Pembukaan Kembali Bioskop Butuh Persiapan Matang
Pembukaan kembali bioskop yang direncanakan oleh Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia pada 29 Juli 2020 memerlukan persiapan matang. Para pengelola tidak boleh lengah menerapkan protokol kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan kembali bioskop memerlukan persiapan matang. Bentuk tata kelola bioskop yang berbeda-beda menjadi tantangan utama.
Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) yang mewakili pengusaha bioskop Cinema XXI, CGV, Cinepolis, Dakota Cinema, Platinum, dan New Star Cineplex sepakat seluruh pengusaha bioskop membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu untuk mempersiapkan implementasi penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sesuai arahan pemerintah.
Protokol kesehatan yang dimaksud terdiri dua. Pertama, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Kedua, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 02/KB/2020 tentang Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bidang Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif dalam Masa Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Dengan perkiraan persiapan sekitar dua hingga tiga minggu, kegiatan pengoperasian kembali bioskop direncanakan berlangsung Rabu, 29 Juli 2020.
Ketua Dewan Pengurus Pusat GPBSI Djonny Syafruddin saat dihubungi, Rabu (8/7/2020), di Jakarta, mengatakan, pihaknya akan bertemu dengan jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 10 juli 2020. Pertemuan akan membahas panduan teknis protokol kesehatan.
Pemilihan 29 Juli 2020 tersebut menjadi acuan bagi semua bioskop, tak terkecuali bioskop independen, untuk mempersiapkan protokol kesehatan sesuai panduan teknis. Setiap pengelola bioskop juga harus memperhatikan arahan pemerintah daerah.
Sebagai contoh, DKI Jakarta masih memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sampai 16 Juli 2020. Apabila status PSBB diperpanjang lagi, bioskop di DKI Jakarta tidak akan dibuka.
Sementara itu, bagi daerah lain yang sudah tidak lagi menerapkan PSBB, pengelola bioskop di daerah bersangkutan boleh membuka bioskop terlebih dulu. Sebelum beroperasi, pengelola bioskop diimbau berkoordinasi terlebih dulu dengan GPBSI.
”Kami harap, pada 29 Juli 2020, sekitar 60-70 persen dari total bioskop di Indonesia sudah bisa buka kembali. Tentunya, pemilihan tanggal pasti bioskop buka tergantung daerah di mana bioskop berdiri,” ujarnya.
Djonny menyampaikan, penerapan protokol kesehatan di bioskop dimulai dari penonton mulai masuk ke gedung, di tempat pelayanan jual beli tiket, lobi tunggu, hingga memasuki studio, dan kemudian menonton film.
Untuk mencegah potensi penularan Covid-19, kerumunan orang di lobi tunggu akan ditekan. Selain itu, jumlah orang yang menonton dalam ruangan juga akan diatur, termasuk apabila penonton datang bersama keluarga.
Manajemen bioskop berbeda-beda tergantung siapa pengelola. Ini akan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ada pula bioskop independen. Hal ini berhubungan dengan pengaturan ruangan dan layar yang akan difungsikan kembali ketika bioskop dibuka serta persiapan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk protokol kesehatan.
Karena pembukaan kembali bioskop tergantung daerah, ini akan menjadi tantangan dalam manajemen film, seperti urusan pendistribusian, penayangan, dan promosi. Untuk film Indonesia, Djonny mendorong pengelola bioskop berkomunikasi dengan rumah-rumah produksi. ”Buka tutup bioskop akan membutuhkan ongkos tinggi,” katanya.
Tertib jalankan protokol
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir saat dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya menyambut positif bioskop bisa kembali dibuka. Kabar itu sudah ditunggu oleh penonton agar bisa kembali menonton film Indonesia. ”Agar bioskop dapat terus beroperasi, warga harus tertib menjalankan protokol kesehatan,” ujarnya.
Edwin menceritakan, beberapa produser sekarang telah bersiap untuk kembali shooting film dengan memakai acuan protokol kesehatan di SKB tentang Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bidang Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif. Beberapa produksi lain yang harus menyesuaikan konsep atau menunda sementara. Misalnya, film kolosal yang melibatkan sangat banyak pemain dan kru.
”Di beberapa produksi terdapat posisi baru yang bertugas memastikan protokol kesehatan dijalankan. Semua kru dan pemain menaruh perhatian terhadap Covid-19 sehingga ada semangat saling menjaga selama proses produksi,” paparnya.
Edwin menekankan, jika sesuai protokol kesehatan, sebelum produksi film dimulai, semua tim harus dites kesehatan yang hasilnya harus negatif Covid-19. Lalu, ada fase menjalani karantina. Proses shooting biasanya akan berlangsung minimal selama 16 hari.
Bentuk karantina bisa dilakukan di penginapan atau hotel. Intinya adalah menjaga agar kru yang sudah tes dan hasilnya negatif Covid-19 tidak bertemu orang luar sampai proses shooting. Hal seperti ini menimbulkan bentuk ongkos baru. Tanpa karantina pun, biaya tes Covid-19 dan penyediaan sarana pendukung protokol kesehatan juga berdampak ke beban produksi.
Dia mengakui, upaya itu tidak akan mudah dilakukan, terutama film aksi. Oleh karena itu, ada pelaku rumah produksi memilih menunda sementara produksi.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif R Kurleni Ukar menekankan, penentuan kembali beraktivitas di ruang publik memperhatikan tingkat risiko wilayah dan kemampuan daerah dalam mengendalikan Covid-19. Pemerintah daerah sesuai kewenangannya bisa menindaklanjuti.
Dia mengatakan, di sektor pariwisata terdapat sekitar 62 jenis usaha yang perlu dibuatkan pedoman teknis turunan dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Sementara di sektor ekonomi kreatif terdapat sekitar 17 subsektor yang juga memerlukan pedoman protokol kesehatan.
Menurut Kurleni, setiap jenis usaha pariwisata ataupun subsektor ekonomi kreatif akan dibuatkan buku pegangan tentang pedoman teknis protokol kesehatan. Untuk jenis usaha pariwisata, khususnya, kementerian mengelompokkan menjadi 12 kategori. Sebagai contoh, kategori hotel, penginapan, rumah singgah, asrama, dan sejenisnya.
Dia mengemukakan, pariwisata dan ekonomi kreatif merupakan bisnis yang tergantung kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, ketika kepala daerah membuka pembatasan sosial berskala besar dan aktivitas di ruang publik diperbolehkan, protokol kesehatan harus benar-benar tertib dijalankan.
”Saya pernah menemukan di salah satu tempat usaha pariwisata. Seminggu pertama protokol kesehatan tertib dijalankan, tetapi seminggu kemudian, protokol tak lagi diterapkan,” ujarnya.
Kurleni menyadari, di negara lain, penerapan protokol kesehatan secara ketat untuk normal baru dilakukan setelah kurva jumlah kasus Covid-19 melandai. Namun, di Indonesia kejadiannya justru terbalik.
Baca juga : Zona Hijau dan Kuning Boleh Buka Pariwisata
Karena itu dia berharap, pelonggaran aktivitas ekonomi di ruang publik jangan sampai membuat pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif lengah menerapkan protokol kesehatan.