Kekerasan seksual terus mengancam perempuan dan anak-anak. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, kekerasan seksual tetap terjadi. Karena itu, pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dilakukan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Bahkan, sejumlah kasus kekerasan tersebut menimpa anak yang dalam masa pemulihan dari trauma di rumah perlindungan anak dan dilakukan oleh orang yang seharusnya melindungi korban.
Kekerasan seksual yang dilakukan DA (49) yang bekerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Lampung Timur, Lampung, menuai kecaman. Pemerkosaan dilakukan pelaku terhadap seorang anak perempuan yang seharusnya dilindunginya.
Aparat penegak hukum didesak segera memproses dan menghukum pelaku serta menyelidiki semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
Peristiwa yang terjadi di situasi pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu membuktikan mendesaknya kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual demi melindungi para korban kekerasan seksual.
Kecaman disampaikan Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA); Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat; Siti Aminah Tardi, anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan); dan Fatkhurozi dari Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) untuk Perempuan Korban Kekerasan.
”Kami sangat menyesalkan dan mengecam perbuatan pelaku tersebut. Perbuatan itu terjadi di saat kami sedang menata struktur organisasi P2TP2A. Setiap saat kami mengingatkan agar tidak boleh melakukan kesalahan dalam pelayanan terhadap para korban kekerasan. Di masa pandemi Covid-19, ada protokol, kode etik, dan pedoman melakukan pekerjaan dengan anak agar jangan lakukan kekerasan,” ujar Nahar, Senin (6/7/2020), di Jakarta.
Dari informasi yang diperoleh Kementerian PPPA dari Dinas PPPA Lampung, korban berinisial N (14) merupakan warga Desa Labuhan Ratu Baru, Kecamatan Way Jepara, Lampung. Adapun pelaku, DA (49), warga Pasar Sukadana, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur, yang juga anggota P2TP2A Lampung Timur.
Kekerasan seksual menimpa korban ketika dijemput pelaku DA untuk tinggal di rumahnya pada akhir Maret 2020. Alasan pelaku DA membawa korban tinggal di rumahnya karena di desanya, korban ada indikasi ”dijual” secara daring oleh salah satu tetangganya (perempuan). Dengan alasan keselamatan, korban dibawa ke rumah pelaku.
Korban mendapat kekerasan seksual dari pelaku di rumah korban maupun di rumah pelaku. Korban tidak berani mengadu karena selalu diancam akan dicacah tubuhnya dan ayahnya akan dibunuh. Kasus ini terungkap setelah korban dan keluarganya melapor ke polisi pada 3 Juli 2020.
Sebagaimana diberitakan sejumlah media daring, pelaku merupakan unsur pimpinan P2TP2A Lampung Timur. Tidak hanya mengalami kekerasan seksual dari DA, korban juga diduga mengalami tindak pidana perdagangan orang oleh DA.
Landasan hukum
Diah Pitaloka menegaskan, kasus tersebut menunjukkan pentingnya landasan hukum bagi korban kekerasan seksual. Sebab, pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang yang seharusnya melindungi korban.
”Kekerasan seksual itu bisa dari mana saja. Dalam kasus ini, orang yang memiliki otoritas juga bisa melakukan pelecehan. Ini menunjukkan pentingnya membangun perlindungan bagi korban pelecehan agar aman dan nyaman. Makanya, kita perlu undang-undang sebagai landasan,” ujar Diah Pitaloka yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan.
Tidak adanya landasan hukum membuat perlindungan terhadap korban pelecehan makin sulit. Kasus pelecehan itu juga membuktikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus dilanjutkan. ”Karena tanpa ada payung hukum, tetap mungkin terjadi penyelewengan. Lihat saja kasus P2TP2A di Lampung Timur, ini buktinya,” tegas Diah.
Usut tuntas
Fatkhurozi menegaskan, FPL menuntut agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum mengungkap, menginvestigasi, dan menyelidiki semua yang terlibat serta menghukum berat para pelakunya. ”Bisa jadi kasus ini juga dialami oleh korban lainnya yang ditangani P2TP2A. Kami meminta keselamatan dan pemulihan korban dan keluarganya diutamakan,” kata Fatkhurozi.
Kekerasan seksual itu bisa dari mana saja. Dalam kasus ini orang yang memiliki otoritas juga bisa melakukan pelecehan. Ini menunjukkan pentingnya perlindungan bagi korban pelecehan.
Selanjutnya, FPL meminta pemerintah harus selektif memilih para petugas P2TP2A atau Unit Pelayanan Terpadu PPA berdasarkan rekam jejak, integritas, dan keahlian.
Kecaman juga disampaikan Siti Aminah. Perbuatan oknum P2TP2A tersebut sangat mengecewakan karena aparat yang seharusnya memberikan perlindungan justru melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan dan tindak pidana perdagangan orang terhadap korban.
”Aparat penegak hukum harus menegakkan UU Perlindungan Anak dengan memberikan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU Perlindungan Anak,” katanya. Kasus di Lampung Timur juga menunjukkan P2TP2A tidak memiliki kompetensi dalam mengelola rumah aman dan bagaimana memperlakukan korban.