Harga Mahal Polemik Usia Peserta Didik Baru
Polemik usia menjadi patokan penerimaan peserta didik baru kontraproduktif. Itu membuat sejumlah siswa mempertanyakan untuk apa usaha dan hasil belajar mereka bertahun-tahun.
Aditya Yusuf Pratama (15) nyaris gagal masuk ke sekolah menengah atas pilihannya melalui jalur afirmasi pemegang Kartu Jakarta Pintar. Usianya terlalu muda dalam seleksi masuk ke salah satu dari dua sekolah pilihannya di Matraman, Jakarta Timur. Penggemar kereta api itu tersisih dari SMA 31, Utan Kayu Selatan, sebelum lolos ke SMA 22, Utan Kayu Selatan.
"Alhamdulillah lolos dan sudah lapor diri (ke SMA 22). Sempat khawatir karena kegeser peserta yang usianya lebih tua," ujar Aditya, Minggu (28/6/2020). Sayangnya tidak semua siswa dengan usia lebih muda mengalami hal serupa. Mereka tersisih dalam seleksi masuk ke semua sekolah pilihannya. Alhasil timbul tanya untuk apa usaha dan hasil belajar selama bertahun-tahun.
Zahwa (15) peserta didik baru dari Kebon Manggis, Jakarta Timur, terkejut ketika pihak sekolah menginformasikan bahwa seleksi penerimaan peserta didik baru jalur zonasi tahun ini memprioritaskan usia tertua ke termuda. Peluangnya mengecil untuk bisa masuk ke SMA 31, SMA 54 atau SMA 68 sesuai zonasi jarak dari rumah ke sekolah.
Baca Juga: DKI Jakarta Bersedia Mengevaluasi Kebijakan PPDB
Kecilnya peluang itu terbukti usai mendaftar pada Kamis (25/6). Ia tidak berhasil lolos ke salah satu dari tiga sekolah pilihan karena usia lebih muda. "Kenapa harus pakai umur? Menyakitkan, saya jadi tidak semangat. Buat apa saya belajar 3 tahun kalau sekarang patokannya umur," ucap Zahwa. Usaha dan hasil belajarnya menghasilkan nilai rata-rata 84,32.
Syifa (14) juga kecewa karena usaha dan hasil belajarnya dengan nilai rata-rata 85,28 tidak berarti apa-apa. Usianya terlampau muda untuk masuk ke SMA 47 dan SMA 70, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, melalui jalur zonasi. "Dilihat di hasil seleksi tidak ada nama saya," ucap Syifa.
Pengecekan hasil seleksi jalur zonasi di SMA 70, pada Kamis (25/6) menunjukkan sebanyak 128 siswa lolos jurusan IPA dengan rentang usia tahun 15 tahun 7 bulan 9 hari hingga 17 tahun 5 bulan 14 hari. Adapun untuk jurusan IPS sebanyak 34 siswa dengan rentang usia usia 15 tahun 8 bulan 30 hari hingga 17 tahun 5 bulan 23 hari.
Evelyn Yoanita (15) juga kecewa karena tidak lolos seleksi jalur zonasi ke SMA 43 dan SMA 79. Letak kedua sekolah itu sesuai dengan zonasinya di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. "Gak ada nama saya. Usianya lebih tua semua (peserta yang lolos)," ujar Evelyn.
Baca Juga: Polemik Tafsir Kebijakan Akan Merugikan Orangtua dan Siswa
Hasil seleksi sementara jalur zonasi untuk SMA 43 menunjukkan sebanyak 46 siswa lolos jurusan IPA dengan rentang usia 15 tahun 7 bulan hingga 16 tahun 10 bulan. Sementara jurusan IPS sebanyak 47 siswa dengan rentang usia usia 15 tahun 8 bulan 9 hari hingga 19 tahun 1 bulan 18 hari.
Ia tidak ingin larut dalam kekecewaan dan berencana mendaftar seleksi jalur prestasi akademik pada Juli nanti. Nilai rata-rata 86,16 memberinya asa untuk lolos ke bangku sekolah mengah atas. "Pasti akan coba jalur prestasi akademik. Saya belum berpikir masuk sekolah swasta karena biayanya mahal," katanya.
Peserta didik baru untuk sekolah menengah pertama dengan usia lebih muda pun tidak berhasil lolos seleksi jalur zonasi. Fauziah Putri Galuh (12), peserta didik baru dari Ciracas, Jakarta Timur, tidak lolos ke SMP 174, SMP 188, dan SMP 257. Kebanyakan peserta yang lolos berusia 13 tahun ke atas.
Itu kedua kalinya Fauziah tidak lolos karena usia lebih muda. Sebelumnya ia tidak lolos seleksi jalur afirmasi pemegang Kartu Jakarta Pintar. "Tidak keterima karena umurnya kurang. Kalau nilai rapor bagus-bagus," ujar Fauziah.
Baca Juga: Sengkarut Penerimaan Siswa Masih Berlanjut
Dua kali gagal juga dialami Azrul (12). Siswa dari Kalideres, Jakarta Barat, tidak lolos jalur zonasi ke ke SMP 187, SMP 204, dan SMP 205. Sebelumnya juga tidak lolos jalur afirmasi pemegang Kartu Jakarta Pintar. "Langsung ada daftar nama yang diterima. Azrul tidak. Rata-rata usia lebih tua yang masuk (lolos)," kata Fitri Wulandari (24), sepupu Azrul.
Hasil seleksi jalur zonasi untuk SMP 187 menunjukkan sebanyak 25 siswa lolos dengan rentang usia usia 13 tahun 8 bulan 2 hari hingga 14 tahun 7 bulan 28 hari. Pihak keluarga masih menimang kemungkinan daftar ke sekolah swasta karena kuota jalur prestasi akademik terbatas. Nilai rata-rata Azrul ialah 79,5.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kebijakan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap jenjang pendidikan disyaratkan adanya usia minimal dan maksimal yang mesti dipenuhi calon peserta didik baru (CPDB). Hal ini disampaikan Nahdiana, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dalam jumpa pers di Kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jumat (26/06/2020).
Pasal 4 ketentuan itu menyebut aturan usia untuk siswa TK dengan minimal usia CPDB 4 tahun untuk kelompok A dan 5 tahun untuk kelompok B. Pasal 5 mengatur syarat usia minimal CPDB untuk SD 7-12 tahun dengan usia paling rendah 6 tahun per 1 Juli tahun berjalan. Aturan usia maksimal diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA/SMK, yaitu paling tinggi 15 tahun untuk SMP dan 21 tahun untuk SMA. Lalu, PPDB jenjang SMP dan SMA diatur lagi dalam Pasal 25 permendikbud. Sesuai Pasal 25 Ayat (1), seleksi CPDB kelas VII SMP dan kelas X SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.
Namun, pada Pasal 25 Ayat 2 ditambahkan, seleksi pemenuhan kuota atau daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua sesuai surat keterangan lahir. ”Ini berkaitan dengan daya tampung sekolah. Misalnya satu sekolah daya tampung 200 (siswa), mengurutkannya selain dari jarak adalah dengan usia. Orang dengan urutan ke-201 nantinya tidak diterima,” kata Nahdiana.
Beda paham
Perbedaan pemahaman tentang seleksi penerimaan peserta didik baru jalur zonasi menjadi akar kekisruhan pendaftaran siswa di DKI Jakarta. Hingga Jumat (26/6/2020), posko pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus menerima pengaduan penerimaan peserta didik baru atau yang didominasi oleh keberatan para pengadu atas kriteria usia.
Yulia, salah satu orangtua siswa yang tergabung dalam Gerakan Emak dan Bapak Peduli Pendidikan dan Keadilan kecewa dengan keputusan prioritas usia tertua ke termuda. “Anak saya berprestasi dan selalu menjadi juara umum di sekolah asal. Jarak rumah kami ke SMA Negeri 8 Jakarta cuma 500 meter. Namun, anak saya tidak diterima di sekolah itu karena sistem seleksi jalur zonasi mendahulukan calon peserta didik berusia lebih tua,” ujarnya.
Gerakan Emak dan Bapak Peduli Pendidikan dan Keadilan bahkan berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (23/6/2020). Mereka memprotes penerapan patokan umur untuk penerimaan murid baru. Nazwa, orangtua siswa lainnya juga kecewa terhadap pemerintah. “Pemerintah bilang seleksi menggunakan jalur zonasi. Zonasi kan definisi dari wilayah yang berarti ada jarak tempuh beserta cara mengukurnya, tidak mungkin definisi zonasi berganti jadi usia. Kami jadi ‘dibodoh – bodoh’ oleh pemerintah,” katanya.
Baca Juga: Pemahaman Beragam Jadi Sumber Masalah
Nazwa mempunyai seorang anak perempuan yang akan masuk SMP tahun ini. Sekolah terdekat dari rumahnya adalah SMP Negeri 231 Jakarta Utara. Saat ini, Nazwa kebingungan karena jalur seleksi lainnya pun memprioritaskan usia tertua ke termuda.
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyampaikan, pihaknya telah memanggil Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada Kamis (25/6), pukul 15.00–17.00. KPAI meminta penjelasan terkait seleksi jalur zonasi yang langsung menggunakan kriteria usia tertua ke termuda.
Dalam pertemuan itu diputuskan, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan memenuhi hak atas pendidikan anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri akibat kebijakan usia ini. Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan memberikan bantuan melalui skema Kartu Jakarta Pintar untuk orangtua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. “Mereka bersedia mengevaluasi kebijakan PPDB-nya, namun untuk perbaikan dan pelaksanaan tahun depan, bukan PPDB tahun 2020. Mereka juga mau berkonsultasi dengan Kemdikbud,” kata Retno.
PPDB jalur zonasi menggunakan usia menimbulkan kegelisahan orangtua. Menurut peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, faktor utamanya ialah sekolah-sekolah di Indonesia terlalu beragam dan sekolah favorit sudah terbukti menjadi salah satu medium untuk anak sukses setelah lulus.
Pada saat yang sama, komunikasi publik tentang patokan usia tidak tersampaikan dengan baik kepada orangtua. ”Pemerintah harus mampu menjelaskan secara baik alasan yang dipilih, baik dalam peraturan menteri maupun petunjuk teknisnya. Jika tidak, situasi seperti ini akan terus terjadi,” kata Anggi. (MEDIANA)