Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali tak jelas, terkatung-katung. Di sisi lain, korban kejahatan ini terus berjatuhan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perjalanan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2020 hingga kini tak menunjukkan kemajuan berarti. Meski sempat diputuskan statusnya masuk dalam program legislasi nasional prioritas, kini malah tak ada kepastian pihak yang akan membahas kelanjutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, tetap di Komisi VIII atau kembali dibahas di Badan Legislasi DPR.
"Jadi statusnya masih menggantung. Kalau secara formal, menurut keputusan DPR sudah diubah menjadi usulan Komisi VIII, maka secara formal masih menjadi usulan Komisi VIII,” ujar Taufik Basari, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem. dalam webinar “Bentuk Tanggung Jawab Negara terhadap Perlindungan Perempuan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar INFID, Jumat (26/6/2020).
Ternyata di Komisi VIII pun juga tidak mulus
Menurut Taufik, sebelumnya RUU tersebut akan dibahas di Baleg menjadi usul inisiatif dari anggota Fraksi Partai Nasdem. Namun, di tengah jalan terjadi perubahan.
Setelah sidang paripurna untuk penentuan prolegnas prioritas, ada permintaan dari Komisi VIII agar status RUU-PKS jadi usulan itu. “Ternyata di Komisi VIII pun juga tidak mulus," kata dia.
Info terakhir, kata dia, pimpinan Komisi VIII menyampaikan surat kepada pimpinan DPR, yang intinya Komisi VIII mengembalikan lagi ke Baleg. Ini karena tak ada kemajuan dan titik temu terkait RUU-PKS dan menjadi beban legislasi.
Taufik menyatakan pihaknya tengah memperjuangkan agar status RUU-PKS dikembalikan lagi sebagai usulan inisiatif anggota Baleg. “Kalau misalnya tidak ada yang memegang ini, maka RUU ini tidak maju-maju,” ujarnya.
Taufik bahkan mengakui, baru mengetahui status RUU pindah ke Komisi VIII, ketika dia sebagai pengusul meminta agenda pada Baleg untuk menjadwalkan persentasi naskah akademik RUU tersebut di Baleg.
“Karena itu, saat ini harus saya akui, posisinya (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah posisi menggantung. Jadi bukan saya menakut-nakuti atau pesimistis, tapi posisinya adalah posisi menggantung,” tegas Taufik.
Tinggalkan ego masing-masing
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang menjadi pembicara kunci mengajak semua pihak untuk mengawal terciptanya sistem yang menjamin hak korban, mengedepankan kebenaran, keadilan, dan pemulihan serta mencegah kejadian berulang.
Bintang berharap semua pihak bersinergi dan bekerjasama untuk menciptakan sistem hukum yang dapat menghapuskan kekerasan seksual, menimbulkan efek jera bagi para pelaku, serta memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.
“Memang bukan tugas yang mudah, tapi saya yakin jika kita bekerja bersama-sama, saling membantu, dan mengesampingkan ego masing-masing, segala tantangan dapat kita lalui,” ujar Bintang
saya yakin jika kita bekerja bersama-sama, saling membantu, dan mengesampingkan ego masing-masing, segala tantangan dapat kita lalui
Dia menegaskan, kekerasan seksual memiliki karakteristik dan kekhususan secara normatif yang tidak bisa disamakan dengan tindak pidana lainnya. Karena itu, dari sisi penegakan hukum perlu adanya mekanisme pendampingan khusus bagi korban kekerasan seksual mulai dari proses penyidikan, penyelidikan persidangan hingga pasca persidangan. Ini penting, agar tidak menimbulkan trauma bagi korban korban apalagi jika korban mengalami kehamilan akibat pemerkosaan
Sejak Januari 2020 hingga 19 Juni 2020 lalu, dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan Dan Anak (Simponi PPA) dilaporkan ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.848 kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki.
“Angka-angka tersebut menjadi lebih memprihatinkan, karena kasus kekerasan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat adalah seperti fenomena gunung es. Di mana angka riilnya dapat jauh lebih besar dari angka yang terlaporkan. Apalagi dalam era digital ini kasus-kasus kekerasan seksual menjadi semakin kompleks dengan pergeseran peran tren dan modus melalui kejahatan siber,” kata Bintang.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Vennetia R Danes menambahkan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting, karena hukum acara pidana yang ada hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP masih terbatas. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum.
“Konstruksi sosial masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan sering kali tidak didengar yang berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi masyarakat," ujar Vennetia.
Selain itu, menurut Vennetia, kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka persoalan ini, karena dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Padahal, fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatik serta dapat berlangsung seumur hidup, dan bahkan bisa mendorong korban melakukan bunuh diri.
Valentina Sagala, pendiri Institut Perempuan yang juga tim hukum pemerintah dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengungkapkan kompleksitas perjalanan pembahasan RUU tersebut di DPR.
Meskipun undang-undang menyebutkan proses pembuatan UU dilakukan DPR dan Pemerintah, kenyataannya yang terjadi proses pembahasan RUU ditentukan oleh DPR. Bahkan, setiap undangan untuk rapat pembahasan RUU yang membuat ialah DPR.