Akademi Siap Dukung DPR untuk Wujudkan Undang-undang
Sejumlah akademisi menyatakan diri siap membantu DPR untuk menyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mereka pun meminta DPR memasukkan kembali perundangan tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2020.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para akademisi menyatakan kesiapannya untuk mendukung dan membantu DPR dalam menyusun serta mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Lembaga legislatif diminta untuk membawa kembali rancangan perundangan tersebut dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020.
Kalangan kampus ini akan berpartisipasi aktif sesuai kepakaran masing-masing untuk membantu DPR. Mereka akan berperan dalam penguraian konsep-konsep RUU yang masih menjadi perdebatan dan menemukan solusi.
Kami juga siap meliterasi publik.
”Kami akademisi siap duduk bersama dengan DPR, membahas dan menguraikan kesulitan-kesulitan teknis yang terkait konsep-konsep yang rumit yang katanya tidak bisa dijelaskan, misalnya soal pelecehan atau pemerkosaan, dan lain sebagainya. Kami juga siap meliterasi publik,” ujar Arianti Ina Restuani Hunga, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (7/7/2020).
Ia dan sejumlah akademisi saat ini menggalang dukungan para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia, terutama dari pusat studi kajian jender/perempuan/anak, untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020. Dukungan tersebut akan diwujudkan dalam bentuk surat kepada Ketua DPR Puan Maharani dan Presiden Joko Widodo.
Sejak Senin (6/7/2020), gerakan akademisi guna menggalang dukungan untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah beredar di berbagai media sosial dengan mengusung tagar #AksiAkademisiHapusKS. Penggalangan dukungan dengan cara mengisi Google Form akan ditutup Rabu (8/7/2020) pukul 23.59 WIB.
”Kami menargetkan seribu dukungan tanda tangan dari para akademisi. Sampai saat ini dukungan sudah mencapai sekitar 950 tanda tangan,” ujar Arianti.
Dukungan Akademisi Indonesia untuk Penghapusan Kekerasan Seksual #AksiAkademisiHapusKS merupakan bentuk kepedulian perguruan tinggi terhadap persoalan kekerasan seksual sebagai bagian Tri Darma pendidikan tinggi. Gerakan tersebut sekaligus sikap para akademisi yang menolak dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas DPR 2020.
Selain melindungi korban, kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual juga akan memberikan payung hukum yang jelas bagi penanganan kasus kekerasan seksual dan memberikan efek jera bagi pelaku. Dampak penting lain yaitu menguatkan upaya pencegahan agar tidak terjadi lagi kasus traumatis serupa.
Pinky Saptandari, pengamat isu perempuan dan pengajar Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya, menegaskan, para akademisi menggalang dukungan karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah mendesak, menyusul kasus kekerasan seksual yang terus meningkat. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang dilakukan DA (49), petugas di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lampung Timur, Provinsi Lampung, terhadap NV (13).
Bagi kami sulit bukan berarti tidak bisa diselesaikan, sulit juga bukan alasan untuk menggantikan urgensinya.
”Kita sudah berharap saat masuk Prolegnas Prioritas 2020, tapi tiba-tiba di-drop. Nah, kelanjutannya kapan, apakah tahun depan atau kapan, tidak ada kepastian. Argumetasi DPR, cuma kata sulit. Bagi kami, sulit bukan berarti tidak bisa diselesaikan, sulit juga bukan alasan untuk menggantikan urgensinya,” ujar Pinky.
Selama ini, proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai tidak ada kemajuan karena RUU tersebut digiring dengan narasi-narasi negatif. Misalnya, RUU tersebut akan mengganggu hubungan suami-istri atau mengkriminalkan suami.
”Kenapa akademisi sekarang turun, karena kita harus membuat narasi-narasi positif semakin banyak sehingga masyarakat luas mengetahui urgensi dari RUU tersebut,” ujar Pinky.
Selain dari akademisi, desakan kepada DPR untuk mengembalikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam daftar prioritas juga terus disuarakan organisasi masyarakat sipil. Mulai Selasa petang, puluhan aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi di depan pintu utama Gedung MPR/DPR/DPD di Jalan Gatot Subroto.
Kecaman atas kekerasan seksual di Lampung Timur
Sementara itu, kecaman terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan DA, petugas di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lampung Timur, Provinsi Lampung, terhadap NV (13) terus mengalir.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati bahkan bersuara keras dan menyesalkan kasus tersebut. Selain meminta DA dinonaktifkan dari P2TP2A, Bintang pun meminta pihak aparat kepolisan setempat segera mengusut tuntas dan menindak tegas pelaku sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
”Aparat penegak hukum agar tidak segan-segan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak,” ujar Menteri Darmawati.
Menurut dia, pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 (Perppu Kebiri).
Sementara itu, pemerintah juga didesak segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem layanan di P2TP2A atau layanan teknis sejumlah daerah. Peristiwa di Lampung Timur seharusnya menjadi cambuk tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga bagi pemerintah pusat.
”Maka, evaluasi harus dilakukan secara komprehensif, bukan hanya mengenai disiplin administrasi, formal birokrasi ataupun hanya fasilitas fisik, melainkan juga mengenai kapasitas dan kualitas pemulihan korban yang diberikan di setiap unit pelayanan,” ujar Genoveva Alicia, peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Evaluasi tersebut penting, menyusul langkah serupa pernah dilakukan terhadap P2TP2A seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dan Forum Pengada Layanan untuk perempuan korban kekerasan pada 2017. Evaluasi tersebut menemukan selama ini cara kerja dan waktu layanan di sebagian besar P2TP2A hanya melihat persoalan korban sebagai persoalan keseharian biasa dan bukan melihat korban sebagai subyek marjinal yang berhak mendapatkan dukungan negara.
Bahkan, tidak ada satu pun P2TP2A yang memiliki kebijakan-mekanisme khusus secara tertulis yang menjadi landasan bagi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual. ”Evaluasi penting dilakukan untuk memastikan layanan berkualitas, komprehensif, dan berdampak kepada korban,” ujar Genoveva.