Kampanye #StopHareforProfit terus meluas. Boikot iklan tidak hanya terjadi di platform media sosial Facebook, tetapi juga lainnya. Kampanye pun meluas menyasar konsumen atau individu.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Aksi penghentian sementara iklan di platform media sosial terus meluas. Jika hingga Rabu (1/7/2020) ada 530 perusahaan besar global yang berkomitmen menghentikan sementara iklan mereka di Facebook, hingga Kamis (2/7/2020) paling tidak sudah ada 660 perusahaan. Kampanye #StopHateForProfit ini juga meluas ke platform media sosial lainnya, seperti Instagram, Twitter, dan Snapchat.
Beberapa perusahaan seperti Coca-Cola dan Starbucks tidak hanya menghentikan iklan mereka di Facebook selama Juli 2020, tetapi juga di Twitter. Demikian juga Unilever, menghentikan sementara iklan di Facebook, Instagram, dan Twitter. Mars Inc, produsen makanan, juga menyatakan akan menghentikan sementara iklan mereka di Facebook, Instagram, Twitter, dan Snapchat mulai Juli (cnet.com, 2/7/2020).
Bahkan, kampanye di laman stophateforprofit.org kini tak hanya menyasar pengiklan di platform media sosial, tetapi juga konsumen/masyarakat. Penggagas kampanye ini, koalisi masyarakat sipil di Amerika Serikat, mengajak masyarakat menandatangani petisi #StopHateforProfit dan mengirim pesan ke Facebook bahwa keuntungan tidak akan pernah bernilai bila iklan terpasang pada konten yang mendukung kebencian dan informasi yang salah dalam bentuk apa pun.
Ketika iklan terpasang pada konten berisi kebencian dan informasi yang salah, seolah-olah pemasang iklan setuju dengan isinya tersebut. Ini malah merugikan bagi pemasang iklan karena berdampak pada citra negatif.
Meski selama ini Facebook berupaya merespons sikap perusahaan-perusahaan tersebut, langkah yang diambil dinilai masih kecil untuk mengatasi konten berbahaya dan informasi yang salah di platformnya. Alasannya, sebagaimana selalu dikatakan CEO Facebook Mark Zuckerberg, untuk melindungi kebebasan berbicara.
Sekitar 8 juta perusahaan yang beriklan di Facebook, dan lebih dari 70 persen pendapatan iklan Facebook berasal dari usaha kecil dan menengah.
Namun, jika kampanye ini terus meluas dan semakin banyak perusahaan dan masyarakat yang bergabung, apakah akan berdampak mengubah kebijakan Facebook? Dari isi iklan, ada sekitar 8 juta perusahaan yang beriklan di Facebook, dan lebih dari 70 persen pendapatan iklan Facebook berasal dari usaha kecil dan menengah yang mungkin kurang peduli di mana iklan mereka diletakkan di platform media sosial.
Survei yang dilakukan Federasi Pengiklan Dunia memang menunjukkan, sepertiga dari 58 pengiklan teratas akan atau kemungkinan akan menangguhkan iklan mereka di Facebook, sedangkan 40 persen lainnya mempertimbangkan untuk melakukannya (The Guardian, 30/6/2020). Beberapa pengiklan termotivasi karena ingin menjaga keamanan merek mereka. Mereka menolak materi promosi mereka muncul di sebelah konten yang tidak pantas atau bahkan berbahaya.
Jika langkah tersebut menciptakan efek domino dan perusahaan besar lainnya menghapus investasi dari platform media sosial, hal itu akan memengaruhi perubahan di platform media sosial. Demikian juga jika kampanye ini membahayakan citra Facebook. Kampanye ini sudah berdampak pada investor Facebook. Pada Jumat (26/6/2020), saham Facebook turun lebih dari 8 persen yang menghapus 56 miliar dollar AS dari nilai pasar Facebook.
Memoderasi konten
Dari sisi konten, ini bukan kali pertama Facebook diboikot, meski kali ini paling besar karena diikuti banyak perusahaan. Pada 2018, beberapa pengiklan memboikot Facebook atas skandal Cambridge Analytica, yaitu skandal pengumpulan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica pada 2014. Namun, boikot ini tidak berdampak pada Facebook.
Krisis di platform media sosial karena beredarnya informasi salah, informasi palsu, juga konten berbahaya, termasuk kekerasan dan ujaran kebencian, sudah lama terjadi. Upaya perusahaan platform media sosial mengerahkan ribuan orang untuk memoderasi konten, karena kesulitan mengotomasi pekerjaan ini, belum juga menyelesaikan masalah.
Mengidentifikasi ujaran kebencian, misalnya, bergantung pada pengetahuan tentang konteks, kebiasaan, dan budaya yang mungkin tidak mudah untuk diajarkan pada moderator manusia, apalagi mesin. Awalnya, pada kuartal III-2017, misalnya, Facebook menemukan hanya di bawah seperempat dari ujaran kebencian yang beredar di platformnya, sisanya peran pengguna situs yang secara manual menandai ujaran kebencian tersebut ke moderator.
Saat ini, proporsinya telah berbalik, 88 persen ujaran kebencian yang dihapus ditemukan oleh alat Facebook sendiri. Hal ini memungkinkan Facebook menghapus atau membatasi hampir empat kali lipat ujaran kebencian dibandingkan pada dua tahun lalu.
Namun, masalahnya kemudian ada di kebijakan Facebook. Terkait unggahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengandung kebencian pada ras tertentu ketika berkomentar soal unjuk rasa yang memprotes ketidakadilan rasial, Facebook mengambil sikap tidak memeriksa politisi. Alasannya, pidato politik adalah salah satu bagian paling sensitif dalam demokrasi, dan masyarakat harus dapat melihat apa yang dikatakan politisi.
Seperti dikatakan Nick Clegg, Wakil Presiden Facebook, ”Satu-satunya cara untuk meminta pertanggungjawaban yang kuat pada akhirnya adalah melalui kotak suara (pemilu).” Karena itu, meski dia berusaha meyakinkan pengiklan bahwa Facebook tidak mendapat manfaat dari kebencian, tetap tidak dapat membendung gerakan pengiklan.
Kini, dengan adanya petisi agar konsumen/masyarakat juga ikut ambil bagian dalam gerakan untuk meminta Facebook lebih ketat memoderasi konten yang berbahaya, hal itu diharapkan lebih ”didengar”. Seiring bertambahnya perusahaan yang berkomitmen dalam kampanye ini, Zuckerberg sepakat bertemu dengan organisator kampanye ini pada awal minggu depan (Associated Press, 1/7/2020). Kita tunggu hasilnya.