Berdasar Usia, Hasil PPDB SMP di Padang Diprotes Orangtua Siswa
Proses penerimaan peserta didik baru jalur zonasi tingkat SMP di Kota Padang, Sumatera Barat, menuai protes dari puluhan orangtua calon siswa karena berdasarkan kriteria usia.
PADANG, KOMPAS — Proses penerimaan peserta didik baru jalur zonasi tingkat SMP di Kota Padang, Sumatera Barat, menuai protes dari puluhan orangtua calon siswa yang anaknya tidak lulus seleksi. Kriteria seleksi yang dinilai memprioritaskan calon siswa yang lebih tua itu dianggap merugikan anak-anak mereka.
Puluhan orangtua calon siswa itu mengadukan permasalahan mereka ke kantor DPRD Padang, Selasa (7/7/2020). Mereka meminta DPRD Padang memperjuangkan agar anak-anak mereka bisa bersekolah di SMP negeri. Para orangtua juga memprotes kebijakan Dinas Pendidikan Padang soal kriteria seleksi berdasarkan usia.
Pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat SMP di Padang dibuka dua tahap dengan sistem daring. Terdapat tiga jalur penerimaan dalam PPDB SMP, yakni jalur zonasi yang berdasarkan zonasi berbasis kelurahan dan usia siswa (50 persen dari daya tampung sekolah), jalur afirmasi (15 persen), dan jalur prestasi berdasarkan nilai rapor/prestasi non-akademik (30 persen).
Tahap I yang diselenggarakan pada 30 Juni-2 Juli 2020 membuka pendaftaran untuk jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi. Siswa yang tidak lulus dalam PPDB tahap I bisa mendaftar pada tahap II yang dibuka pada 5-7 Juli 2020. Pendaftaran tahap II hanya terbuka untuk jalur zonasi. Sebelum hasil penerimaan tahap II diumumkan, pada 8 Juli 2020, calon siswa sudah bisa melihat peringkat hasil seleksi sementara.
Baca juga : Unjuk Rasa PPDB 2020 Berdasarkan Usia
Zal Syafriadi (52), orangtua calon siswa asal Kelurahan Koto Baru Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, mengatakan, dalam dua tahap pendaftaran di SMP 20 dan SMP 17, putranya tidak lulus PPDB zonasi karena faktor usia. Sang putra yang berusia 12 tahun 2 bulan lebih muda dibandingkan dengan calon siswa lain yang diterima sekolah.
”Saya tidak setuju usia sebagai kriteria utama. Gara-gara ini anak saya tidak diterima di sekolah negeri. Jarak tempat tinggal dengan sekolah justru tidak jadi pertimbangan. Rumah saya dari kedua sekolah itu dekat, hanya berkisar 1-2 kilometer,” kata Zal.
Gara-gara ini anak saya tidak diterima di sekolah negeri. (Zal Syafriadi)
Zal mengadu ke DPRD Padang dengan harapan ada solusi agar anaknya bisa diterima di SMP negeri. Pria tiga anak itu mengaku tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta karena biayanya lebih mahal. Sementara itu, penghasilannya sebagai tukang ojek pangkalan hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Masdawati (48), orangtua calon siswa asal Kelurahan Ujung Gurun, Kecamatan Padang Barat, juga protes karena putrinya yang berusia 11 tahun 6 bulan tidak diterima dalam dua tahap pendaftaran di SMP 1 Padang dan SMP 25 Padang. Dalam jalur zonasi, putrinya kalah dari siswa lain dengan usia paling rendah 12 tahun 9 bulan.
Pada tahap I, anak Masdawati tidak lulus di SMP 1 Padang, yang merupakan sekolah favorit, melalui jalur prestasi yang memprioritaskan nilai rapor. Sementara itu, pada tahap II, melalui jalur zonasi, putrinya kembali tidak lulus di SMP 1 Padang dan SMP 25 Padang pada hasil seleksi sementara karena usianya lebih muda dibandingkan dengan calon siswa lainnya.
”Masa anak berprestasi akademik tergeser karena masalah umur. Siswa lain yang diterima usianya lebih tua, tetapi nilainya tidak begitu bagus. Malah ada anak tinggal kelas yang lulus di SMP favorit. Anak saya yang nilai rapornya 92,80 justru tidak lulus. Saya merasa dirugikan dengan kebijakan seperti ini,” kata Masdawati.
Menurut Masdawati, putrinya sangat sedih dan sering menangis karena tidak bisa diterima di SMP negeri. Sang putri juga menjadi kehilangan motivasi karena percuma berprestasi secara akademik, tetapi tidak diterima di sekolah negeri. Ia berharap kriteria seleksi berdasarkan usia dibatalkan.
Sementara itu, Yendra Yati (50), orangtua calon siswa asal Kelurahan Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, selain protes soal kriteria seleksi berdasarkan usia, juga menggugat penerapan kebijakan itu di lapangan. Ada calon siswa yang usianya lebih muda dibandingkan dengan putri Yendra lulus, sedangkan putrinya tidak.
”Anak saya umurnya 11 tahun 6 bulan tidak lulus di SMP 23 Padang. Sementara itu, ada calon siswa yang usianya 10 tahun 11 bulan lulus. Ini tidak adil. Anak saya nilai rapornya juga termasuk tinggi, 87, tidak menjadi pertimbangan dalam seleksi,” kata Yendra.
Ini tidak adil. (Yendra Yati)
Dalam dialog antara perwakilan orangtua siswa, Dinas Pendidikan Padang, dan anggota DPRD Padang, di kantor DPRD Padang, Selasa siang, berbagai masukan disampaikan orangtua siswa dan anggota DPRD sebagai solusi. Ada masukan penambahan kuota sekolah, kegiatan belajar menjadi duagiliran (sif), dan ada pula masukan agar seleksi diulang dengan menghilangkan jalur prestasi sehingga kuota jalur zonasi lebih besar.
Ketua DPRD Padang Syafrial Kani berjanji bakal memperjuangkan agar calon siswa yang tidak lulus tersebut mendapatkan solusi terbaik. ”Kami mengadakan rapat kerja dengan Disdik Padang mengenai masalah ini,” kata Syafrial.
Kepala Dinas Pendidikan Padang Habibul Fuadi mengatakan, kriteria seleksi PPDB tahun 2020 memang sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu, nilai rapor menjadi kriteria seleksi, termasuk untuk jalur zonasi, sedangkan tahun ini usia.
Baca juga : Gangguan Server Teratasi, Jadwal PPDB SMA di Sumbar Kembali Diperpanjang
Habibul mengakui kriteria seleksi PPDB berdasarkan umur calon siswa menuai keberatan dari masyarakat, bukan hanya di Padang. Ia pun secara pribadi mengaku kecewa dengan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, Disdik Padang tidak bisa menolak karena jika peraturan tidak dijalankan bakal berpengaruh pada pencairan dana BOS.
”Secara psikologi pendidikan, cara ini (seleksi berdasarkan usia) tidak sesuai. Membunuh semangat belajar siswa,” kata Habibul. Agar anak-anak berprestasi terakomodasi dalam PPDB, Disdik Padang meminta izin kepada menteri agar diperbolehkan membuka jalur prestasi dengan kuota 30 persen dari daya tampung sekolah.
Menurut Habibul, kriteria seleksi PPDB jalur zonasi berdasarkan peraturan menteri adalah jarak tempat tinggal dengan sekolah dan usia calon siswa. Karena persebaran sekolah tidak merata sesuai kepadatan penduduk, Disdik Padang meminta keringanan kepada Kemendikbud agar menerapkan zonasi berbasis kelurahan.
Dalam zonasi berbasis kelurahan, kata Habibul, setiap siswa dalam satu kelurahan yang sama punya kesempatan sama untuk lulus meskipun jarak tempat tinggal dan sekolah mereka berbeda. Setelah zonasi berbasis kelurahan, usia calon siswa menjadi dasar selanjutnya dalam penetapan kelulusan.
Berdasarkan Peraturan Mendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, jarak tempat tinggal lebih diprioritaskan dibandingkan dengan usia calon siswa.
Pada Pasal 25 Ayat (1) disebutkan, ”Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.”
Pada Pasal 25 Ayat (2) disebutkan, ”Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.”
Habibul melanjutkan, selain kriteria seleksi, daya tampung SMP negeri di Padang juga tidak sebanding dengan lulusan SD di Padang. Daya tampung SMP negeri di Padang hanya sekitar 8.000 orang, sedangkan lulusan SD setiap tahunnya di kota itu sekitar 14.000 orang.
Baca juga : Perlukah PPDB di DKI Jakarta Diulang
”Jadi, ada sekitar 6.000 orang lulusan SD tidak tertampung di SMP negeri. Kami belum mampu sediakan sekolah sebanyak jumlah lulusan itu,” ujar Habibul. Disdik Padang kekurangan ruangan kelas dan kekurangan guru untuk tingkat SMP. Ada 500 ruangan kelas yang masih kurang, sedangkan untuk guru 50 persennya adalah non-PNS yang digaji berdasarkan APBD Kota Padang.
Pakar pendidikan Musliar Kasim berpendapat, kebijakan PPDB berdasarkan zonasi sudah tepat. Kriteria seleksi berdasarkan umur sebagai prioritas berlaku untuk SD. Sementara itu, untuk SMP dan SMA, zonasi berdasarkan kedekatan tempat tinggal dan sekolah harus jadi prioritas utama.
”Keliru jika untuk SMP dan SMA umur menjadi prioritas kelulusan. Tidak mungkin calon siswa menganggur menunggu tahun depan agar bisa lulus. Yang diutamakan adalah zonasi berdasarkan sekolah terdekat dari rumah. Jika jarak dua siswa sama, baru umur dipakai sebagai dasar penilaian berikutnya,” kata Musliar, yang juga mantan Wakil Mendikbud era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Musliar melanjutkan, nilai rapor memang tidak menjadi prioritas dalam kriteria seleksi PPDB. Zonasi jarak dan umur menjadi prioritas utama. Jadi, tidak tepat jika ada orang yang mengatakan anaknya lebih berhak masuk suatu sekolah karena nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa lain.
Menurut Musliar, tidak ada yang salah jika siswa bersekolah di sekolah swasta. Sebab, tidak mungkin semua sekolah dibangun oleh pemerintah. Sekolah swasta bisa menutupi kurangnya jumlah sekolah negeri. Secara kualitas, kadang-kadang justru sekolah swasta lebih bermutu dibandingkan dengan sekolah negeri.