Kemunculan aplikaKemunculan aplikasi video masih menjadi perdebatan. Ketiadaan regulasi memuncusi video masih menjadi perdebatan. Ketiadaan regulasi memunculkan silang pendapat, apakah dibutuhkan penyensoran atau tidak.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA UNTUK KOMPAS
Laman utama Netflix, salah satu penyedia layanan streaming film berbayar yang menyediakan beragam tayangan mulai dari film, serial, hingga dokumenter.
JAKARTA, KOMPAS-Perdebatan menyangkut sensor terhadap film-film yang diputar melalui aplikasi video belum menemui titik temu. D sisi lain, literasi masyarakat terhadap konten dianggap masih rendah.
Anggota Komisi I DPR M Farhan, Jumat (3/7/2020) di Jakarta mengatakan, pesatnya perkembangan media karena teknologi digital mengajak siapapun untuk berpikir ulang tentang konsep penyensoran. Pada zaman dulu, sensor dipakai untuk membendung substansi konten negatif. Namun, masyarakat sekarang menganggap konsep sensor seperti itu tidak mengasyikkan dan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat.
Dia mengakui belum ada regulasi yang dapat mengontrol konten yang beredar luas di internet, termasuk melalui over-the-top (OTT) video atau aplikasi video. DPR saat ini masih fokus menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi sebelum Oktober 2020.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menekankan, Indonesia tidak anti pemain asing. Pelaku industri media baik asing maupun lokal harus mendapatkan perlakuan setara.
"Pemantauan dan evaluasi konten dari pelaku asing harus jelas regulasinya," kata dia.
Senada dengan Farhan, dia menyebut regulasi yang ada harus relevan dan sejalan dengan kemunculan OTT video. Misalnya, revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, revisi UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan RUU Konvergensi Media.
Pemerintah dan legislatif bertugas menyikapi tantangan regulasi. Masyarakat bisa berpartisipasi ikut memantau dan mengevaluasi beragam konten yang beredar luas di OTT video. Artinya, literasi masyarakat terhadap konten harus diperkuat.
Saat ini, konten di OTT video, terutama yang berbayar, baru dinikmati oleh sebagian besar kelas menengah atas. Namun, Farhan meyakini lambat laun masyarakat kelas menengah bawah pun akan mengonsumsinya mengingat OTT video selalu berinovasi model bisnis.
Kontrol konten mandiri
Beberapa warga yang dia survei mengatakan, OTT video sebenarnya menawarkan pilihan kontrol konten secara mandiri. Mereka menyadari konten apa yang sesuai untuk diri mereka ataupun tidak. Sementara beberapa sineas yang dia tanya mengatakan, keberadaan OTT video mampu memperluas jangkauan distribusi konten mereka.
"Konsumen sekarang ingin diberdayakan. Sensor bisa saja berarti peringatan yang sangat eksplisit dalam konten, bukan gunting konten. Upaya seperti ini mendorong sensor mandiri," ujar Farhan.
Berkaitan dengan sensor mandiri, dia menyentil mengenai klasifikasi konten yang masih memakai patokan usia. Patokan ini seringkali tidak dimengerti awam. Sementara di luar negeri, klasifikasi memakai kalimat yang lebih sederhana, seperti klasifikasi konten edukatif.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Ahmad Mahendra mengatakan, Kemdikbud berupaya mengoptimalkan kegiatan literasi kepada masyarakat. Salah satu kegiatannya adalah menyusun petunjuk film atau movie guide yang di dalamnya terdapat resensi konten sesuai dengan klasifikasi usia penonton."Terkait teknis pengklasifikasian usia, Lembaga Sensor Film (LSF) yang akan memutuskan," ujar dia.
Tetap akan menyensor
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto menyampaikan, sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, semua film yang akan ditayangkan di Indonesia harus mempunyai surat tanda lulus sensor dari LSF. LSF memiliki catatan data daftar konten film yang diputar di jaringan informatika. Dari data itu, LSF telah menentukan konten yang perlu ditindaklanjuti atau tidak.
Dia menyebutkan, sepanjang 2018 sampai 30 Juni 2020, total film dn iklan yang lulus sensor mencapai 97.401. Jumlah ini diyakini belum menjangkau seluruh konten yang beredar di internet dan OTT video.
"Saat kami cek, ada tema-tema konten yang cukup mengkhawatirkan, seperti muatan pornografi dan sadisme. Kami memantau sesuai konsep penyensoran yang ada dalam regulasi," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Bidang Advokasi Kebijakan Badan Perfilman Indonesia (BPI) Alex Sihar mengatakan, selain melakukan penyensoran film, LSF juga perlu meningkatkan kemampuan literasi publik sehingga mereka menjadi penonton yang cerdas dalam mengonsumsi film.
Beberapa upaya bisa dilakukan, antara lain, dengan membuat materi-materi infografis, buku-buku, dan video yang bertujuan membantu orangtua agar bisa menemani anak-anak mereka saat menonton film. ”Bukan cuma penyensoran (saja),” ujarnya.
Mendikbud Nadiem Makarim juga berharap LSF mengikuti perkembangan teknologi dan konten-konten dunia perfilman untuk mendukung kemajuan pendidikan dan kebudayaan.