
Mengenai gerakan ”pernikahan massal” pendidikan tinggi vokasi dan industri, dia menyampaikan, sekitar 50 persen program studi pendidikan tinggi di Indonesia harus ”menikah” dengan dunia usaha/dunia industri pada akhir 2021.
Gerakan ”pernikahan massal” memiliki delapan paket. Sebagai contoh, paket pertama adalah penyusunan kurikulum antara perguruan tinggi vokasi dan industri. Materi pelatihan dan sertifikasi di industri masuk resmi di kurikulum kampus. Paket kedua, dosen tamu dari industri mengajar di kampus. Paket ketiga, program magang terstruktur dan dikelola dengan baik.
”IKU-nya yaitu program studi bisa menerapkan lima dari delapan paket gerakan ’pernikahan massal’ yang sudah ada,” tutur Wikan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, saat ini jumlah perguruan tinggi vokasi mencapai sekitar 79 institusi, sedangkan jumlah mahasiswa 721.288 orang.
Direktur Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi Kemendikbud Benny Bandanadjaya menyampaikan, pihaknya akan kembali menyelenggarakan program bantuan pelatihan sertifikasi kompetensi dan sertifikasi profesi bagi mahasiswa vokasi. Bantuan ini menyasar ke politeknik/perguruan tinggi vokasi yang telah memiliki lembaga sertifikasi kompetensi ataupun lembaga sertifikasi profesi berlisensi dan bekerja sama dengan industri ataupun asosiasi profesi.
Ada penghargaan
Direktur Program Vokasi Universitas Indonesia (UI) Sigit Pranowo Hadiwardoyo, saat dihubungi terpisah, berpendapat, IKU untuk pendidikan tinggi vokasi diperlukan. Rumusan bentuk indikator dan jumlah target yang ingin dicapai dalam IKU harus jelas.
”IKU penting agar perguruan tinggi pengelola vokasi punya sasaran strategis dalam mengelola pendidikan. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang hanya asal mengelola tanpa target-target yang ingin dicapai,” ujarnya.
Selain kebijakan pemberlakuan IKU, dia memandang, pemerintah semestinya turut mengembangkan penghargaan bagi perguruan tinggi vokasi yang berprestasi. Capaian IKU bisa diukur dari delta capaian sehingga perguruan tinggi yang masih berskala kecil pun bisa menerima penghargaan jika bisa memenuhi delta yang besar.
Bentuk penghargaan bisa berupa penambahan peralatan laboratorium dan bantuan peningkatan kompetensi dosen dengan kegiatan sertifikasi nasional ataupun internasional. Jadi, wujud penghargaannya bukan uang, melainkan barang dan fasilitas.
Menurut Sigit, tantangan paling berat mengembangkan pendidikan tinggi vokasi adalah mencetak tenaga terampil agar bisa bersaing di pasar. Tenaga terampil dari luar negeri memiliki keunggulan yang kurang dimiliki oleh pekerja dalam negeri, seperti piawai berkomunikasi dan disiplin saat kerja kelompok.
Ditambah lagi, kata dia, baru sebagian kecil pelaku industri dan penyelenggara pendidikan tinggi memahami pentingnya membangun kompetensi generasi muda secara bersama-sama. Masih banyak pula pelaku industri yang beranggapan mencetak tenaga terampil sepenuhnya dilakukan perguruan tinggi dan biaya pendidikan vokasi jauh lebih mahal dibandingkan dengan akademik.
”Kami rasa, kolaborasi industri dengan pendidikan tinggi vokasi itu keniscayaan. Kalau tidak ada kolaborasi, materi-materi di perguruan tinggi akan menjadi kedaluwarsa,” ucap Sigit.
Dekan Sekolah Vokasi IPB University Arief Daryanto berpendapat, tingginya penyerapan lulusan pendidikan vokasi dapat menjadi salah satu indikator daya saing lulusan pendidikan vokasi di dunia usaha-dunia industri. Sejauh ini indikator penyerapan lulusan pendidikan vokasi masih dianggap belum memuaskan.
Oleh karena itu, IKU tersebut perlu ditetapkan sehingga lulusan pendidikan vokasi benar-benar dapat diserap dunia usaha/dunia industri dan tidak menjadi penganggur terbuka.
Berdasarkan data BPS pada Februari 2019, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,01 persen, terendah dalam empat tahun terakhir. Sebelumnya, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,5 persen (2016), 5,33 persen (2017), dan 5,13 persen (2018).
Dilihat dari tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan, lulusan SMK yang menganggur mencapai 8,63 persen, sementara diploma I/II/III 6,89 persen, dan SMA 6,78 persen (Kompas, 7/5/2020).
”Jika lulusan tidak terserap pasar, apakah sepenuhnya lembaga pendidikan disalahkan karena tidak adanya link and match?” tanyanya.
Arief menambahkan, keberhasilan pendidikan vokasi di Indonesia memerlukan komitmen lembaga pendidikan, pemerintah, dan industri. Jika analoginya adalah ”pernikahan”, semua pihak tersebut harus komitmen memajukan bersama.