Menjerat Perempuan Berkedok Tradisi "Kawin Tangkap"
Praktik "kawin tangkap" menjadi kedok untuk menjerat kaum perempuan di daerah Sumba. Hal itu mengakibatkan pernikahan menjadi gerbang menuju penderitaan berlapis bagi perempuan yang menjadi korban.
Impian membangun bahtera kehidupan dengan orang yang dikasihi pupus, saat seorang perempuan ditangkap dan dibawa paksa sekelompok orang untuk dinikahkan dengan lelaki yang bukan kekasih hatinya. Meski tubuh dan jiwa berontak, sebagian perempuan di Sumba, tak sanggup melawan praktik kekerasan berkedok atau atas nama tradisi.
Ada yang berhasil lolos dari jerat atas nama tradisi itu, namun jumlahnya hanya hitungan jari. Kenyataannya, ketika perempuan Sumba yang jadi korban kawin tangkap, dia berada dalam tekanan besar sehingga akhirnya pasrah, lalu terpaksa menerima perkawinan itu sebagai takdir dan menjalani kehidupan rumah tangga hingga akhir hayat dengan laki-laki yang tidak dicintainya.
“Korban kawin tangkap mendapat kekerasan berlapis, secara fisik, psikis, seksual, dan stigma. Relasi kuasa tidak setara antara perempuan dan lelaki begitu kuat." kata Pendeta Aprissa Taranau, Ketua Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) Sumba, dalam diskusi daring bertema “Perempuan Sumba Menggugat Praktik Kawin Tangkap”, Selasa (23/6/2020).
Menurut Aprissa, dalam praktik kawin tangkap, perempuan dijadikan properti. Bahkan pemerkosaan perempuan dianggap remeh, karena sudah ada pemberian harta, maka persoalan selesai,”
Baca juga Hentikan ”Kawin Tangkap” yang Merendahkan Martabat Perempuan
Sejak tahun 2009 Aprissa melakukan kajian praktik kawin tangkap di Sumba, dengan mewawancarai sejumlah korban, dan menyuarakan narasi pilu para korban di berbagai forum, terutama forum gerejawi.
Dari data yang dikumpulkan Aprissa, pada 2009 ada 20 kasus kawin tangkap. Tahun 2013 (1 kasus), 2016 (1 kasus), 2017 (1 kasus), 2019 (1 kasus) dan 2020 (3 kasus). Diduga lebih banyak kasus lain tak terangkat di permukaan.
Berbagai kekerasan
Dari pengalaman korban itu terungkap kawin tangkap meninggalkan trauma. Berbagai kekerasan dialami korban, mulai kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan seksual. Jika melepaskan diri dari kawin tangkap, dia mendapat stigma negatif oleh masyarakat.
Selama ini kawin tangkap diterjemahkan masyarakat setempat bagian proses perkawinan adat. Dalam prosesi itu, seorang perempuan ditangkap sekelompok pria di tempat ramai, seperti saat ada acara perayaan, kegiatan adat, hari pasar, atau di jalan. Mengapa di tempat umum? Agar banyak orang yang menyaksikan peristiwa itu dan memberi kesan keperkasaan lelalaki-laki karena berhasil menangkap perempuan untuk dijadikan istri.
Karena memandang sebagai bagian dari adat, maka meskipun peristiwa tersebut disaksikan banyak orang, tidak ada yang menolong perempuan saat dia ditangkap. Bahkan masyarakat enggan mempersoalkan hal itu.
Baca juga Sudahi ”Kawin Tangkap”, Lindungi Perempuan Sumba
Tak heran meski zaman telah berubah, pendidikan masyarakat semakin tinggi, praktik kawin tangkap terus berulang. Bahkan ada kasus kawin tangkap, calon pengantin laki-laki maupun keluarganya dari kalangan berpendidikan tinggi. Adapun perempuan menjadi korban memiliki latar belakang beragam.
Meski awalnya menolak dirinya ditangkap, sejumlah perempuan akhirnya dibuat tidak berdaya, bahkan terpaksa harus mengikuti dan menerima perkawinan adat. Kondisi itu dipengaruhi sejumlah faktor.
Umumnya, perempuan yang sudah ditangkap akan didokrin keluarga besarnya, terutama saat berada di rumah laki-laki, bahwa jika dia melarikan diri setelah kawin tangkap, hidupnya akan bermasalah, sulit mendapat pasangan, sulit punya keturunan, serta hidupnya akan selalu sial.
Dalam kasus pelakunya masih ada hubungan kekerabatan, korban terpaksa menjalaninya karena relasi kekerabatan keluarganya akan hancur jika dia melarikan diri. Mitos ini membuat para perempuan korban tidak berani kembali ke orangtuanya meski tidak mencintai lelaki yang menangkapnya.
Di sisi lain, ada juga perempuan terpaksa menerima perlakuan kawin tangkap tersebut karena faktor ekonomi atau tekanan keluarga. Dalam beberapa kasus kawin tangkap, perempuan korban yang berasal dari keluarga tidak mampu dipaksa menerima pemberian hewan dari keluarga pelaku.
Baca juga Menanti Istana Bertindak Sudahi ”Kawin Tangkap”
Meski masyarakat memandang kawin tangkap sebagai bagian dari adat, Umbu Sangaji (77), Ketua Lembaga Adat Tingkat Kecamatan Katiku Tana Selatan, menegaskan, kawin tangkap bukan adat, tapi justru merupakan pelanggaran adat kawin mawin di Sumba. Karena dianggap pelanggaran, keluarga yang melakukan kawin tangkap dihukum dengan denda adat, yakni menyerahkan 11 ekor hewan kepada pihak keluarga perempuan yang ditangkap.
“Itu bukan adat, tapi sesuatu yang membudaya, yang dilakukan orang zaman dulu untuk menunjukkan mereka merupakan orang hebat. Jadi kalau mereka mengambil perempuan secara paksa, pihak lelaki harus bayar denda, dan mengembalikan harkat dan martabat perempuan,” ungkapnya.
Menurut Sangaji, praktik kawin tangkap yang dulunya dilakukan oleh orang-orang dari keluarga yang mampu secara ekonomi (punya banyak hewan) untuk menunjukkan bahwa mereka punya banyak harta. Akan tetapi, biasanya kedua pihak saling mengetahui, bahkan ada hubungan kekerabatan.
Teror bagi perempuan Sumba
Bahkan, dalam perkembangan zaman, praktik kawin tangkap mengalami pergeseran. Pelakunya tak lagi memandang strata ekonomi. Bahkan warga dengan strate ekonomi menengah memilih cara itu sebagai jalan pintas lelaki untuk mendapat istri. Tak peduli perempuan yang ditangkap suka atau tidak, kenal atau tidak, bahkan perempuan yang sudah punya pasangan pun bisa ditangkap atas nama kawin tangkap.
Meski menimbulkan trauma sepanjang hayat bagi perempuan korban, praktik kawin tangkap tetap langgeng dalam kehidupan masyarakat. Selama ini suara dari sejumlah aktivis perempuan, pembela hak asasi manusia (HAM), maupun aktivis gereja yang meminta kawin tangkap harus dihentikan karena melanggar hak asasi dan merendahkan perempuan, seakan menabrak tembok.
Baca juga Polisi Diminta Bebaskan Korban Kawin Tangkap
Kenyataannya, praktik kawin tangkap tetap berlangsung dan menjadi teror bagi perempuan Sumba. Kapan saja, di mana saja, pelaku kawin tangkap bisa menangkap perempuan yang diinginkannya menjadi istri dengan cara kekerasan.
Bahkan, dalam bulan Juni 2020, di tengah pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru, dua peristiwa kawin tangkap terjadi di desa yang sama di Kabupaten Sumba Tengah. Kasus pertama pada 16 Juni 2020, menimpa R (21) warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang.
Kasus ini mendapat kecaman dari sejumlah aktivis pembela HAM, setelah rekaman video yang menunjukkan R menangis histeris dan meronta dibawa paksa ke rumah pria yang akan menikahinya, viral di media sosial.
Kasus R pun terdengar sampai di Istana Kepresidenan, bahkan dibahas secara khusus oleh Kantor Staf Presiden dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kamis (25/6/2020).
Selama dua pekan, ada berbagai diskusi daring yang menggugat praktik kawin tangkap di Sumba yang dinilai merendahkan harkat dan martabat perempuan. Meski kasus R viral di media sosial, sepekan kemudian, pada 23 Juni 2020 kawin tangkap terjadi lagi di desa yang sama, dan menimpa M (21) perempuan yang sudah memiliki pasangan, bahkan mempunyai bayi berusia 10 bulan. Penangkapan M dilakukan ratusan orang, Dia ditangkap ratusan massa, saat menyuapi bayinya.
Dalam kesaksian yang disampaikan kepada Yustina Dama Dia, relawan Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) yang mendampinginya, M mengungkapkan berbagai pelecehan seksual dialaminya sepanjang perjalanan saat dia dibawa menuju ke rumah B, laki-laki yang tidak dikenalnya. Bagian-bagian tubuhnya yang sensitif disentuh para lelaki yang menangkapnya, hingga membuatnya pingsan.
Melihat situasi dan pengalaman yang dialami perempuan korban kawin tanggap, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga meminta perempuan korban dilindungi. “Jangan sampai alasan tradisi atau budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas Bintang.
Tradisi atau adat tidak statis tetapi dinamis. Karena itu, jika tradisi yang digunakan tidak sejalan dengan penghormatan HAM, khususnya perempuan dan anak, maka tradisi itu akan tergerus oleh zaman.
Bahkan, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, menegaskan hukum adat menjadi bagian dari proses kebudayaan. Namun, hukum adat bukanlah hukum yang sekali dibuat dan selamanya tinggal tetap dalam kehidupan masyarakat. Kenyataannya, hukum adat mengalami perubahan berarti seiring perkembangan masyarakat.