Rawa Gambut Menjadi Tempat Bermukim Masyarakat Kuno
Ekosistem gambut yang dikembangkan saat ini masih belum banyak dikaitkan dengan isu-isu kebudayaan. Padahal, penelitian arkeologi menunjukkan lahan gambut sudah dihuni manusia sejak ribuan tahun lalu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Kompas
Hamparan rawa gambut wilayah Kumpeh Ulu di Kabupaten Muaro Jambi semula merupakan area resapan air. Dalam 10 tahun terakhir, alih fungsi lahan begitu marak mengubah hamparan itu menjadi perkebunan sawit skala besar. Pembangunannya diikuti penanggulan raksasa mengelilingi kebun. Akibatnya, areal persawahan masyarakat, jalan desa, maupun permukiman kerap terendam banjir, sebagaimana terlihat di Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Rabu (27/4/2016).
JAKARTA, KOMPAS – Bukti arkeologi menunjukkan bahwa lingkungan rawa gambut telah dihuni serta dipilih sebagai tempat tinggal manusia sejak zaman kuno. Namun, berbeda dengan pembukaan pemukiman saat ini yang kerap merusak lingkungan, lingkungan rawa gambut pada zaman dahulu dimanfaatkan dengan cara bijak sesuai dengan kondisi alam.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus mantan Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo mengemukakan, rawa gambut merupakan daerah yang berair, berlumpur, tidak berpenghuni, lembab, dan banyak binatang buas. Kondisi ini menimbulkan spekulasi bahwa rawa gambut tidak mungkin menjadi tempat tinggal manusia zaman dahulu.
Berdasarkan kajian dan penelitian ditemukan dua pemukiman kuno rawa gambut yakni pemukiman Batujaya di Pantai Utara Jawa Barat dan Nipah Panjang di Pantai Timur Jambi
Namun, berdasarkan kajian dan penelitian ditemukan dua pemukiman kuno rawa gambut yakni pemukiman Batujaya di Pantai Utara Jawa Barat dan Nipah Panjang di Pantai Timur Jambi. Pemukiman Batujaya dibangun sekitar abad ke-5 hingga ke-7 Masehi, sedangkan Nipahpanjang pada abad ke-12 hingga ke-13 Masehi.
“Permukiman Batujaya saat ini merupakan wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 8 kilometer dari lokasi temuan arkeologi yang sudah dilaporkan sejak masa Belanda, tetapi baru mencapai penelitian serius pada 1970 hingga 1980 an,” ujar Junus dalam kuliah umum daring yang digelar Badan Restorasi Gambut, Kamis (2/7/2020).
Kawasan permukiman Batujaya sekarang telah menjadi kawasan pertanian yang subur. Di kawasan pertanian tersebut juga banyak ditemukan gundukan tanah besar yang masyarakat kerap menyebutnya dengan sebutan unur. Ketika diteliti, di dalam unur dengan diameter mencapai 38 meter itu ditemukan sebuah struktur bangunan.
Kompas/AGUS SUSANTO
Foto udara situs Candi Blandongan (kanan) dan situs Candi Jiwa di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Karawang, Jawa Barat, Kamis (14/5/2020). Kompleks percandian di Batujaya adalah bukti kemegahan sisa peradaban manusia masa lalu di wilayah pantai utara Jawa Barat, yang masih tersisa. Dulunya kawasan ini merupakan sebuah rawa.
“Bisa disimpulkan bahwa dulu unur dan candi berdiri di suatu kawasan luas yang berair atau dulunya merupakan sebuah rawa. Tetapi sekarang karena sudah dibangun irigasi dan air dari rawa diturunkan langsung ke laut membuat kawasan ini menjadi kawasan pertanian,” terangnya.
Adanya pemukiman ini ditegaskan dari penemuan Arca Wisnu yang merupakan arca Hindu tertua di Indonesia. Arca ini ditemukan di daerah Cibuaya yang berlokasi di sebelah timur Batujaya. Arca Wisnu bertopi tinggi ini diduga bukan berasal dari Indonesia dan umumnya ditemukan di daratan Asia Tenggara seperti Thailand dan Kamboja yang ada pada abad ke-4 hingga ke-8 Masehi.
Sementara kawasan Nipah Panjang yang sekarang merupakan wilayah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, dulunya juga menjadi permukiman masyarakat kuno. Hal ini ditegaskan dari sejumlah penemuan arkeologi seperti sisa perahu kuno hingga sisa tiang kayu untuk menopang rumah.
Sifat permukiman di kawasan rawa tidak menyebar, radial, atau bahkan mengelompok. Namun, sifat permukiman ini linear atau hampir seluruh rumah dan desa yang dibangun tersebut mengikuti arah aliran sungai.
Kompas/AGUS SUSANTO
Situs Candi Jiwa di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Karawang, Jawa Barat, Kamis (14/5/2020). Candi ini berukuran 19 meter x 19 meter dan tinggi 4,7 meter di atas permukaan sawah sekitarnya. Bangunan bata itu berbentuk bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik, dan pintu masuk.
Junus menjelaskan, pada abad ke-10 hingga ke-14 Masehi, laut dangkal di timur Kota Jambi dan Palembang tertutup oleh sedimen bawaan sungai Batanghari dan Musi. Kondisi inilah yang kemudian membuat kawasan Nipah Panjang dan area di sekitarnya menjadi dataran rawa yang sangat luas.
“Dari penelitian arkeologi ini diketahui bahwa rawa menjadi pilihan untuk hidup dan dikolonisasi oleh manusia. Tetapi cara masyarakat kuno mengolonisasikannya dengan menyesuaikan (kondisi) alam. Mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran,” ungkapnya.
Restorasi berbasis kebudayaan
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Patisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri mengatakan, mengetahui lahan gambut dari perspektif kebudayaan dan kepurbakalaan sangat penting. Sebab, ekosistem gambut yang dikembangkan saat ini masih belum banyak dikaitkan dengan isu tersebut.
Dalam area target restorasi gambut seluas 2,67 juta hektar yang tersebar di tujuh provinsi, terdapat ribuan desa dan kelurahan yang sebagian besar dihuni oleh komunitas adat. Hal ini kata Myrna, menjadi relevan jika aspek kebudayaan dimasukkan dalam pembahasan terkait restorasi gambut.
KOMPAS/RYAN RINALDY
Suasana salah satu anak sungai di Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
“Selalu ada kaitan antara kebudayaan dengan ekosistem alamnya. Kalau saat ini ekosistem gambut kita sudah banyak yang rusak, jadi pertanyaan pentingnya adalah bagaimana kondisi di masa lalu dan apa upaya yang sudah dilakukan oleh masyarakat di masa lalu,” katanya.
Myrna juga memandang bahwa membiarkan kerusakan ekosistem gambut, secara tidak langsung ikut merusak peninggalan sejarah. Ia berharap, masyarakat dapat melihat gambut ke dalam aspek kebudayaan sehingga ekosistem gambut dapat turut dijaga kelestariannya.