Lompatan teknologi dalam pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mempercepat reformasi pendidikan yang diamanat Presiden Joko Widodo pada awal periode kedua pemerintahannya.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 telah memajankan kerentanan sekaligus mendorong perubahan yang konstruktif dalam pendidikan. Langkah yang tepat untuk mengatasi kerentanan dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan tersebut akan menjadi penentu masa depan pendidikan.
Penutupan sekolah untuk merespons pembatasan sosial berdampak pada sekitar 60 juta siswa dan mahasiswa, demikian juga pada cara lebih dari 3 juta guru dan dosen menyampaikan pembelajaran. Terjadi lompatan teknologi ketika guru dan dosen memaksimalkan teknologi yang ada untuk pembelajaran daring guna menjaga keberlanjutan pendidikan anak didik mereka.
Pembelajaran daring di pendidikan tinggi telah dirintis sejak 2008 dengan aplikasi pengelolaan pembelajaran Sistem Pembelajaran Daring Indonesia (Spada). Namun persyaratan akreditasi A untuk membuka program pendidikan dengan sistem daring kurang memacu pemanfaatan Spada.
Penutupan sekolah untuk merespons pembatasan sosial berdampak pada sekitar 60 juta siswa dan mahasiswa, demikian juga pada cara lebih dari 3 juta guru dan dosen menyampaikan pembelajaran.
Aplikasi Rumah Belajar yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2011 juga masih menjadi pelengkap pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan guru SMA/SMK beradaptasi dengan teknologi. Akses sumberdaya digital seringkali menjadi kendala.
Karena itu banyak yang tergagap karena tidak siap. Namun banyak guru yang segera mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut. Dengan inisiatif sendiri maupun melalui organisasi, para guru berlatih meningkatkan kemampuan mereka menggunakan teknologi untuk pembelajaran daring.
Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 menunjukkan, dari 602 guru, sebanyak 68,3 persen belajar secara mandiri untuk meningkatkan kemampuan mereka. Pelatihan-pelatihan yang digelar secara daring oleh organisasi guru seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun tak pernah sepi peminat.
Demikian juga di pendidikan tinggi. Hingga April 2020, sebanyak 244 perguruan tinggi berbagi modul perkuliahan daring. Hasilnya, paling tidak terdapat 3.000 konten perkuliahan daring kini tersedia di laman Spada Kemdikbud yang bisa diakses secara terbuka. “Revolusi yang luar biasa,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Nizam.
Kesenjangan
Meskipun begitu, kurangnya kapasitas guru/dosen dan juga terbatasnya akses sumber daya digital baik pada guru/dosen maupun siswa masih menjadi kendala. Akibatnya, pembelajaran daring bukan hanya tidak efektif tetapi juga memperlebar kesenjangan pendidikan yang sebagian sudah diratakan melalui pendaftaran sekolah.
Data Bank Dunia tahun 2018 menunjukkan, perluasan akses pendidikan di Indonesia meningkat dengan anak-anak yang bersekolah sudah di atas 90 persen. Namun masih terjadi kesenjangan pendidikan antara yang kaya dan miskin, demikian juga di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di mana akses guru, sistem pembelajaran, dan infrastruktur yang berkualitas selama ini kurang.
Dengan kepemilikan komputer di tingkat rumah tangga yang baru 20,05 persen dan penetrasi internet yang baru 66,22 persen (BPS, 2019), serta tingginya harga kuota internet, pembelajaran daring pun menjadi bias kelas karena hanya bisa diikuti mereka yang mempunyai akses ke sumberdaya digital tersebut. Kemajuan teknologi yang selama ini diharapkan dapat memperluas akses pendidikan, kini justru memperlebar kesenjangan.
Terobosan pembelajaran melalui televisi dan di radio belum sepenuhnya mengatasi permasalahan tersebut. Masih ada sejumlah siswa tanpa akses televisi dan radio, bahkan tanpa askes listrik. Keberadaan guru kunjung menjadi jalan keluar, tetapi kondisi medan yang berat seringkali menjadi kendala sehingga pendidikan sejumlah siswa pun terhenti selama pandemi ini seperti terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (survei PSGI pada 6-8 Juni 2020).
Demikian pula di pendidikan tinggi. Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2020 yang direspon 237.193 mahasiswa menunjukkan, 5,27 persen mahasiswa tidak bisa mengikuti kuliah daring karena kendala akses sumber daya digital. Sebagian besar (68,7 persen) mahasiswa pun mengandalkan telepon genggam untuk kuliah daring, begitu juga sejumlah dosen.
Metode baru
Dengan kurva kasus Covid-19 yang masih terus naik, pembelajaran jarak jauh masih akan menjadi opsi untuk sebagian besar siswa dan mahasiswa pada tahun ajaran 2020/2021 nanti. Pembelajaran di sekolah dan di kampus pada normal baru pasca pandemi pun tidak akan bisa seperti dulu.
Metode baru untuk pendidikan yang lebih menjamin kualitas dan akses pendidikan yang setara menjadi kebutuhan. Metode pembelajaran yang lebih efektif di tengah keterbatasan pada normal baru di masa transisi maupun pasca pandemi nanti menjadi acuan.
Menuju tatanan normal baru, sejumlah sekolah dan perguruan tinggi berinisiatif menyiapkan sistem pembelajaran campuran (blended learning). Pandemi ini membuktikan, pendidikan bisa di mana saja. Kapasitas pembelajaran dengan protokol kesehatan yang hanya bisa 50 persen siswa, dengan waktu terbatas, juga tidak memungkinkan terselenggara pembelajaran yang efektif hanya dengan tatap muka.
Penguatan kapasitas infrastruktur dan tenaga pendidik menjadi agenda utama mereka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran daring. Bagi perguruan tinggi, ini juga sekaligus upaya untuk beradaptasi di era Massive Open Online Course atau kursus/kuliah daring massal yang semakin menjadi pilihan di era digital ini.
Menuju tatanan normal baru, sejumlah sekolah dan perguruan tinggi berinisiatif menyiapkan sistem pembelajaran campuran (blended learning).
Namun, kesenjangan akses sumberdaya digital akan tetap menjadi ancaman nyata bagi mereka yang rentan jika tidak ada upaya untuk mengatasinya. Dan, krisis akibat pandemi Covid-19 ini menawarkan kesempatan untuk mengatasi kesenjangan tersebut
Mempercepat pemerataan akses pendidikan berkualitas ke seluruh pelosok Tanah Air menggunakan sistem teknologi informasi sebagaimana diamanatkan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bidang pembangunan manusia dan kebudayaan di Kantor Presiden pada 31 Oktober 2019 (Kompas, 1/11/2019), menjadi kebutuhan mendesak. Kolaborasi antar kementerian dan lembaga pemerintah menjadi persyaratan mutlak untuk mewujudkannya.
Upaya tersebut harus simultan dengan peningkatan kapasitas guru dan dosen dalam penguasaan teknologi dan pedagogi di era 4.0 melalui pelatihan yang terarah. Harus diakui ketidaksiapan guru beralih ke pembelajaran jarak jauh berbanding lurus dengan tingkat kompetensi, dan ini berakar pada pendidikan dan pola rekrutmen calon guru.
Guru adalah garda terdepan pendidikan. Pendidikan tidak dapat berkembang dengan konten siap pakai yang dibangun di luar ruang pedagogis dan di luar hubungan manusiawi antara guru dan siswa. Guru yang bisa memberikan pendidikan yang kontekstual, bukan tekstual seperti selama ini.
Pandemi Covid-19 telah menghadirkan tantangan sekaligus tanggung jawab nyata dari para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk membangun sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan tangguh. Lompatan teknologi dalam pembelajaran daring selama pandemi ini menjadi momentum untuk mempercepat reformasi pendidikan jika Indonesia ingin naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke negara berpendapatan tinggi alias negara maju.