Sekolah di Jakarta Berlebih, Penambahan Sekolah Negeri Tak Direkomendasikan
Daya tampung sekolah negeri di DKI Jakarta terbatas. Kemendikbud mencoba menawarkan opsi merangkul sekolah swasta agar keterbatasan itu bisa teratasi dan penerimaan siswa baru bisa terus berjalan.
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mengatasi kekisruhan seleksi pendaftaran peserta didik baru di DKI Jakarta, salah satu jalan keluar yang ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah merangkul sekolah swasta. Solusi ini diharapkan bisa menjaga kelangsungan sekolah swasta. Meski demikian, gagasan ini masih menjadi perdebatan.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, jika hanya melihat kapasitas sekolah negeri, memang sangat kecil ketika dibandingkan dengan jumlah calon siswa. Akan tetapi, sesungguhnya jika melihat perbandingan antara jumlah keseluruhan sekolah (negeri dan swasta) dan siswa, Jakarta justru kelebihan sekolah.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, di Jakarta dan Kepulauan Seribu, jumlah sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri, kecuali tingkat SD.
Terdapat 1.449 SD negeri dan 915 SD swasta, 293 SMP negeri dan 776 SMP swasta, serta 117 SMA negeri dan 375 SMA swasta. Selain itu, masih ada 73 SMK negeri dan 508 SMK swasta.
Ini alasan Kemendikbud tidak merekomendasikan penambahan jumlah sekolah negeri atau penambahan rombongan belajar karena membuat sekolah swasta gulung tikar.
”Ini alasan Kemendikbud tidak merekomendasikan penambahan jumlah sekolah negeri atau penambahan rombongan belajar karena membuat sekolah swasta gulung tikar. Sekolah swasta semestinya dirangkul agar mutunya meningkat dan biayanya terjangkau,” katanya (Kompas, 1/7/2020).
Mempertanyakan aturan
Kepala Perwakilan Jakarta Raya Ombudsman RI Teguh P Nugroho menyampaikan, keluhan orangtua siswa terhadap PPDB DKI Jakarta yang banyak dilontarkan adalah mempertanyakan persamaan antara Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 dan Peraturan Mendikbud No 44/2019.
”Kami tidak melihat sama persisnya petunjuk teknis dinas pendidikan dengan Permendikbud No 44/2020. Apabila menitikberatkan pada ’kesamaan’, kami rasa akan banyak daerah melanggar. Kami menekankan seberapa sesuai SK kepala dinas pendidikan dengan Permendikbud No 44/2019,” ujarnya dalam acara Ngopi Bareng dengan Ombudsman RI, Rabu (1/7/2020), di Jakarta.
Tahun 2019, letak ketidaksesuaian regulasi teknis PPDB di DKI Jakarta adalah seleksi jalur zonasi ditambah nilai ujian nasional. Hal ini menyebabkan mayoritas anak yang nilai ujian nasionalnya rendah tidak bisa diterima di sekolah negeri meskipun jarak rumahnya ke sekolah dekat. Pada tahun 2020, letak ketidaksesuaian adalah penambahan kriteria usia dari tertua ke muda di jalur zonasi. Saat Dinas Pendidikan DKI Jakarta dipanggil, mereka menjelaskan bahwa penapisan memakai kriteria usia dipakai ketika jumlah pendaftar melebihi daya tampung sekolah.
Teguh membenarkan, daya tampung sekolah swasta di DKI Jakarta lebih besar dibandingkan sekolah negeri, kecuali untuk jenjang sekolah dasar. Kebijakan seleksi bertujuan untuk menyikapi kondisi itu. Namun, kekisruhan seleksi PPDB yang belakangan terjadi lebih banyak menyasar ke SMA.
”Di satu sisi, pemerintah ingin menghapuskan favoritisme SMA negeri melalui kebijakan seleksi jalur zonasi. Akan tetapi, di sisi lain, saat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), perguruan tinggi negeri masih memberikan jalur undangan kepada sekolah tertentu, yaitu SMA yang dianggap favorit,” ujarnya.
Pengurus Serikat Guru Indonesia Jakarta, Afdhal, memandang perlunya meluruskan pandangan terlebih dulu tentang makna sekolah swasta. Pendefinisian sekolah swasta tidak ada dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 butir (XVI) Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai wujud pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Lalu, Peraturan Pemerintah No 48/2008 tentang Pendanaan Sekolah juga tidak menyebut istilah sekolah swasta.
Namun, pendidikan berbasis masyarakat inilah yang lambat laun kemudian dipahami sebagai sekolah swasta. Ditambah lagi, Pasal 3 Permendikbud No 24/2013 tentang Penerimaan Bantuan Sosial mulai menyebut istilah sekolah swasta. Dia menilai, dari sanalah kemudian konstruksi sosial sekolah negeri dan sekolah swasta semakin berkembang.
Lalu, muncul Keputusan Mahkamah Konstitusi No 58/PUU-VIII/2010 tentang gugatan Pasal 55 Ayat (4) UU No 20/2003 Sisdiknas yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan atau pemerintah daerah. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menyebabkan pemahaman bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat, yang dipahami khalayak sebagai sekolah swasta, wajib memperoleh bantuan secara teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah.
Menurut Afdhal, apabila pemerintah melalui Kemendikbud ingin merangkul dan menggandeng sekolah swasta dalam pelaksanaan sistem seleksi PPDB sekolah negeri, pemerintah harus menetapkan dulu regulasinya. Selain itu, pemerintah harus bisa memastikan mutu sekolah swasta bagus dan biayanya terjangkau. Dia mengakui, di kalangan orangtua masih ada anggapan bahwa mutu sekolah swasta tidak setara dengan sekolah negeri. Banyak orangtua menilai masuk sekolah swasta butuh biaya besar.
Dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, seleksi PPDB jalur zonasi digunakan untuk standar masuk sekolah negeri, bukan swasta. Sekolah swasta tidak memerlukan zonasi karena prinsip pengelolaannya dari masyarakat. Artinya, standar masuk siswa ke sekolah swasta lebih fleksibel dibandingkan dengan sekolah negeri.
Apabila seleksi PPDB jalur zonasi konsisten menggunakan jarak, Rakhmat menilai, kebijakan ini sebenarnya akan membantu sekolah-sekolah swasta untuk memperoleh calon siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.
Kelebihan seleksi PPDB jalur zonasi lainnya adalah berkurangnya label sekolah-sekolah unggulan sehingga diharapkan kualitas sekolah negeri lebih merata. Sekolah swasta yang menerima calon siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri pun akhirnya bisa mengupayakan perbaikan kualitas.
”Sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat tetap memerlukan intervensi ataupun dukungan pemerintah, seperti urusan peningkatan kapasitas guru, tenaga pendidikan, dan insentif sarana. Intinya adalah jangan sampai sekolah swasta dibiarkan mati sendiri oleh gempuran sekolah negeri," ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Rakhmat ikut melatih guru/kepala sekolah/wakil kepala sekolah swasta di DKI Jakarta selama 2017-2019, mereka bisa menerapkannya untuk sekolah asal. Generasi baru guru usia muda juga bagus untuk mengakselerasi kualitas sekolah-sekolah swasta.
Apabila upaya seperti itu konsisten dilakukan secara berkesinambungan, ketimpangan mutu sejumlah sekolah negeri dan swasta tidak akan terlalu tajam. Apalagi jika perguruan tinggi ikut terjun melatih. Dengan demikian, saat kualitasnya perlahan naik, stigma masyarakat tentang mutu negatif sekolah swasta akan terkikis.
Menurut Rakhmat, prinsip kebijakan pemerintah untuk sekolah negeri ataupun swasta harus berkeadilan. Pembangunan sekolah negeri tetap bisa berjalan, tetapi komitmen pemberdayaan sekolah swasta tetap harus dilakukan. ”Sekolah swasta juga aset masyarakat,” katanya.
Stigma sosial
Peneliti The Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza Azzahra, berpendapat, diskursus pendidikan di Indonesia masih menempatkan sekolah negeri sebagai pemain utama. Padahal, sekolah yang didirikan oleh masyarakat juga merupakan elemen penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia.
Terkait kisruh seleksi PPDB sekolah negeri di DKI Jakarta yang belakangan terjadi, dia memandang, sebaiknya pemerintah tidak memaksakan diri untuk menambah daya tampung, seperti rombongan belajar. Pemerintah bisa membantu memberdayakan sekolah swasta yang sudah ada di tengah masyarakat.
Berdasarkan penelitian CIPS, ”Sekolah Swasta Berbiaya Rendah: Sebuah Studi di Jakarta” (2016), pada tahun 2015, jumlah sekolah tingkat dasar dan menengah di DKI Jakarta tercatat sebesar 5.659 sekolah. Sekolah-sekolah itu menyediakan akses terhadap pendidikan bagi 1.783.652 siswa di Jakarta. Jumlah sekolah swasta sebanyak 3.230 sekolah, mengungguli jumlah sekolah negeri, dan merupakan 57,08 persen dari total keseluruhan sekolah.
Studi CIPS menyasar ke Tambora dan Kalideres (Jakarta Barat), lalu Cilincing dan Penjaringan (Jakarta Utara). Empat wilayah ini dipilih karena persentase warga dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan lebih tinggi di wilayah ini, yaitu sekitar 90.900 warga di Jakarta Utara dan 83.200 warga di Jakarta Barat.
Baca juga : Kisruh PPDB DKI Berisiko Berlanjut
Dari hasil studi ditemukan, sekolah swasta memainkan peranan penting terhadap akses pendidikan di empat wilayah itu. Jumlah keseluruhan sekolah mencapai 609 unit dan 374 unit di antaranya adalah sekolah swasta. Orangtua yang diwawancarai menuturkan, alasan utama menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta adalah anaknya tidak memiliki nilai kelulusan cukup untuk diterima di sekolah negeri. Alasan lain adalah letak sekolah negeri jauh dari rumah dan biaya pendidikan di sekolah swasta cukup terjangkau.