Sekolah Menengah Kejuruan Perlu Lebih Kontekstual dengan Kebutuhan Industri
Perbaikan pembelajaran yang lebih kontekstual diperlukan agar terjadi titik temu antara sekolah menengah kejuruan dengan kebutuhan dunia industri.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran di sekolah menengah kejuruan atau SMK perlu selalu mempertimbangkan konteks perkembangan industri. Pendekatan pembelajaran seperti itu akan memudahkan pemahaman siswa sehingga nantinya mereka akan cepat terserap ke dunia industri.
Berangkat dari keyakinan tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Wikan Sakarinto, Selasa (30/6/2020), di Jakarta menyampaikan pentingnya peningkatan keterampilan dan melatih kembali (upskilling dan reskilling) guru SMK. Tahun ini, Kemendikbud membuka kesempatan bagi 2.160 guru untuk mengikuti pelatihan di Program Up-skilling dan Re-skilling Guru Kejuruan SMK.
Pelaksanaan program mengikuti pemetaan empat bidang, yaitu manufaktur dan konstruksi, ekonomi kreatif, kesehatan, dan layanan perawatan. Pemilihan empat bidang itu mempertimbangkan tren perkembangan industri dan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Total terdapat 21 kompetensi keahlian di empat bidang tersebut.
Pelatihan diperuntukkan bagi guru SMK yang memiliki usia di bawah 50 tahun dan memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Mereka dilatih selama dua sampai empat bulan.
”Sejalan dengan program itu, kami pun sedang merancang kurikulum SMK yang baru, yakni kurikulum yang lebih sederhana dan selaras dengan kebutuhan industri. Kami melibatkan pelaku industri. Penekanan kurikulum baru nanti adalah (munculnya) kompetensi kemampuan keras dan lunak yang seimbang,” ujar Wikan.
Wakil Ketua Komite Tetap Pelatihan Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Miftahudin, menyampaikan, perubahan industri berlangsung cepat karena didorong tuntutan pasar dan teknologi. Beberapa pemain industri pun tengah bertransformasi.
Lulusan SMK dibutuhkan untuk mengisi kebutuhan pekerja di tengah perubahan itu. Namun, dia mengakui masih ada deretan permasalahan yang menyulitkan kolaborasi antara SMK dengan industri bisa terlaksana dengan baik. Sebagai contoh, masih ada pola pikir perusahaan yang mempekerjakan lulusan ataupun siswa SMK magang untuk sekedar menjadi petugas fotokopi. ”Harus ada keselerasan kebutuhan industri dan SMK,” ujarnya.
Menjadi industri
Sementara itu, Pendiri Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia Marlock menyampaikan, sejumlah SMK di Indonesia sudah berkembang menjadi industri. Pencapaian positif itu perlu ditularkan kepada SMK-SMK lain yang belum berbasis industri.
”SMK mencari industri untuk membeli produk. Menemukan mitra untuk membeli produk SMK bukan hal mudah. Kalau SMK mencari mitra untuk belajar, hal itu mudah sekali dilakukan,” ujar dia dalam sesi diskusi daring ”SMK Sudah Industri” yang disiarkan secara ”live” di akun Instagram Peduli SMK.
Dorong peningkatan mutu
Menurut Marlock, ketika industri mengajukan permintaan produk ataupun kontrol kualitas kepada SMK, produk yang mereka hasilkan akan semakin berkualitas dan diterima pasar. Tolok ukur kualitas memotivasi SMK untuk meningkatan mutu produksi.
Kepala SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Sahana menceritakan, pihaknya telah memiliki pabrik bernama M One Technology. Ini adalah industri yang dikelola langsung oleh SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo. Barang-barang yang diproduksi menyasar kepada perlengkapan kesehatan yang dibutuhkan rumah sakit dan pesantren, misalnya ranjang pasien yang digerakkan dengan sistem operasi Android. Industri itu bisa menghidupi sekolah dan warganya.
”Siswa kelas XII turut memproduksi di pabrik. Sejumlah alumni juga ikut bekerja,” katanya.