Kasus kawin tangkap di NTT yang merendahkan martabat perempuan telah terdengar di Istana Negara. Kehadiran negara untuk menyudahi kasus ini dinanti banyak orang.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
Pemerintah akhirnya angkat bicara soal praktik kawin tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sepuluh hari setelah peristiwa penangkapan—lebih tepatnya penculikan—terhadap R (21), warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Sumba Tengah, viral di media sosial, Kamis (25/6/2020) Kantor Staf Presiden menggelar rapat koordinasi secara daring.
Rapat koordinasi virtual terkait penanganan masalah kawin paksa di Indonesia digelar Kedeputian V Kantor Staf Presiden yang dipimpin Jaleswari Pramodhawardani.
Hadir dalam acara tersebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Sejumlah pihak terkait diundang dalam acara tersebut, termasuk sejumlah pakar dan akademisi dari Sumba dan Kupang.
Praktik kawin tangkap yang dianggap sebagai budaya merupakan persoalan serius yang harus ditanggapi pihak kepolisian.
Dalam rapat tersebut, Jaleswari menegaskan, praktik kawin tangkap yang dianggap sebagai budaya merupakan persoalan serius yang harus ditanggapi pihak kepolisian. Sebab, kawin tangkap mengabaikan nilai kemanusiaan serta merugikan harkat dan martabat manusia.
”Jika selama ini tidak ada laporan atas praktik ini, saya khawatir jangan-jangan korban tidak mau dan tidak bisa melapor karena takut dengan ancaman kekerasan yang akan dihadapi,” ujarnya dalam keterangan pers yang disampaikan Kementerian PPPA, Jumat (26/6/2020).
Adapun Menteri Bintang Darmawati menegaskan, kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. ”Jadi jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” ujar Darmawati.
Seperti diberitakan, praktik kawin tangkap yang terjadi di sebuah desa di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, pada pekan lalu, viral di media sosial, Selasa (16/6/2020). Peristiwa yang direkam dalam video berdurasi sekitar 30 detik, yang kemudian diunggah ke media sosial, itu mengundang kecaman banyak kalangan.
Dalam video tersebut, seorang perempuan muda, R (21), warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, dibawa paksa dan disekap ke rumah orangtua N (28) yang akan menikahinya. Semua perbuatan tersebut tanpa persetujuan R dan keluarganya.
Anak ketiga dari lima bersaudara tersebut ditangkap oleh sekelompok laki-laki saat berada di rumah pamannya. Tubuhnya diangkat dan diusung beramai-ramai oleh para laki-laki, menuju ke rumah orangtua N yang jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat kejadian. Meski R memberontak, berteriak, dan menangis, para laki-laki tersebut beramai-ramai mengangkat tubuh R dan menggotongnya ke rumah N.
Meskipun atas nama tradisi, Darmawati menegaskan, praktik kawin tangkap adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak bisa dibenarkan. ”Budaya atau tradisi itu tidak statis, tetapi dinamis,” katanya.
Ia bahkan mencontohkan, pada zaman dulu di Bali pernah berlaku praktik serupa seperti kawin tangkap di Sumba. Praktik tersebut akhirnya tergerus karena perkembangan zaman dan budaya tersebut tidak memberikan edukasi yang baik.
Karena itulah dia meminta kepada jajaran kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat untuk melindungi perempuan dan anak. Darmawati berharap sinergi semua pihak, baik jajaran kepolisian di Sumba, kementerian, lembaga terkait, maupun lembaga swadaya masyarakat setempat, dapat menjadi kekuatan bersama supaya praktik kawin tangkap yang merugikan ini tidak lagi terjadi.
Dari rapat koordinasi tersebut terungkap sejumlah data kawin tangkap dengan perempuan korban berusia 16-26 tahun. Karena itulah polisi diminta tidak ragu menyelesaikan kasus tersebut karena ini adalah tindakan kriminal kejahatan manusia.
Ketua Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Berpendidikan Theologi di Indonesia (Peruati) Sumba Pendeta Aprissa L Taranau mengapresiasi langkah Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementerian PPPA tersebut.
”Ini tanda negara mulai hadir dalam upaya menghentikan praktik kawin tangkap. Ini tanda bahwa negara mendengarkan narasi pilu korban yang mengalami kekerasan,” ujarnya sambil berharap pernyataan-pernyataan dari Menteri PPPA dan Deputi V KSP segera ditindaklanjuti kepolisian.
Hingga Jumat, korban R masih berada di rumah pelaku. Sejumlah diskusi digelar Peruati Sumba dan Jabodetabek, bahkan organisasi anak-anak muda Sumba dan aktivis perempuan. Semua berteriak dan mendesak perlindungan terhadap korban dilakukan negara.